Rabu, 31 Desember 2008

KONFLIK KOMPETENSI ANTARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN PERADILAN UMUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI INDONESIA

EKSISTENSI DAN TOLOK UKUR KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA(BESCHIKKING) BERUPA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH DAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH YANG DITERBITKAN OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL
DALAM KOMPETENSI PERADILAN
(Suatu Gagasan Mengenai Pemecahan Konflik Kompetensi
Antara Peradilan Tata Usaha Negara Dengan Peradilan Umum Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia)
*****

OLEH
TEGUH SATYA BHAKTI, SH.,MH
[1]

“Sesungguhnya telah kami unjukkan amanah (perintah)
kepada langit, bumi, dan gunung-gunung,
lalu mereka enggan memikulnya dan takut menerimanya,
kemudian amanah itu dipikul oleh manusia,
sesungguhnya manusia itu aniaya lagi jahil (tiada berilmu)”.
(Al-Qur’an surat Al-Ahzab Ayat 72)





A. PENDAHULUAN


Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat Indonesia yang sangat mendasar, karena tanah memiliki karakteristik yang bersifat multi dimensi, multi sektoral, multi disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi.

Dewasa ini masalah pertanahan belum dapat dipecahkan, bahkan cenderung semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan dan aktivitas masyarakat itu sendiri. Masalah pertanahan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan berbagai variasinya serta memiliki kecenderungan menimbulkan dampak buruk lainnya.

Sesungguhnya ada beberapa kondisi yang menggambarkan masalah pertanahan tersebut di antaranya: [1]

  1. semakin maraknya konflik dan sengketa tanah;
  2. semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah, pada sekelompok kecil masyarakat, dan
  3. lemahnya jaminan kepastian hukum atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah.

Ada beberapa faktor penyebab dari timbulnya masalah-masalah tersebut di atas, yaitu: [3] Pertama, Peraturan perundang-undangan yang ada tidak kondusif bagi pemecahan masalah pertanahan. Hal ini disebabkan oleh karena:

  1. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan saling tumpang tindih atau tidak sejalan dengan peraturan yang lebih tinggi
  2. Adanya peraturan perundang-undangan pertanahan yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat.
  3. Masih banyak peraturan perundangan yang terkait dengan tanah tidak memiliki paraturan pelaksanaan.
  4. Masih terjadi kesimpang siuran pengertian tanah, agraria dan sumberdaya alam yang menyebabkan kerancuan mengenai ruang lingkup yang di atur. Adanya peraturan perundang-undangan pertanahan yang tidak efektif dijalankan .

Kedua, Terbatasnya akses masyarakat terhadap pemilikan dan penguasaan tanah secara adil. Hal ini disebabkan oleh karena :

  1. Tidak adanya komitmen politik
  2. Kurang pemahaman tentang landreform
  3. Tidak ada organisasi tani yang kuat
  4. Tidak relevannya lagi peraturan perundang-undangan landreform
  5. Kurang memadainya infrastruktur untuk pelaksanaan landreform
  6. Program landreform saat ini kegiatannya hanya semata-mata melakukan redistribusi tanah atas tanah-tanah obyek landreform.
  7. Belum terdatanya tanah bekas hutan yang status tanahnya dilepas oleh Departemen Kehutanan sehingga tanah yang mestinya dapat dijadikan obyek landreform tidak dapat segera terdeteksi.
  8. Kurangnya transparansi dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah.
  9. Kurangnya data dan informasi penguasaan dan pemilikan tanah.

Ketiga, Belum terwujudnya kelembagaan pertanahan yang efektif dan efisien. Permasalahan ini disebabkan oleh karena :

  1. Pengelolaan pertanahan ditangani oleh lebih dari satu lembaga dan tidak terkoordinasi dan tersinkronisasi dengan baik.
  2. Ketidakjelasan kewenangan antar instansi pemerintah di pusat maupun antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dibidang pertanahan.
  3. Status lembaga pertanahan selama ini .belum mantap (berubah-rubah).
  4. Keberadaan unit kerja instansi pertanahan belum sampai ke tingkat masyarakat.
  5. Kesiapan personil/aparat baik jumlah maupun kompetensinya di tingkat pusat dan daerah belum memadai.
  6. Ketidaksiapan lembaga pertanahan sebagai pelayan masyarakat, baik di pusat, provinsi maupun di daerah

