Kamis, 01 Januari 2009

PEMBATASAN KASASI PTUN SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMENT MENUJU KEPASTIAN HUKUM

PEMBATASAN KASASI PTUN SEBAGAI SALAH SATU INSTRUMENT MENUJU KEPASTIAN HUKUM
(Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 45A Ayat (2) Huruf C UU No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung
Dan Implikasinya Terhadap Keputusan Pejabat TUN Yang Dibatasi Pengajuan Kasasinya)
Oleh:
Teguh Satya Bhakti,SH.,MH



"Tidak ada yang menghambat anda terhadap perkara yang anda putuskan hari ini kemudian anda tinjau kembali karena terjadi kekeliruan (fahudîta li rusydika), bahwa anda kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu terdepan dan tidak dibatalkan oleh apapun. Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan."
(Khalifah Umar bin Khathab)


PENDAHULUAN
Perdebatan mengenai Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU MA) akhirnya berakhir setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara Nomor 23/PUU-V/2007 tanggal 09 Januari 2008, dengan amarnya yang menolak gugatan permohonan pembatalan (judicial review) tehadap ketentuan tersebut.
Kasus ini bermula dari adanya permohonan uji materiil terhadap Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA yang diajukan oleh pemohon HENDRIANSYAH, Direktur CV. Sungai Bendera Jaya yang bergerak dibidang pengelolaan sarang burung wallet, berkedudukan di Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur. Hendriansyah mengajukan Uji materil terhadap ketentuan tersebut karena Pemohon merasa dirugikan dan menganggap UU MA telah membatasi hak Pemohon untuk mengajukan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Jakarta. Sebelumnya Pemohon mengajukan gugatan tata usaha negara atas Keputusan Bupati Kutai Timur yang mencabut Ijin Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet atas nama Pemohon. Gugatan Pemohon tersebut oleh PTUN Samarinda dikabulkan (dimenangkan). Kemudian atas Putusan PTUN Samarinda tersebut, Tergugat (Bupati Kutai Timur) mengajukan banding di PT.TUN Jakarta dan PT.TUN Jakarta membatalkan Putusan PTUN Samarinda. Karena Pemohon dikalahkan oleh Putusan PT.TUN Jakarta, kemudian Pemohon mengajukan kasasi ke MA melalui PTUN Samarinda. Namun, permohonan kasasi tersebut oleh PTUN Samarinda ditolak dengan alasan adanya ketentuan Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA.
Pasal 45A Ayat (2) UU MA yang berbunyi: "Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) terdiri atas:
a. putusan tentang praperadilan;
b. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
c. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Bahwa dimana sebelum muatan Pasal 45A Ayat (2) tersebut, didahului dengan Pasal 45A Ayat (1) UU MA, yang berbunyi: "Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini di batasi pengajuannya", yang mana muatan pasal ini mengaitkan pengecualian perkara yang dibatasi pengajuan kasasinya yaitu termasuk perkara tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA.
Dalam Amar putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materiil Pasal a quo menyatakan bahwa pembatasan kasasi terhadap perkara tata usaha negara (TUN), khususnya untuk objek gugatan keputusan pejabat daerah, tidak melanggar konstitusi (tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 24 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3), serta Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945) Oleh karena itu, dalil-dalil yang dikemukakan pemohon tidak beralasan sehingga permohonan harus dinyatakan ditolak.
Implikasi yuridis dari Putusan Mahkamah tersebut telah melahirkan persoalan hukum baru dalam praktek pelaksanaan teknis hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara di lapangan, oleh karena belum adanya peraturan lebih lanjut yang mengatur kriteria pembatasan kasasi perkara TUN. Sehingga dalam pelaksanaan praktek antara satu PTUN dengan PTUN lainnya seringkali berbeda penafsiran terhadap ketentuan Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA tersebut.
Terhadap hal ini, perlu kiranya ada suatu kejelasan atau petunjuk untuk menyelesaikan masalah pembatasan kasasi ini yang menurut Penulis sangat penting untuk dikaji secara teoritis menurut Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Penulis berharap sumbangan pemikiran ini dapat bermanfaat dan berguna bagi hakim-hakim PTUN di seluruh Indonesia.


PERMASALAHAN
1. Apa maksud dan tujuan Pasal 45A Ayat (2) UU MA Pembatasan Kasasi?
2. Bagaimana Pola hubungan antara Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA dengan Otonomi Daerah?
3. Bagaimana Implikasi Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA Terhadap Keputusan Pejabat TUN yang dibatasi Pengajuan Kasasinya?
4. Bagaimana Kriteria Keputusan Pejabat TUN yang dibatasi Pengajuan Kasasinya Menurut Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA?


PEMBAHASAN
5. Penumpukan Perkara (Back Log) Sebagai Maksud Pembatasan Kasasi dan Agar Putusan Hakim Lebih Berkualitas Sebagai Tujuan Pembatasan Kasasi.
Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman (judicative power), berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam Iingkungan peradilan umum, Iingkungan Peradilan Agama, Iingkungan Peradilan Militer, Iingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;
Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang Iebih dipertegas dalam UU MA, mempunyai wewenang untuk mengadili pada tingkat kasasi, peninjauan kembali (PK) terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sengketa tentang kewenangan mengadili, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dan kewenangan-kewenangan Iainnya sebagaimana ditentukan dan diatur didalam undang-undang. Selain itu, Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan, tentang pelaksanaan tugas pengadilan dan tingkah laku para hakim di semua Iingkungan peradilan.
Pada dasarnya terhadap setiap putusan terakhir pengadilan (dari semua lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi, kecuali undang-undang menentukan lain (vide Pasai 21 Ayat (1) dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), yang juga antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 131 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama; dan Pasal 335 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Permohonan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tinggi (banding) dari semua lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, dari tahun ke tahun menunjukkan pertambahan yang cukup signifikan (jumlahnya mencapai ribuan perkara dari semua lingkungan badan peradilan), hal ini dapat berakibat terhadap menumpuknya permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, yang pada gilirannya dapat menyebabkan setiap permohonan kasasi ke Mahkamah Agung membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang dan lama (3 sampai 5 tahun, bahkan tidak jarang sampai 10 tahun), jika demikian halnya dapat merugikan para pihak pencari keadilan (justicebelen), hal demikian dapat berdampak pada penciptaan kepastian hukum (rechtszekerheid) menjadi barang langka dan mustahil.
Guna memperkukuh arah perubahan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, maka Pemerintah dan DPR bersepakat melakukan penyesuaian-penyesuaian atas berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung sebagai salah satu pilar pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, hal ini sangat diperlukan guna lebih disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan serta percepatan pembangunan diberbagai bidang.
Sebagai tindak lanjut dari kehendak Pemerintah dan DPR tersebut, maka dilakukanlah perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung, utamanya terhadap ketentuan-ketentuan tertentu yang mengatur antara lain syarat-syarat untuk menjadi hakim agung, syarat usia pensiun dan masa perpanjangannya, kewenangan pengawasan terhadap perilaku hakim, sampai kepada cara-cara untuk menanggulangi penumpukan perkara yang menjadi beban dan tugas Mahkamah Agung. Atas hal tersebut, maka Mahkamah Agung diharapkan dapat memberikan jawaban dan solusi terhadap tugas, fungsi maupun kewenangan Mahkamah Agung yang semakin berat dan komplek.
Guna mengurangi kecenderungan para pihak untuk melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan terakhir pengadilan (putusan pengadilan tingkat banding), dan mengurangi penumpukan perkara (back log) di Mahkamah Agung, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan strategis tertentu, antara lain dengan memaksimalkan jumlah anggota hakim agung, melakukan pembatasan terhadap perkara-perkara tertentu yang dapat dimintakan kasasi (vide Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA), mengefektifkan lembaga mediasi guna mencapai perdamaian para pihak yang berperkara (vide Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (eks. Pasal 130 HIR/154 RBG) dan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan).
Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 23/PUU-V/2007 Tentang permohonan pengujian uji materiil terhadap Pasal 45A Ayat 2 huruf c UU MA, pada dasarnya telah membenarkan argumentasi Pemerintah dan DPR dalam pembuatan UU MA tersebut. Didalam Pertimbangan Hukum Putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
"Dilihat dari segi pembuatan peraturan yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving), menurut Mahkamah, undang-undang a quo telah memperhatikan asas tujuan yang jelas dari tujuan pembuatan suatu norma (het beginsel van duidelijke doelstelling) karena telah memberikan uraian yang cukup mengenai keadaan nyata yang ingin diatasi oleh suatu peraturan. Hal ini juga tampak dalam Penjelasan Umum undang-undang a quo yang berbunyi, antara lain, Dalam undang-undang ini diadakan pembatasan terhadap perkara yang dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini, disamping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Dasar pemikiran pembentuk undang-undang dalam merumuskan norma undang-undang yang membatasi perkara-perkara yang dapat dimohonkan kasasi juga dapat dibenarkan dari perspektif dasar pemikiran tentang hakikat kasasi dalam tingkat-tingkat pengadilan pada sistem peradilan yang menganut sistem kasasi, sebagaimana yang dianut di Indonesia pada khususnya dan di negara-negara civil law pada umumnya, yaitu pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Pengadilan tingkat pertama pada hakikatnya adalah pengadilan yang bertugas memeriksa fakta-fakta dalam suatu peristiwa kongkret tertentu dan kemudian menetapkan apa hukumnya yang berlaku terhadap fakta-fakta demikian. Oleh karena itu pengadilan tingkat pertama dikatakan sebagai judex facti. Sedangkan pengadilan tingkat banding pada hakikatnya bertugas menjawab persoalan apakah pengadilan tingkat pertama telah benar dalam memeriksa fakta-fakta yang diajukan kepadanya dalam suatu peristiwa kongkret tertentu dan juga apakah telah benar dalam menerapkan hukum yang berlaku terhadap fakta-fakta dalam peristiwa kongkret tertentu tersebut. Jadi, pengadilan tingkat banding di samping berperan sebagai judex facti juga berperan sebagai judex juris. Sementara itu, pengadilan tingkat kasasi pada hakikatnya hanya bertugas menjawab persoalan apakah pengadilan tingkat banding telah benar dalam menerapkan hukum yang berlaku terhadap suatu peristiwa kongkret tertentu. Oleh karena itu, pengadilan tingkat kasasi pada hakikatnya adalah semata-mata judex juris;
Dengan uraian di atas, perlunya suatu perkara diperiksa hingga ke pengadilan tingkat kasasi akan tidak lagi menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding telah mencerminkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang berlaku dalam masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU MA di atas. Oleh karena itu, dorongan ke arah peningkatan kualitas putusan pengadilan demikian justru harus didukung oleh semua pihak, termasuk dan terutama oleh pembentuk undang-undang, bukan hanya terhadap perkara yang merupakan kompetensi absolut dari pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara melainkan dalam semua lingkungan peradilan, terutama untuk perkara perdata yang merupakan kompetensi absolute pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang banyak terjadi penumpukan (case loads). Jika suatu ketentuan undang-undang berhasil memberikan dorongan ke arah terwujudnya peningkatan kualitas putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding demikian, maka undang-undang itu bukan hanya telah memerankan dirinya dalam fungsinya yang klasik sebagai sarana penjaga tertib sosial (tool of social control) melainkan juga telah memerankan dirinya sebagai sarana perekayasaan sosial (tool of social engineering);
Lebih lanjut penting pula diingat bahwa pembatasan demikian bukan hanya lazim dipraktikkan di negara-negara hukum yang demokratis yang menganut sIstem kontinental, seperti Jerman dan Belanda, melainkan juga di negara-negara yang menganut sistem peradilan juri, seperti Amerika Serikat. Di Jerman, pengadilan bahkan diberi kewenangan untuk menentukan dan mengubah ambang batas (threshold) dari perkara-perkara yang dapat digolongkan sebagai perkara sederhana atau petty cases (vide Herbert Jacob et.al., Courts, Law, and Politic in Comparative Perspective, 1996, h. 257). Sehingga, perkara-perkara demikian tidak perlu diperiksa sampai ke tingkat kasasi. Sementara itu, di Amerika Serikat, jika pihak yang kalah dalam pengadilan yang lebih rendah menghendaki agar perkaranya diperiksa oleh Mahkamah Agung harus mengajukan petisi yang dinamakan Petition for Certiorari. Petisi dimaksud tidak serta-merta akan dikabulkan atau diterima tetapi oleh Mahkamah Agung akan diteliti terlebih dahulu. Apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa petisi dimaksud layak untuk diterima, biasanya hanya menyangkut kasus-kasus yang dianggap penting terutama yang berkenaan dengan hak-hak dasar warga Negara, maka Mahkamah Agung akan menerbitkan keputusan yang dinamakan Writ of Certiorari;
Berdasarkan uraian di atas tampaklah bahwa pembatasan terhadap perkara yang layak untuk dimohonkan kasasi telah merupakan praktik yang lazim di negara- negara hukum yang demokratis, baik yang menganut tradisi common law maupun civil law, baik yang menganut sistem juri maupun sistem non-juri. Pembatasan demikian tidak tepat dianggap sebagai diskriminasi sepanjang terhadap putusan pengadilan tingkat pertama itu telah diberikan kesempatan untuk mengujinya pada tingkat yang lebih tinggi in casu pengadilan tingkat banding yang berperan baik sebagai judex facti maupun judex juris;
Dengan demikian, pembatasan kasasi an sich tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.