Ke empat, Pelaksanaan pendaftaran tanah belum optimal. Permasalahan ini disebabkan oleh karena :

  1. Belum sepenuhnya terlaksana pelayanan prima, walaupun telah dikeluarkan Keputusan Menteri Negara Agraria tentang pelayanan prima.
  2. Belum lengkapnya perangkat hukum yang jelas tentang pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah.
  3. Belum ada kesatuan penafsiran definisi tanah Negara dan tanah adat.
  4. Sering munculnya berbagai kasus sertifikat ganda.
  5. Rendahnya kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya.
  6. Belum efektifnya pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan standar produk (SP) .
  7. Kurang tersedianya infrastruktur pendaftaran tanah.
  8. Mahalnya biaya pendaftaran tanah untuk pertama kali.

Ke lima, Belum optimalnya penatagunaan tanah. Permasalahan ini disebabkan oleh karena:

  1. Belum tersedianya data penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) per persil/bidang tanah untuk dijadikan acuan dalam penatagunaan tanah.
  2. Tidak terkendalinya alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian.
  3. Perencanaan pembangunan yang terkait dengan tanah atau lokasi belum terkoordinasi dengan baik.
  4. Penggunaan tanah belum memperhatikan aspek konservasi dan kelestarian lingkungan hidup.
  5. Pengawasan/pengendalian penggunaan tanah belum efekif dan penegakan hukum lemah.
  6. Belum terakomodasikan partisipasi masyarakat dalam penetapan peruntukan ruang dalam RT-RW tidak dilandasi data data penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam penyusunannya.
  7. Belum adanya informasi tentang status tanah, hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan tanah pantai dan pulau-pulau kecil serta wilayah perbatasan negara.

Ke enam, lemahnya sistem informasi berbasis tanah. Permasalahan ini disebabkan oleh karena:

  1. Belum dimilikinya sistem informasi berbasis tanah yang lengkap, akurat, dan mudah diakses, baik yang dilaksanakan secara manual maupun digital
  2. Belum terintegrasinya sistem informasi pertanahan antar instansi/lembaga, baik ditingkat nasional, provinsi maupun kabupaten / kota maupun desa/kelurahan.
  3. Belum berhasilnya program komputerisasi pengelolaan administrasi pertanahan.
  4. Belum ada kesamaan visi antar instansi dalam pemahaman pentingnya SIP
  5. Tidak adanya sistim informasi berbasis tanah tentang data non fisik seperti sejarah, aturan dan kebijakan pertanahan masa lampau, mengakibatkan tidak lengkapnya informasi dalam pertimbangan penetapan kebijakan pertanahan

Ke tujuh, Pemecahan konflik dan sengketa pertanahan belum memadai. Permasalahan ini disebabkan oleh karena :

  1. Rendahnya kualitas pemahaman penegak hukum dan aparat terkait menyebabkan tingkat penyelesaian sengketa pertanahan menjadi lambat dan kurang efektif.
  2. Tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih.
  3. Ketiadaan pengadilan yang secara khusus menangani masalah pertanahan.
  4. Lemahnya koordinasi antar instansi pengelola tanah serta belum adanya mekanisme penyelesaian konflik secara menyeluruh.
  5. Batas pemilikan/penguasaan tanah tidak jelas
  6. Pendudukan/penggarapan tanah oleh masyarakat tanpa sepengatuhan pemegang hak (tanpa ijin yang berhak).
  7. Putusan pengadilan yang tidak dapat diterima oleh salah satu atau kedua belah pihak.
  8. Pengambilalihan tanah ulayat atau adat dalam rangka transmigrasi atau untuk kepentingan pembangunan dan belum seluruhnya dimanfaatkan, dan saat ini diklaim kembali oleh masyarakat di wilayah tersebut.
  9. Kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh instansi kehutanan, tetapi nyatanya sudah bukan hutan yang mengundang masyarakat untuk menggunakan tanah tersebut.
  10. Pemilik asal mengklaim tanahnya yang sudah dialihkan kepada investor karena alasan ganti rugi yang terlalu rendah.
  11. Belum adanya sistem penilaian tanah yang obyektif sebagai dasar besarnya ganti rugi dalam proses pengadaan tanah.
  12. Tukar-menukar tanah bengkok desa/kas desa menjadi aset pemda.
  13. Belum berfungsinya lembaga mediasi seperti lembaga adat atau orang yang berpengaruh dan dihormati dalam penyelesaian sengketa.
  14. Belum adanya mekanisme baku dan kelembagaan penyelesaian konflik pertanahan.
  15. Belum optimalnya upaya untuk menyelesaikan konflik melalui jalur di luar lembaga peradilan (“Alternative Dispute Resolution: ADR”).