6. Analisis Terhadap Pasal 45A Ayat 2 huruf c UU MA dalam hubungannya dengan Otonomi Daerah
Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA berbunyi:
Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA berbunyi:
Dalam ketentuan ini tidak termasuk keputusan pejabat tata usaha negara yang berasal dari kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Perumusan Pasal 45 Ayat (2) huruf c beserta Penjelasannya mengundang berbagai macam penafsiran dan menimbulkan pertanyaan: pertama, Apakah yang dimaksud dengan keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. Kedua, Apa saja kewenangan yang diberikan dan kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah oleh Pemerintah Pusat berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut baru dapat dijawab setelah kita memahami definisi otonomi daerah, pejabat daerah dan kewenangan yang diberikan kepada daerah serta kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah.
a. otonomi daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kerangka Yuridis mengenai Otonomi Daerah dapat dilihat pada UUD 1945 sebagai konstitusi RI. Pasal 1 UUD 1945 memberikan pondasi bentuk negara Indonesia sebaga suatu negara kesatuan.
Selanjutnya Pasal 18 UUD 1945 berbunyi;
"Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa"
Sedangkan penjelasan angka I pasal tersebut berbunyi:
"Oleh karena Negara Indonesia itu suatu "eeindheidstaat", maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat "staat"juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat autonoom (..), atau bersifat administrasi belaka, supaya menurut aturan yang berlaku akan ditetapkan dengan Undang-undang. Daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan oleh karena di daerah pun pemerintahan bersendi atas dasar permusyawaratan."
Dari Pasal 18 dan penjelasan angka I pasal tersebut, dapat ditarik beberapa pernyataan yang berkaitan dengan masalah otonomi daerah sebagai bahan kajian :
Indonesia adalah negara kesatuan dan tidak mungkin dapat dibentuk negara lagi dalam negara Indonesia. Hal ini lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 1 UUD 1945 yang menyatakan;
"(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik"
Oleh karena itu apabila kita membicarakan desentralisasi di Indonesia, maka desentralisasi yang tercipta adalah yang berkaitan langsung dengan prinsip negara kesatuan dan pada akhirnya juga akan berkaitan dengan prinsip sentralisasi.
Daerah-daerah akan bersifat autonoom (otonomi) atau bersifat administratif belaka. Daerah yang bersifat otonom adalah atas dasar desentralisasi, sedangkan daerah administrasi belaka adalah atas dasar dekonsentralisasi. Dengan demikian prinsip desentralisasi dan juga prinsip dekonsentrasi dilaksanakan baik secara bersamaan maupun sendiri-sendiri di masing-masing daerah tersebut.
Akan ada aturan yang ditetapkan dengan undang-undang mengenai pembagian daerah tersebut, dengan memperhatikan bahwa untuk daerah otonom, pemerintahannya akan bersendi atas dasar permusyawaratan
Dengan adanya institusi Badan Perwakilan Daerah dan pemerintahan yang bersendi atas permusyawaratan, terlihat bahwa UUD 1945 mengharapkan agar demokratisasi juga terjadi pada tingkat daerah. Selain itu, dapat diambil kesimpulan bahwa UUD 1945 juga menghendaki agar daerah mempunyai otonomi yang luas. Akan tetapi dari sisi lain, otonomi luas tersebut tidak berupa kedaulatan dan tidak menimbulkan atribut yang melekat pada negara.
UUD 1945 menempatkan desentralisasi sebagai bagian bentuk Negara (staatsvorm). Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 menetapkan, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Dihubungkan dengan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945, maka negara kesatuan (eenheidsstaat) RI dibangun berdasarkan pemerintahan desentralisasi. Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945, menetapkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Bentuk negara (staatsvorm) menyelidiki dan mengamati negara dari luar. Negara dilihat secara utuh dan bulat (Der Staat als Ganzheit). Manakala bentuk negara (staatsvorm) RI didekati dan diamati dari luar (outward looking) makanegara terdiri dari dua lapisan secara horizontal, yakni pemerintah pusat dan pemerintahan desentralisasi (atau pemerintahan daerah).
Asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan di daerah sesuai dengan jiwa Pasal 18 UUD 1945 dan berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah didasarkan pada asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan.
i. Asas Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah otonom,selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksanaannya adalah perangkat Daerah itu sendiri yaitu terutama Dinas-dinas Daerah dan Pegawai-pegawai Daerah.
Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 hampir setiap cabinet yang terbentuk mencantumkan desentralisasi sebagai salah satu program kerjanya. Bahkan dalam masa orde baru, strategi bagi penyelenggaraan desentralisasi selalu tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sedangkan kebijakan dan programnya terjabar dalam Repelita Nasional. Masa kini desentralisasi merupakan salah satu agenda reformasi. Ratusan perundang-undangan telah terbentuk dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi.
ii. Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Oleh karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menurut asas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pejabat-pejabatnya di Daerah menurut asas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiyaannya. Unsur pelaksanannya adalah terutama instansi-instansi vertikal yang dikoordinasikan oleh Kepala Wilayah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat.
Kebijaksanaan pelaksanaan urusan dekonsentrasi sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
iii. Asas Tugas Pembantuan (medebewind)
Tugas pembantuan (medebewind) adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya, sehingga beberapa urusan pemerintahan masih tetap merupakan urusan Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di Daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekonsentrasi, mengingat terbatasnya kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di Daerah. Di samping itu ditinjau dari segi daya guna dan hasil guna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di Daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di Daerah, karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Selain itu mengingat sifatnya, berbagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang bersangkutan.



Catatan:
Implementasi desentralisasi dan Tugas pembantuan (medebewind) dilakukan oleh Dinas Propinsi, Dinas Kabupaten dan Dinas Kota. Sedangkan dekonsentrasi hanya terjadi dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur, implementasinya dilakukan oleh Dinas Propinsi.

b. Pejabat Daerah
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

i. Kepala Daerah
Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipimpin oleh Kepala Daerah, sedangkan dalam pelaksanaan asas Dekonsentrasi setiap wilayah dipimpin oleh seorang Kepala Wilayah yang disebut Gubernur untuk Provinsi dan ibu kota Negara, Bupati untuk Kabupaten, dan Walikota untuk Kotamadya atau Kota Administratif serta Camat untuk Kecamatan.
Sesuai dengan ketentuan dalam UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menganut adanya asas desentralisasi dan dekonsentrasi, luas/batas wilayah daerah otonom itu sama dengan luas/batas wilayah administratif sehingga kita mengenal pula adanya dua fungsi Kepala Daerah, yaitu fungsi sebagai Kepala Daerah Otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya Pemerintahan Daerah dan fungsi sebagai Kepala Wilayah (Wakil pemerintah) yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah.






















i. DPRD
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD mempunyai tugas dan wewenang. DPRD mempunyai hak: (a). interpelasi; (b). angket; dan (c). menyatakan pendapat.
Alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (a). pimpinan; (b). komisi; (c). panitia musyawarah; (d). panitia anggaran; (e). Badan Kehormatan; dan (f). alat kelengkapan lain yang diperlukan. Anggota DPRD mempunyai hak dan kewajiban. Anggota DPRD mempunyai larangan dan dapat diganti antar waktu. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah berlaku ketentuan Undang-Undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
1. Pemerintah Daerah
i. Provinsi (Pemprov),
Pemerintah Daerah Provinsi (Pemprov), yang terdiri atas Gubernur dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah.
Gubernur, dalam konteks Otonomi Daerah di Indonesia, adalah Kepala Daerah untuk daerah Provinsi. Pada dasarnya, Gubernur memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Gubernur dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di Provinsi setempat; sehingga dalam hal ini Gubernur bertanggung jawab kepada rakyat.
Selain sebagai Kepala Daerah, gubernur juga berkedudukan sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan; sehingga dalam hal ini Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Gubernur bukanlah atasan Bupati atau Walikota, namun hanya sebatas membina, mengawasi, dan mengkoordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) merupakan unsur pembantu pimpinan Pemerintah Provinsi yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Sekretariat Daerah Propinsi bertugas membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah Propinsi. Sekretaris Daerah untuk provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur. Sekretaris Daerah dibantu oleh beberapa asisten. Sekretariat Daerah Provinsi terdiri atas sebanyak-banyaknya 2 Asisten; dimana Asisten masing-masing terdiri dari 3 biro.
ii. Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot) yang terdiri atas Bupati/Walikota dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.
2. Perangkat Daerah
Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pada Daerah Provinsi, Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah. Pada Daerah Kabupaten/Kota, Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan. Perangkat Daerah dibentuk oleh masing-masing Daerah berdasarkan pertimbangan karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah. Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat.
3. Sekretariat Daerah
Sekretariat Daerah (disingkat Setda) adalah unsur pembantu pimpinan Pemerintah Daerah, yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah (disingkat Sekda). Sekretaris Daerah bertugas membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, sekretaris daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sekretaris Daerah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina PNS di daerahnya. Sekretaris Daerah dapat disebut jabatan paling puncak dalam pola karier PNS di Daerah.
i. Sekretariat Daerah Provinsi
Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) merupakan unsur pembantu pimpinan Pemerintah Provinsi yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Sekretariat Daerah Propinsi bertugas membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah Propinsi. Sekretaris Daerah untuk provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur. Sekretaris Daerah dibantu oleh beberapa asisten. Sekretariat Daerah Provinsi terdiri atas sebanyak-banyaknya 2 Asisten; dimana Asisten masing-masing terdiri dari 3 biro.

ii. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota
Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota merupakan unsur pembantu pimpinan Pemerintah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota bertugas membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh Perangkat Daerah Kabupaten/Kota. Sekretaris Daerah untuk kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sebanyak-banyaknya 3 Asisten; dimana Asisten masing-masing terdiri dari sebanyak-banyaknya 4 bagian.
4. Dinas Daerah
Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Daerah dapat berarti Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Dinas Daerah menyelenggarakan fungsi: perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum, serta pembinaan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya.
i. Dinas Daerah Provinsi
Dinas Daerah Provinsi merupakan unsur pelaksana Pemerintah Provinsi dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi. Dinas Daerah Provinsi mempunyai tugas melaksanakan kewenangan desentralisasi dan dapat ditugaskan untuk melaksanakan penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi.
Untuk melaksanakan kewenangan Provinsi di Daerah Kabupaten/Kota, dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) provinsi yang wilayah kerjanya meliputi satu atau beberapa Daerah Kabupaten/Kota. UPTD tersebut merupakan bagian dari Dinas Daerah Provinsi.
Dinas Daerah Provinsi sebanyak-banyaknya terdiri atas 10 Dinas, dan khusus untuk Provinsi DKI Jakarta sebanyak-banyaknya terdiri atas 14 Dinas.
Setiap Daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga penamaan atau nomenklatur Dinas Daerah dapat berbeda di tiap-tiap Provinsi.
ii. Dinas Daerah Kabupaten/Kota
Dinas Daerah Kabupaten/Kota merupakan unsur pelaksana Pemerintah Kabupaten/Kota dimpimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas Daerah Kabupaten/Kota mempunyai tugas melaksanakan kewenangan desentralisasi.
Pada Dinas Daerah Kabupaten/Kota dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) Kabupaten/Kota untuk melaksanakan sebagian tugas Dinas yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.
Dinas Daerah Kabupaten/Kota sebanyak-banyaknya terdiri atas 14 Dinas, dan khusus untuk Provinsi DKI Jakarta sebanyak-banyaknya terdiri atas 14 Dinas.
Setiap Daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga penamaan atau nomenklatur Dinas Daerah dapat berbeda di tiap-tiap Kabupaten/Kota.
5. Lembaga Teknis Daerah
Lembaga Teknis Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Daerah dapat berarti Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Lembaga Teknis Daerah mempunyai tugas melaksanakan tugas tertentu yang karena sifatnya tidak tercakup oleh Sekretariat Daerah dan Dinas Daerah dalam lingkup tugasnya. Tugas tertentu tersebut meliputi: bidang penelitian dan pengembangan, perencanaan, pengawasan, pendidikan dan pelatihan, perpustakaan, kearsipan dan dokumentasi, kependudukan, dan pelayanan kesehatan. Lembaga Teknis Daerah menyelenggarakan fungsi: perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya, serta penunjang penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Lembaga Teknis Daerah dapat berbentuk Badan, Kantor, dan Rumah Sakit. Contoh Lembaga Teknis Daerah adalah: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Daerah, serta Kantor Satuan Polisi Pamong Praja.
i. Lembaga Teknis Daerah Untuk daerah Provinsi
Untuk daerah Provinsi, Lembaga Teknis Daerah dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
ii. Lembaga Teknis Daerah Untuk daerah Kabupaten/Kota
Untuk daerah Kabupaten/Kota, Lembaga Teknis Daerah dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.

6. Kecamatan
Kecamatan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kabupaten atau kota. Kecamatan terdiri atas desa-desa atau kelurahan-kelurahan.
Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, Kecamatan merupakan Perangkat Daerah Kabupaten atau Kota yang mempunyai wilayah kerja tertentu yang dipimpin oleh seorang Camat. Istilah "Kecamatan" di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebut juga dengan "Sagoe Cut" sedangkan di Papua disebut dengan istilah "Distrik".
7. Kelurahan
Kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan.
Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, Kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah.
Kelurahan merupakan unit pemerintahan terkecil setingkat dengan desa. Berbeda dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayahnya lebih terbatas. Dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.
8. Desa
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Yang dimaksud dengan Perangkat Desa lainnya dalam ketentuan ini adalah perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, pelaksana teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur kewilayahan seperti kepala dusun atau dengan sebutan lain.
Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa sebagaimana dimaksud, ditetapkan sebagai kepala desa. Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Masa jabatan kepala desa dalam ketentuan ini dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda.
Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan. Yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan desa dalam ketentuan ini seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, karang taruna, lembaga pemberdayaan masyarakat.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;
urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.