Ke delapan, Lemahnya sistem perpajakan tanah dalam mendorong terwujudnya distribusi mendistribusikan aset tanah secara adil. Permasalahan ini disebabkanoleh karena :

  1. Belum diterapkannya prinsip penetapan pajak secara progresif.
  2. Belum akuratnya data tanah berkaitan dengan penetapan Nilai Jual Objek Pajak dan besarnya tarif pajak.

Ke sembilan, Belum memadainya perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah, termasuk hak masyarakat atas tanah ulayat. Permasalahan ini disebabkan oleh karena:

  1. Tidak adanya peraturan perundangan tentang kriteria mengenai eksistensi/ keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek.
  2. Peraturan Daerah tentang pengakuan hak-hak masyarakat atas tanah adat baik secara komunal maupun perorangan belum ada
  3. Permeneg Agraria No. 5 Th 1999 belum dilaksanakan .
  4. Belum dipertimbangkannya aspek anthropologis dan historis dalam mengatur perlindungan hak ulayat.
  5. Masih banyaknya lokasi transmigrasi pada tanah ulayat yang belum dimanfaatkan, kini dituntut untuk dikembalikan kepada masyarakat adat
  6. Masyarakat kecil, termasuk masyarakat adat, kehilangan hak atas tanahnya yang menjadi ruang hidup (lebensraum).
  7. Penguasaan tanah oleh orang asing secara terselubung.
  8. Belum dilaksanakannya perlindungan dan kepastian hukum pola-pola hubungan kelembagaan dalam penguasaan tanah seperti termuat dalam UU misalnya mengenai bagi hasil, sewa dan sejenisnya.

Pada dasarnya kesembilan penyebab tersebut diatas saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya yang pada akhirnya kemudian menimbulkan masalah pertanahan baik berbentuk sengketa tanah, terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan aset tanah, maupun lemahnya jaminan kepastian hukum atas tanah. Oleh karena itu, upaya penanganan masalah tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, tetapi haruslah diletakkan dalam suatu kebijakan dan strategi yang bersifat komprehensif.

Sejak akhir abad 20, tanah merupakan investasi yang sangat menguntungkan karena nilai ekonominya yang tinggi. Selain menjadi sumber asas modal pembangunan, tanah juga merupakan factor pemicu konflik atau sengketa yang sangat rawan serta memiliki potensi pemicu krisis sosial. Guna mencegah hal-hal tersebut diperlukan suatu peraturan yang mampu menjamin hak-hak seseorang atau badan hukum terhadap tanah miliknya.

Untuk terjaminnya hak atas tanah maka oleh MPR dalam Repelita III telah menggariskan suatu program yang harus dilaksanakan dalam pembangunan bidang pertanahan, yaitu : “Agar pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah”. Adapun sarana pokok yang diperlukan untuk menjamin hak atas tanah adalah penataan kembali pemilikan tanah melalui pendaftaran tanah.

Pendaftaran tanah merupakan hal yang penting sebagai bukti hak yang kuat terhadap hak atas tanah untuk membuktikan sebagai pemilik hak atas tanah secara sah. Disamping itu pendaftaran tanah yang ditentukan dalam pasal 19 UU No. 5/1960 (UUPA) merupakan sasaran untuk mengadakan kesederhanaan hukum.

Ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut merupakan ketentuan yang ditujukan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, yang sekaligus juga merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka memperoleh surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sebagaimana dibahasakan dalam pasal 23 ayat (1) UUPA tentang hak milik, setiap peralihan dan hapusnya pembebanan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19,dan Pasal 32 ayat (1) UUPA tentang “Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, bahwa setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal tersebut diatas.