c. Pola Hubungan Kepala Daerah Sebagai Kepala Wilayah Dengan Instansi-instansi Vertikal Berdasarkan Asas Dekonsentrasi.
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Pelaksanaan asas Dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
Konstruksi perwilayahan yang diatur didalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan Provinsi sebagai daerah otonom sekaligus sebagai Wilayah Administrasi. Pengaturan sedemikian ini berarti bahwa antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota mempunyai keterkaitan dan hubungan hirarkhis satu sama lain, baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan. Adanya pemikiran bahwa Provinsi dengan Kabupaten dan Kota terlepas satu sama lain, mengingkari prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang Undang Dasar 1945, yang secara jelas mengatur secara sistematik antara masing-masing tingkat pemerintahan. Menyadari hal itu, maka dalam rangka prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, Gubernur sebagai Wakil Pemerintah menerima pelimpahan wewenang dibidang Pemerintahan Umum dan pelimpahan wewenang urusan teknis dari Departemen/LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen).
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu. Instansi vertikal adalah kantor-kantor pemerintahan yang secara administratif berada di bawah kewenangan pemerintah pusat dan keberadaannya didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi daerah kerjanya terbatas dalam wilayah propinsi, kabupaten, atau kota tertentu, misalnya kantor wilayah (kanwil) di propinsi serta kantor departemen (kandep) di kabupaten dan kota. Sedangkan yang dimaksud dengan Instansi otonom adalah kantor-kantor pemerintahan yang secara administratif berada di bawah kewenangan pemda (propinsi, kabupaten, atau kota) dan keberadaannya didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), misalnya dinas, sekretariat daerah (setda).
Pemerintah dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur dan/atau Perangkat Pusat di Daerah. Pelimpahan urusan dapat dilakukan kepada seluruh Gubernur dan/atau perangkat Pusat di Daerah tertentu. Urusan pemerintahan yang dapat dilimpahkan meliputi sebagian kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama serta sebagian urusan diluar 6 urusan Pemerintahan atau yang disebut sebagai urusan bersama yang menjadi urusan Pemerintah. Menteri/Pimpinan LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen) sesuai dengan bidang kewenangannya dapat memprakarsai pelimpahan urusan pemerintahan dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Sedangkan jangkauan pelayanan penyelenggaraan urusan dapat melampaui satu wilayah administrasi Pemerintahan.
Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 37 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan sebagai Wakil Pemerintah di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "Wilayah Provinsi" dalam ketentuan ini adalah wilayah administrasi yang menjadi wilayah kerja Gubernur. Dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden.
Selanjutnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah yaitu :
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kebupaten/Kota.
Substansi pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh pemerintah meliputi :
1) Koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan, yang dilaksanakan secara berkala pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
2) Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada semua daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan sampai pemerintahan desa.
3) Pendidikan dan pelatihan, dilaksanakan secara berkala bagi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, anggota DPRD, Perangkat Daerah, PNS Daerah dan Kepala Desa yang dapat dilakukan kerjasama dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian.
4) Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan, dilaksanakan secara berkala ataupun sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan pemerintahan yang dapat dilakukan kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian.
Pemberian penghargaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diberikan kepada Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah, Anggota DPRD, Perangkat Daerah, PNS daerah, Kepala Desa, anggota BPD dan Masyarakat.
Substansi pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi :
5) Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang dimaksudkan agar pelaksanaan berbagai urusan pemerintahan di daerah tetap dapat berjalan sesuai dengan standar dan kebijakan Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan .
6) Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Demikian juga mengenai rancangan Perda yang berkaitan dengan Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Daerah dilakukan dengan mekanisme yang sama dengan rancangan Perda tentang APBD. Sedangkan terhadap Perda Kabupaten/Kota cukup disampaikan kepada Gubernur dan apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka Perda tersebut harus dibatalkan.
Pemberian sanksi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, Anggota DPRD, Perangkat Daerah, PNS Daerah dan Kepala Desa.
Hasil pembinaan dan pengawasan digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh BPK.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Gubernur.
Koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang meliputi :
a) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama yang dilimpahkan kepada perangkat Pemerintah di Daerah yaitu kepada instansi vertikal di Provinsi dan Kabupaten/Kota serta yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah.
b) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di luar 6 urusan yaitu urusan bersama yang menjadi urusan pemerintah yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan saat ini, disamping 6 urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, senyatanya masih ada yang belum diserahkan kepada daerah yang harus dikoordinasikan oleh Gubernur yaitu BKKBN, BPN, BPOM, BPS, dan beberapa UPT Kementerian Negara/LPND seperti UPT, BKN, BPPT, LIPI, dan lain-lain
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang meliputi:
c) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama yang ditugaskan kepada Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa.
d) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di luar 6 urusan yaitu urusan bersama yang menjadi urusan Pemerintah yang ditugaskan kepada Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa.
e) Penyelenggaraan urusan daerah Provinsi yang ditugaskan kepada Kabupaten/Kota dan Desa dan urusan daerah Kabupaten/Kota yang ditugaskan kepada Desa.

d. Kewenangan yang diberikan kepada daerah dan kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah.
Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang no. 32 Tahun 2004 ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat.
1. Urusan Pemerintahan
Penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom dimaksud dilakukan secara delegasi, lazim disebut delegation of authority. Penyerahan kewenangan urusan pemerintahan secara delegasi, mengakibatkan pemberi delegasi kehilangan kewenangan, semua beralih kepada penerima delegasi, kecuali urusan pemerintahan yang dengan tegas dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat, yakni meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional, dan
f. agama.
Urusan pemerintahan sebagaimana yang terangkum dalam Pasal 2 Ayat (4) PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi:
pendidikan;
kesehatan;
pekerjaan umum;
perumahan;
penataan ruang;
perencanaan pembangunan;
perhubungan;
lingkungan hidup;
pertanahan;
kependudukan dan catatan sipil;
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
sosial;
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
koperasi dan usaha kecil dan menengah;
penanaman modal;
kebudayaan dan pariwisata;
kepemudaan dan olah raga;
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
pemberdayaan masyarakat dan desa;
statistik;
kearsipan;
perpustakaan;
komunikasi dan informatika;
pertanian dan ketahanan pangan;
kehutanan;
energi dan sumber daya mineral;
kelautan dan perikanan;
perdagangan; dan
perindustrian.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut diatas, Pemerintah Pusat menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. Sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat diluar urusan pemerintahan tersebut diatas, Pemerintah dapat:
menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pembagian urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan teknis untuk masing-masing sub bidang atau sub sub bidang urusan pemerintahan diatur dengan peraturan menteri/kepala lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintahan yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.
2. Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Urusan pemerintahan tersebut terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah berbunyi:
Ayat (1): Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
perencanaan dan pengendalian pembangunan;
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
penyediaan sarana dan prasarana umum;
penanganan bidang kesehatan;
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
pengendalian lingkungan hidup;
pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
pelayanan administrasi umum pemerintahan;
pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Ayat (2): Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pilihan meliputi:
kelautan dan perikanan;
pertanian;
kehutanan;
energi dan sumber daya mineral;
pariwisata;
industri;
perdagangan; dan
ketransmigrasian
Pasal 14 UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah berbunyi:
Ayat (1): Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
perencanaan dan pengendalian pembangunan;
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
penyediaan sarana dan prasarana umum;
penanganan bidang kesehatan;
penyelenggaraan pendidikan;
penanggulangan masalah sosial;
pelayanan bidang ketenagakerjaan;
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
pengendalian lingkungan hidup;
pelayanan pertanahan;
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
pelayanan administrasi umum pemerintahan;
pelayanan administrasi penanaman modal;
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Ayat (2): Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya mengenai urusan wajib dan urusan pilihan ini dipertegas didalam Pasal 7 PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yakni:
i. Urusan wajib
Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi:
pendidikan;
kesehatan;
lingkungan hidup;
pekerjaan umum;
penataan ruang;
perencanaan pembangunan;
perumahan;
kepemudaan dan olahraga;
penanaman modal;
koperasi dan usaha kecil dan menengah;
kependudukan dan catatan sipil;
ketenagakerjaan;
ketahanan pangan;
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
perhubungan;
komunikasi dan informatika;
pertanahan;
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
pemberdayaan masyarakat dan desa;
sosial;
kebudayaan;
statistik;
kearsipan; dan
perpustakaan
ii. Urusan pilihan
Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Urusan pilihan tersebut meliputi:
kelautan dan perikanan;
pertanian;
kehutanan;
energi dan sumber daya mineral;
pariwisata;
industri;
perdagangan; dan
ketransmigrasian.
Urusan pemerintahan wajib dan pilihan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana dinyatakan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

7. Implikasi Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA Terhadap Keputusan Pejabat TUN yang dibatasi Pengajuan Kasasinya.
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan salah satu pilar penting dalam penggunaan wewenang pemerintahan, khususnya penyelenggaraan pemerintahan oleh pejabat Tata Usaha Negara dalam mewujudkan pelayanan publik. KTUN sebagai instrumen pemerintahan dalam melakukan tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dengan melihat begitu besarnya kewenangan yang diberikan oleh UU. No. 32 Tahun 2004 jo. PP No. 38 Tahun 2007 kepada Daerah, maka akan memindahkan birokrasi pusat ke Daerah dengan segala eksesnya tanpa kendali yang cukup dari Pemerintah Pusat termasuk dalam penerbitan keputusan-keputusan Kepala Daerah khususnya Keputusan Tata Usaha Negara atas dasar kewenangan otonomi daerah, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan konflik atau sengketa tata usaha negara antara warga masyarakat dengan Pejabat Tata Usaha Negara Daerah.
Apabila sengketa tata usaha negara tersebut di atas timbul, maka penyelesaian sengketanya dapat ditempuh melalui Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu sarana perlindungan hukum bagi rakyat (masyarakat) di Indonesia. Namun persoalannya adalah bagaimanakah kriteria Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan dalam hubungannya dengan Pembatasan Kasasi?
Pertanyaan tersebut baru dapat dijawab setelah kita memahami bunyi redaksional Penjelasan Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA yang mensyaratkan bahwa ketentuan pasal a quo tidak termasuk keputusan (beschikking) pejabat tata usaha negara yang berasal dari kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Salah satu kata kunci yang penting dalam suatu KTUN adalah adanya "wewenang" atau "kewenangan" yang selalu harus ada dan yang menjadi dasar berpijak bagi Pejabat TUN untuk dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dan khususnya dalam hal ini adalah menerbitkan keputusan-keputusan TUN sebagai salah satu instrumen yuridis dalam menjalankan pemerintahan.
Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA berbunyi:
"Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan."
Penjelasan Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA berbunyi:
"Dalam ketentuan ini tidak termasuk keputusan pejabat tata usaha negara yang berasal dari kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Rumusan di atas sedemikian luasnya, sehingga mengundang pertanyaan:
1. KTUN apa saja yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN Daerah berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang diberikan kepada daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan, yang menurut undang-undang MA dibatasi pengajuan kasasinya.
2. KTUN apa saja yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN Daerah ketika melaksanakan urusan pemerintahan di wilayah daerah yang bersangkutan, yang berasal dari kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang menurut undang-undang MA dapat diajukan kasasinya.
Berdasarkan pertanyaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pegangan dan ukuran, bukannya jangkauan KTUN yang dikeluarkan oleh Badan/pejabat TUN Daerah dalam wilayah yang bersangkutan, tetapi ditekankan pada urusan pemerintahan apa yang dilaksanakannya pada waktu mengeluarkan KTUN itu. Apabila pada saat mengeluarkan KTUN itu yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan berdasarkan perundang-undangan (vide Pasal 13 dan Pasal 14 UU no.32 Tahun 2004 jo. Pasal 7 PP No.38 Tahun 2007), maka pada saat itu segala kebijakan yang diambil oleh Badan/Pejabat TUN Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dilapangan (taak vervulling), termasuk penyelenggaraan pelayanan publik (bestuurszorg) dan perbuatan-perbuatan menerbitkan KTUN (beschikkingsdaad van de administratie) yang menimbulkan sengketa tata usaha negara dengan orang atau badan hukum perdata sebagai akibat dikeluarkannya KTUN di daerah otonom adalah perkara Tata usaha Negara yang dibatasi pengajuan kasasinya sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA. Oleh karena urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya telah menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah sepenuhnya dan jangkauan KTUN yang dikeluarkan hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Selanjutnya, Apabila pada saat mengeluarkan KTUN itu yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan dalam pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, maka pada saat itu segala kebijakan yang diambil oleh Badan/Pejabat TUN Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dilapangan (taak vervulling), termasuk penyelenggaraan pelayanan publik (bestuurszorg) dan perbuatan-perbuatan menerbitkan KTUN (beschikkingsdaad van de administratie) yang menimbulkan sengketa tata usaha negara dengan orang atau badan hukum perdata sebagai akibat dikeluarkannya KTUN di daerah otonom adalah perkara Tata usaha Negara yang bisa dikasasi. Oleh karena Kebijaksanaan pelaksanaan urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sehingga wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya berada di pusat, sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa hanya sebagai Koordinator dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat yang bertugas mengkoordinasikan unsur-unsur pelaksana yakni instansi-instansi vertical, yang mana jangkauan KTUN yang dikeluarkan dalam rangka pelayanan penyelenggaraan urusan dapat melampaui satu wilayah administrasi Pemerintahan.