Sebagai implementasi dari pasal 19 UUPA tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yaitu tentang pendaftaran tanah yang kemudian telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. Produk hukum terakhir ini sama sekali tidak merubah prinsip-prinsip dasar yang telah dikembangkan oleh Paal 19 UUPA dan PP 10 Tahun 1961. Dengan adanya PP No. 24 tahun 1997 maka berlakulah suatu pendaftaran tanah yang uniform untuk seluruh wilayah Indonesia, yang mencakup hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum Barat dan hukum Adat semuanya diseragamkan artinya bukti-bukti ex BW (burgerlijk wetboek) harus dikonversikan kepada sistem yang diatur oleh UUPA begitu juga terhadap tanah-tanah adat yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.

Penyelenggaran pendaftaran tanah dalam masyarakat merupakan tugas Negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan status hak atas tanah di Indonesia. Sebagaimana yang terkandung dalam tujuan dari pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dalam Pasal 3 yakni:[4]

  1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
  2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
  3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Dalam kaitan dengan hak atas tanah tersebut, ada permasalahan yang sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat tentang sengketa pertanahan, yaitu sengketa memperebutkan sebidang tanah. Pihak-pihak yang memperebutkan tanah dapat bervariasi macamnya, antara lain:

  1. Seseorang dengan orang lainnya;
  2. Seseorang atau lebih dengan badan hukum perdata dan badan hukum publik;
  3. Badan hukum perdata dengan badan hukum perdata lainnya;
  4. Seseorang atau badan hukum privat dengan badan hukum publik.

Sebagaimana diketahui, bahwa selama ini penyelesaian sengketa pertanahan diajukan melalui Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini disebabkan oleh karena dualisme kedudukan sertifikat hak atas tanah yang bersumber dari dua aspek hukum, yaitu di satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 Angka (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan di sisi lain sebagai Tanda Bukti Hak menurut pasal 31 dan 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Adanya antinomi norma hokum inilah yang selanjutnya telah menimbulkan benturan atau konflik kewenangan/kompetensi mengadili antara Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.

Dengan adanya penyelesaian sengketa tanah yang berakhir dengan pembatalan sertifikat hak atas tanah baik yang diselesaikan melalui Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara diatas pada akhirnya akan menyebabkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan (justiabelen) dalam sengketa pertanahan. Dan oleh karena itu dalam kaitannya dengan makalah ini, penulis mencoba akan menganalisa melalui pendekatan secara normatif yuridis dan sosiologis legal. Pendekatan sosio-legal adalah dengan berusaha mengungkap latar belakang sosio-historis, atau konteks sosiologis dari gagasan yang mendasari Pemerintah merumuskan UUPA, sehingga nantinya akan ditemukan sumber konflik kewenangan/kompetensi kedua badan peradilan tersebut, yaitu tentang titik singgung kewenangan pembatalan pemberian hak atas tanah oleh Peradilan Tata Usaha Negara dan kewenangan pembatalan sertifikat hak atas tanah melalui Peradilan Umum.

B. PERMASALAHAN

Dari uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimanakah Eksistensi Dan Tolok Ukur Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) Pemberian Hak Atas Tanah Dan Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Diterbitkan Oleh Badan Pertanahan Nasional Dalam Kewenangan/Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum?



C. PEMBAHASAN

a) Selayang Pandang Tentang Hak Milik Tanah Di Indonesia

i. Tentang Dualisme Hukum Tanah Di Indonesia

Penjajahan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda selama lebih dari 350 tahun di Indonesia, mengakibatkan penjajahan di segala aspek kehidupan, termaksud terhadap hak-hak atas tanah, dengan menerapkan Hukum Barat atas tanah-tanah hak Barat di Indonesia. Tujuan dari pemberlakuan hak-hak Barat itu semata-mata untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda untuk menguasai tanah-tanah di Indonesia dengan tidak mempedulikan hak-hak atas tanah rakyat dan raja-raja di Indonesia.Hak-hak Barat atas tanah yang diberlakukan di Indonesia ada yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Eigendom, Erfacht, Opstal dan lain-lain, yang di daftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrivingordonnatie atau Ordonansi Balik Nama (S.1834-27), serta yang diatur di luar Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Hak Concessie atau hak sewa dan Hak Agrarisch Eigendom (suatu hak yang mirip Hak Eigendom) yaitu suatu hak ciptaan Belanda yang merupakan Konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hak adat (S. 1873-38).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, sebenarnya merupakan tonggak bagi pendobrakan hukum Kolonial menuju kepada hukum nasional, yang akan mengakhiri berlakunya hukum Barat atas tanah. Bahwa akan tetapi karena belum adanya aturan hukum yang mengatur hak-hak atas tanah sehingga berdasarkan ketentuan Aturan Peralihan UUD 1945, Hak-Hak atas Tanah Barat masih tetap berlaku setelah masa proklamasi kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan terdapat keinginan yang kuat untuk segera mengakhiri berlakunya hukum pertanahan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini dilakukan antara lain dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi, yaitu:

a.Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958[5] yang berlaku mulai pada tanggal 24 Januari 1958, semua tanah-tanah Partikelir yaitu tanah Eigendom yang terdapat hak-hak pertuanan di atasnya dinyatakan hapus dan tanahnya menjadi tanah Negara.

Bahwa selain tanah-tanah partikelir (tanah eigendom yang mempunyai hak pertuanan di atasnya), disamakan juga dengan itu adalah tanah-tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau, yang juga dihapus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 dan tanahnya menjadi Tanah Negara.

Penghapusan tanah-tanah partikelir dimaksud disertai dengan pemberian ganti rugi kepada para bekas pemegang hak.

b. Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda

Bahwa berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958[6], Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah RI dikenakan Nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara RI.

Bahwa dengan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan milik Belanda/ asing maka harta-harta kekayaannya termasuk hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi milik negara, dan hak-hak atas tanah kepunyaan perusahaan yang dinasionalisasi itu menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.

c. Tanah-Tanah Milik Badan Hukum yang ditinggal DireksiBerdasarkan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora RI No. 5/Prk/1965 telah ditegaskan status tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggal direksi/pengurusnya.

Dalam Peraturan tersebut dinyatakan bahwa semua rumah dan tanah bangunan kepunyaan badan-badan hukum yang direksi/pengurusnya sudah meninggalkan Indonesia dan menurut kenyataannya tidak lagi menyelenggarakan ketatalaksanaan dan usahanya, dinyatakan jatuh kepada negara dan dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia.

d. Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perorangan Warga Negara Belanda.

Untuk Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi diatur dengan UU No. 3 Prp 1960. Dalam aturan ini dinyatakan semua benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang tidak terkena oleh UU No. 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah RI sejak mulai berlakunya peraturan ini dikuasai oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Muda Agraria.

Untuk mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda tersebut oleh Menteri Agraria dibentuk panitia yang dikenal dengan Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB).

Barangsiapa yang berkeinginan membeli benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang telah dikuasai oleh pemerintah harus mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria melalui panitia.

Bahwa setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), maka semua hak-hak Barat yang belum dibatalkan sesuai ketentuan sebagaimana tersebut di atas, dan masih berlaku tidak serta merta hapus dan tetap diakui, akan tetapi untuk dapat menjadi hak atas tanah sesuai dengan sistem yang diatur oleh UUPA, harus terlebih dahulu dikonversi menurut dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi dan aturan pelaksanaannya.

Bahwa dalam pelaksana konversi tersebut ada beberapa prinsip yang mendasarinya yaitu:

  1. Prinsip Nasionalitas
    Dalam UUPA pasal 9 secara jelas menyebutkan hanya warga Negara Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Badan-badan hukum Indonesia juga mempunyai hak-hak atas tanah, tetapi untuk mempunyai hak milik hanya badan-badan hukum yang ditunjuk oleh PP. 38 tahun 1968.
  2. Pengakuan Hak-Hak Tanah terdahulu.
    Bahwa ketentuan konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atas masalah hak-hak atas tanah dengan tetap diakuinya hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada Hukum Barat maupun kepada Hukum Adat yang kesemuanya akan masuk melalui Lembaga Konversi ke dalam sistem dari UUPA.
  3. Penyesuaian Kepada Ketentuan Konversi.
    Bahwa sesuai pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan Menteri Agraria maupun dari edaran-edaran yang diterbitkan maka hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hak-hak yang diatur oleh UUPA.
  4. Status Quo Hak-Hak Tanah Terdahulu.
    Bahwa dengan berlakunya UUPA dan PP 10 Tahun 1961 maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas tanah-tanah yang akan tunduk kepada hukum Barat. Bahwa setelah disaring melalui ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dan aturan pelaksanaannya maka terhadap hak-hak atas tanah bekas hak Barat dapat menjadi:
  1. Tanah Negara karena terkena ketentuan azas Nasionalitas atau karena tidak dikonversi menjadi hak menurut Undang-Undang pokok Agraria.
  2. Dikonversi menjadi hak yang diatur menurut Undang-Undang pokok Agraria seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) Diktum Kedua Pasal I, III dan V hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat akan berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980 dan karenanya sejak saat itu menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

Untuk mengatur akibat-akibat hukum dari ketentuan tersebut dan menentukan hubungan hukum serta penggunaan peruntukannya lebih lanjut dari tanah tersebut, telah dikeluarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, dan sebagai tindak lanjut atas Keputusan Presiden tersebut telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979.[7]

Maksud dari kedua peraturan dimaksud kecuali menegaskan status tanah sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara, pada saat berakhirnya hak atas tanah asal konversi hak Barat, juga dimaksudkan untuk mengatur kebijaksanaan menyeluruh dalam rangka penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.

Bahwa yang menjadi pokok kebijaksanaan dalam Keputusan Presiden No. 32/1979 adalah penegasan kembali tentang berakhirnya hak atas tanah asal Konversi Hak-hak Barat (yang dikonversi menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai) pada tanggal 24 September 1980, yang juga merupakan prinsip yang telah digariskan di dalam UUPA, dengan maksud untuk dapat benar-benar mengakhiri berlakunya sisa hak-hak Barat atas tanah di Indonesia dengan segala sifat-sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, oleh karena itu hak atas tanah asal Konversi Hak Barat itu tidak akan diperpanjang lagi.

Bahwa selanjutnya tanah-tanah asal Konversi Hak-hak Barat dimaksud sejak 24 September 1980 statusnya menjadi tanah yang dikuasai negara, dan selanjutnya oleh negara akan diatur kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah melalui pemberian hak baru.

ii. Tentang Konversi

Beberapa ahli hukum memberikan pengertian konversi yaitu:

A.P. Parlindungan menyatakan : “Konversi itu sendiri adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem dari UUPA”.[8]

Boedi Harsono menyatakan : “Konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA”. [9]

Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah adalah penggantian/perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama yaitu sebelum berlakunya UUPA menjadi status yang baru, sebagaimana diatur menurut UUPA itu sendiri, adapun yang dimaksud dengan hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA adalah hak-hak atas tanah yang diatur dan tunduk pada hukum adat dan hukum Barat (BW).

Landasan Hukum Konversi

Adapun yang menjadi landasan hukum konversi terhadap hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 adalah bagian kedua dari UUPA “tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri IX pasal yaitu dari pasal I sampai dengan pasal IX”, khususnya untuk konversi tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat dan sejenisnya diatur dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi, di samping itu untuk pelaksanaan konversi yang dimaksud oleh UUPA dipertegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 tahun 1962 dan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 26/DDA/1970 yaitu “tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah”.

Beberapa ketentuan-ketentuan konversi hak atas tanah adat :

Pasal II Ketentuan konversi, berbunyi :

ayat 1 : Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yayasan, andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landirijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikilir dan hak-hak lain dengan nama apapun, juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.

ayat 2 : Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.


Terhadap Pasal II ketentuan konversi ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 dan Pasal 22 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1980 dan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1962, sehubungan dengan hal tersebut maka jelaslah bahwa untuk pengkonversian dari hak-hak yang disebut dalam Pasal II ketentuan konversi diperlukan tindakan penegasan :

  1. Mengenai yang mempunyainya, untuk memperoleh kepastian apakah akan dikonversi menjadi hak milik atau tidak.
  2. Mengenai peruntukan tanahnya, jika ternyata konversinya tidak bisa menjadi hak milik.

Penegasan tersebut diperlukan karena konversi dari pada hak tersebut di atas disertai syarat-syarat yang bersangkutan dengan status yang empunya dan sifat penggunaan tanah pada tanggal 24 September 1960.

Pasal VI ketentuan konversi , berbunyi :

“Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant countroleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 yat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini”.

Dari bunyi Pasal VI ketentuan konversi tersebut maka hak-hak atas tanah seperti ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas yang berasal dari hukum adat dikonversikan menjadi hak pakai.

Pasal VI ketentuan konversi berbunyi :

Ayat 1 : Hak gogolan, pukulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 Ayat (1).

Ayat 2 : Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai terebut pada Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya undang-undang ini”.

Ayat 3 : Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka menteri agrarialah yang memutuskan.

Lebih lanjut tentang hak gogolan, pekulen atau sanggan diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 yang berbunyi :

  1. Konversi hak-hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap menjadi hak milik sebagai yang dimaksud dalam Pasal VII ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dilaksanakan dengan surat keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
  2. Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan jika meninggal dunia gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu.
  3. Kepala Infeksi Agraria menetapkan surat keputusan tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan sifat tetap atau tidak tetap dari hak gogolan itu menurut kenyataannya.
  4. Jika ada perbedaan pendapat antara Kepala Inspeksi Agraria dan Bupati/Kepala Daerah tentang soal apakah sesuatu hak gogolan bersifat tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang berangkutan berlainan pendapat dengan kedua penjabat tersebut, maka soalnya dikemukakan lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat keputusan.

Dalam keputusan bersama Menteri Pertanian dan Agraria serta Menteri Dalam Negeri No. SK 40/Ka/1964/DD/18/18/1/32 “tentang penegasan konversi hak gogolan tetap”, tertanggal 14 April 1964 yang menyatakan bahwa hak gogolan tetap (sanggan/pekulen) dikonversikan menjadi hak milik karena hukum sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu hak tersebut tidak lagi tunduk kepada ketentuan-ketentuan peraturan gogolan, melainkan kepada peraturan agraria.

Lebih lanjut ketentuan-ketentuan tentang konversi dalam UUPA ditegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dan SK. Menteri Dalam Negeri No. 26/DDA/1970.

Permohonan konversi dari tanah-tanah yang pernah tunduk kepada :

  1. Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1958.
  2. Hak atas tanah yang didaftar menurut Stb. 1873 No. 38, yaitu tentang agrarisch eigendom.
  3. Peraturan-peraturan yang khusus di daerah Jogyakarta, Surakarta, Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat.

Dalam pelaksanaan konversinya diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan dengan disertai tanda bukti haknya (kalau ada disertakan pula surat ukurnya), tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak yang menyatakan kewarganegaraannya pada tanggal 24 September 1960 dan keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.

Pasal 3 PMPA No. 2 tahun 1962 :

Pasal ini mengatur tentang hak-hak yang tidak diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah, maka oleh yang bersangkutan dijaukan :

  1. Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi/verponding Indonesia atau bukti surat pemberian hak oleh Instansi yang berwenang (kalau ada disertakan pula surat ukurnya).
  2. Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh asisten Wedana (Camat) yang :
    1.Membenarkan surat atau surat bukti hak itu.
    2.Menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.
    3.Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan surat-surat jual beli tanahnya.
  3. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.

Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat, maka ditempuhlah dengan upaya “Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah setempat dikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual-beli yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau untuk pertanian dan keterangan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.

Pasal 7 PMPA No. 2 tahun 1962 : Dalam pasal ini diatur lembaga konversi lain yang dinamakan “Pengakuan Hak”, yang perlakuan atas tanah-tanah yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda bukti haknya, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan setempat, permohonan tersebut diumumkan 2 bulan berturut-turut di kantor pendaftaran tanah dan kantor Kecamatan, jika tidak diterima keberatan mereka membuat pernyataan tersebut kepada kantor BPN dan kemudian mengirimkannya kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanian setempat, penerbitan pengakuan hak diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN, dari SK pengakuan hak tersebut sekaligus mempertegaskan hak apa yang diberikan/padanan pada permohonan tersebut, bisa saja hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan atau hak pakai.[10]

Sedangkan pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Sk 26/DDA. 1970 sebagai penjelasan dari peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dalam diktum pertamanya : menegaskan bahwa yang dianggap sebagai “tanda bukti hak” dalam Pasal 3 huruf a PMPA No. 2 tahun 1962 adalah:


a. Didaerah-daerah dimana sebelum tanggal 24 September 1960 sudah dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.

  1. Surat pajak (hasil) bumi atau verponding Indonesia yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960, jika antara tanggal 24 September 1960 dan saat mulai diselenggarakan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 terjadi pemindahan hak (jual-beli, hibah atau tukar-menukar) maka selain surat pajak yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960 tersebut di atas wajib disertakan juga surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukarnya yang sah (dibuat