8. Menggagas Kriteria Keputusan Pejabat TUN yang dibatasi Pengajuan Kasasinya Menurut Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA
Sebagai jalan keluar untuk membantu pelaksanaan tugas Peradilan Tata Usaha Negara di daerah-daerah, penulis mengusulkan hal-hal berikut. Pertama, Ketua Pengadilan dan hakim-hakim di PTUN sungguh-sungguh memperhatikan jiwa dari Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA beserta Penjelasannya tentang Pembatasan kasasi. Yang perlu diperhatikan di antaranya ialah Pasal 13 dan Pasal 14 UU no.32 Tahun 2004 jo. Pasal 7 PP No.38 Tahun 2007 yang "merumuskan kewenangan yang diberikan kepada daerah dan kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah." Semangat yang terkandung dalam kekosongan hukum ini di satu segi mendorong tumbuhnya kemandirian dan keprakarsaan dari bawah, sehingga PTUN tidak perlu menunggu arahan dan aturan dari atas.
Kedua, dalam melaksanakan inisiatif dari bawah itu, Ketua Pengadilan dan Hakim-hakim di tiap-tiap PTUN dan PTUN dengan PTUN lainya di tiap-tiap wilayah PT.TUN atau apabila dimungkinkan PTUN seindonesia secara bersama-sama dapat mengadakan kesepakatan bersama mengenai mekanisme penetapan Kriteria KTUN yang tidak bisa dikasasi dengan mengacu kepada Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA beserta Penjelasannya jo. Pasal 14 UU no.32 Tahun 2004 jo. Pasal 7 PP No.38 Tahun 2007. Harus segera diadakan kesepakatan untuk menghindari penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda antara satu PTUN dan PTUN lainnya. Langkah-langkah ini penting untuk menghindari jangan sampai perbedaan antara satu sama lain terlalu tajam sehingga dapat mengganggu upaya mencapai tujuan memberi kepastian hukum (rechtszekerheid) dan rasa keadilan bagi masyarakat (justiabelen).
Ketiga, sebelum dibentuknya Peraturan lebih lanjut mengenai kriteria Pembatasan Kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA tersebut di atas, guna menghindari penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda mengenai apakah KTUN objek sengketa merupakan keputusan pejabat TUN yang berasal dari kewenangan yang tidak diberikan kepada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 23/PUU-V/2007, PTUN dapat menentukan inovasi sendiri mengenai kriteria yang dimaksud, misalnya pembatasan kasasi PTUN tersebut harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
KTUN objek sengketa itu dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang mana? Apakah pelaksanaan asas desentralisasi atau asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan (medebewind)
KETERANGAN:
Apabila KTUN objek sengketa yg dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN Daerah in casu merupakan kewenangan dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi sebagaimana yang terangkum dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah jo. Pasal 7 PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Maka KTUN objek sengketa tersebut TIDAK BISA DIKASASI, oleh karena penyerahan kewenangan urusan pemerintahan secara desentralisasi berlangsung secara delegasi yang mana wewenang dan tanggungjawab beralih kepada pemerintah daerah sepenuhnya dan jangkauan KTUN yang dikeluarkan hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Apabila KTUN objek sengketa yg dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN in casu merupakan kewenangan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dan pelaksanaan asas tugas pembantuan (medebewind). Maka KTUN objek sengketa tersebut BISA DIKASASI, oleh karena pelimpahan kewenangan pemerintahan secara dalam konteks dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) ini dilakukan secara mandatum, dimana mandator (pemerintah pusat) tidak kehilangan kewenangan yang dilimpahkannya namun justru mandataris (Gubernur, Bupati dan Walikota pada posisi ini bukan sebagai kepala daerah melainkan sebagai sebagai Kepala wilayah yang mengkoordinir instasi-instasi vertikal) bertindak untuk dan atas nama mandator, dan Mandataris bertanggung jawab kepada mandator. Atau dengan kata lain Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pejabat-pejabatnya di Daerah menurut asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Instansi atau Badan apa yang mengeluarkan KTUN objek sengketa?
KETERANGAN:
Apabila Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN objek sengketa merupakan instansi-instansi Vertikal yang dikoordinasikan oleh Kepala Wilayah (Gubernur, Bupati dan Walikota) yaitu kantor-kantor pemerintahan yang secara administratif berada di bawah kewenangan pemerintah pusat dan keberadaannya didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi daerah kerjanya terbatas dalam wilayah propinsi, kabupaten, atau kota tertentu, misalnya kantor wilayah (kanwil) di propinsi serta kantor departemen (kandep) di kabupaten dan kota. Maka KTUN objek sengketa tersebut BISA DIKASASI, oleh karena instansi vertikal adalah perangkat Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen/LPND yang ditempatkan di Daerah untuk melaksanakan sebagian urusan Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen/LPND yang bersangkutan sesuai dengan asas dekonsentrasi, sehingga jangkauan KTUN objek sengketa yang dikeluarkan dalam rangka pelayanan penyelenggaraan urusan dapat melampaui satu wilayah administrasi Pemerintahan.
Apabila Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN objek sengketa merupakan Instansi otonom yang dikepalai oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) yaitu kantor-kantor pemerintahan yang secara administratif berada di bawah kewenangan pemda (propinsi, kabupaten, atau kota) dan keberadaannya didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), misalnya dinas, sekretariat daerah (setda). Maka KTUN objek sengketa tersebut TIDAK BISA DIKASASI, oleh karena instansi otonom adalah perangkat daerah yang merupakan organisasi atau lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sehingga jangkauan KTUN objek sengketa yang dikeluarkan hanya berlaku di daerah yang bersangkutan.
Apakah ada tumpang tindih (overlaping)/sengketa kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengeluarkan KTUN objek sengketa yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata?
KETERANGAN:
Apabila dalam praktek terjadi tumpang tindih (overlaping)/sengketa kewenangan antara instansi vertikal dengan instansi otonom, antara Kepala Daerah dengan Pejabat Pusat (Menteri/Pimpinan LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen)) dalam mengeluarkan KTUN dalam kasus-kasus tertentu yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata, maka KTUN objek sengketa tersebut BISA DIKASASI, oleh karena kewenangan mengeluarkan KTUN objek sengketa tersebut berhubungan dengan urusan Pemerintah Pusat. Yang mana jangkauan KTUN objek sengketa melampaui satu wilayah administrasi Pemerintahan.
Apabila dalam praktek terjadi tumpang tindih (overlaping)/sengketa kewenangan antara instansi otonom dengan instansi otonom lainnya dalam satu wilayah dalam mengeluarkan KTUN dalam kasus-kasus tertentu, atau terjadi tumpang tindih (overlaping) KTUN yang hanya dikeluarkan oleh satu instansi otonom atau beberapa instansi otonom lainnya atau seorang Kepala Daerah atau beberapa Kepala Daerah lainnya yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata, maka KTUN objek sengketa tersebut TIDAK BISA DIKASASI, oleh karena kewenangan mengeluarkan KTUN objek sengketa tersebut hanya menyangkut urusan Pemerintah Daerah saja. Yang mana jangkauan KTUN objek sengketa hanya berlaku di daerah yang bersangkutan.

Apakah KTUN objek sengketa yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata berada dalam batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) Instansi Vertikal atau Instansi Otonom?
KETERANGAN:
Apabila KTUN objek sengketa yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata berada dalam batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) Instansi Vertikal dari berbagai Departemen, maka KTUN objek sengketa tersebut BISA DIKASASI, oleh karena kewenangan mengeluarkan KTUN objek sengketa tersebut dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi yang sesuai dengan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) Kepala Wilayah di Propinsi, kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai Wilayah Administrasi.
Apabila KTUN objek sengketa yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata berada dalam batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) instansi otonom dari berbagai daerah, maka KTUN objek sengketa tersebut TIDAK BISA DIKASASI, oleh karena kewenangan mengeluarkan KTUN objek sengketa tersebut dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi yang sesuai dengan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) Kepala Daerah di Propinsi, kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai Wilayah Administrasi.

Dengan demikian, inisiatif dari PTUN tidak perlu terganggu, tetapi kita siap untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya kekisruhan dalam pengaturan teknis hukumnya di lapangan.
PENUTUP
Demikianlah beberapa masukan pemikiran yang kiranya dapat dipertimbangkan oleh Ketua Pengadilan dan Hakim-hakim PTUN di seluruh Indonesia dalam upaya membuat dan menetapkan Kriteria Pembatasan kasasi sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA beserta Penjelasannya, yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan teknis hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara di lapangan. Mudah-mudahan para Pimpinan kita di Mahkamah Agung dapat bekerja keras untuk segera menetapkan berbagai peraturan teknis peradilan yang sangat diperlukan sebagai pedoman bagi PTUN-PTUN di seluruh Indonesia. Mudah-mudahan pula, berbagai peraturan yang akan ditetapkan itu nantinya dapat sungguh-sungguh dijadikan acuan, tidak malah menimbulkan masalah-masalah baru, karena kekurangcermatan dalam perumusannya seperti yang telah terjadi sebelumnya.
Namun, terlepas dari harapan-harapan positif tersebut di atas, semua pihak Peradilan TUN hendaklah siap mengantisipasi berbagai kemungkinan buruknya teknik perumusan peraturan-peraturan di tingkat Mahkamah Agung tersebut. Karena harus dimaklumi juga bahwa persoalan yang harus diselesaikan demikian banyak dan rumit, sehingga tetap saja ada kemungkinan terjadinya kekurangan disana-sini. Yang penting adalah semangat kita semua harus ditujukan ke arah perbaikan yang sungguh-sungguh dalam rangka Penegakan hukum administrasi Negara yang justru sangat menentukan nasib birokrasi Negara ke depan. Sukses tidaknya pelaksanaan pembatasan kasasi ini menyangkut taruhan yang sangat besar, yaitu menyangkut proses peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah, sehingga akses untuk memperoleh keadilan masyarakat (access to justice) dapat terwujud dan pada gilirannya kepastian hukum (rechtszekerheid) dapat diperoleh dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Farida Indrati Soeprapto, Maria, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Cet. Kelima, Yogjakarta: Penerbit Kanisius, 1998
Lembaga Administrasi Pemerintahan Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jilid I, Edisi Ketiga, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1996

MAKALAH/ARTIKEL
Departemen Dalam Negeri RI, Memantapkan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Daerah, Bahan Paparan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Pada Forum Koordinasi Dan Konsultasi Pemantapan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah, Jakarta, 26 Juli 2005
Effendi Lotulung, Paulus, Perkembangan Praktek Pengadilan Mengenai Keputusan Tata Usaha Negara Sebagai Objek Gugatan, Tulisan tersebar, Bandung: 2003
Hoessein, Bhenyamin, Hubungan Penyelenggaraan Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Daerah, Makalah disampaikan dalam Seminar sehari tema sentral "Perspektif Reformasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menuju Kemandirian Daerah", yang diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus 1945 pada tanggal 13 Juli 1999 di Jakarta.
Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 23/PUU-V/2007 Tentang permohonan pengujian uji materiil terhadap Pasal 45A Ayat 2 huruf c UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UUD 1945 PASCA AMANDEMEN
UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung
UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
INTERNET
"http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Daerah"



LAMPIRAN

SYARAT-SYARAT PEMBATASAN KASASI DILIHAT DARI 4 (EMPAT) ASPEK, YAITU:
I. ASPEK URUSAN PEMERINTAHAN YANG MANA YANG DILAKSANAKAN PADA SAAT DIKELUARKAN KTUN OBJEK SENGKETA




















KTUN Yang Dikeluarkan Dalam Pelaksanaan Urusan Pemerintahan Berdasarkan Asas Desentralisasi Tidak Bisa Dikasasi






DESENTRALISASI:
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia





CATATAN:
Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggungjawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksanaannya adalah perangkat Daerah itu sendiri yaitu terutama Dinas-dinas Daerah dan Pegawai-pegawai Daerah.

KTUN Yang Dikeluarkan Dalam Menjalankan Urusan Pemerintahan Berdasarkan Asas Dekonsentrasi Bisa Dikasasi







DEKONSENTRASI:
Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu



CATATAN:
Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pejabat-pejabatnya di Daerah menurut asas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiyaannya. Unsur pelaksanannya adalah terutama instansi-instansi vertical yang dikoordinasikan oleh Kepala Wilayah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat. Kebijaksanaan pelaksanaan urusan dekonsentrasi sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.

KTUNYang Dikeluarkan Dalam Menjalankan Urusan Pemerintahan Berdasarkan Asas Tugas Pembantuan (Medebewind) Bisa Dikasasi.




ASAS TUGAS PEMBANTUAN (MEDEBEWIND):
Penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu






CATATAN:
Tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya, sehingga beberapa urusan pemerintahan masih tetap merupakan urusan Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di Daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekonsentrasi, mengingat terbatasnya kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di Daerah. Di samping itu ditinjau dari segi daya guna dan hasil guna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di Daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di Daerah, karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Selain itu mengingat sifatnya, berbagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang bersangkutan.


II. ASPEK BADAN/INSTANSI YANG MENGELUARKAN KTUN OBJEK SENGKETA

III. Apakah ada tumpang tindih (overlaping)/sengketa kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengeluarkan KTUN objek sengketa yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata.
KETERANGAN:
Apabila dalam praktek terjadi tumpang tindih (overlaping)/sengketa kewenangan antara instansi vertikal dengan instansi otonom, antara Kepala Daerah dengan Pejabat Pusat (Menteri/Pimpinan LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen)) dalam mengeluarkan KTUN dalam kasus-kasus tertentu yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata, maka KTUN objek sengketa tersebut BISA DIKASASI, oleh karena kewenangan mengeluarkan KTUN objek sengketa tersebut berhubungan dengan urusan Pemerintah Pusat. Yang mana jangkauan KTUN objek sengketa melampaui satu wilayah administrasi Pemerintahan.
Apabila dalam praktek terjadi tumpang tindih (overlaping)/sengketa kewenangan antara instansi otonom dengan instansi otonom lainnya dalam satu wilayah dalam mengeluarkan KTUN dalam kasus-kasus tertentu, atau terjadi tumpang tindih (overlaping) KTUN yang hanya dikeluarkan oleh satu instansi otonom atau seorang Kepala Daerah saja yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata, maka KTUN objek sengketa tersebut TIDAK BISA DIKASASI, oleh karena kewenangan mengeluarkan KTUN objek sengketa tersebut hanya menyangkut urusan Pemerintah Daerah saja. Yang mana jangkauan KTUN objek sengketa hanya berlaku di daerah yang bersangkutan.

IV. Apakah KTUN objek sengketa yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata berada dalam batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) Instansi Vertikal atau Instansi Otonom
KETERANGAN:
Apabila KTUN objek sengketa yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata berada dalam batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) Instansi Vertikal dari berbagai Departemen, maka KTUN objek sengketa tersebut BISA DIKASASI, oleh karena kewenangan mengeluarkan KTUN objek sengketa tersebut dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi yang sesuai dengan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) Kepala Wilayah di Propinsi, kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai Wilayah Administrasi.
Apabila KTUN objek sengketa yang merugikan individu atau Badan Hukum Perdata berada dalam batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) instansi otonom dari berbagai daerah, maka KTUN objek sengketa tersebut TIDAK BISA DIKASASI, oleh karena kewenangan mengeluarkan KTUN objek sengketa tersebut dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi yang sesuai dengan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) Kepala Daerah di Propinsi, kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai Wilayah Administrasi.

Tidak ada komentar: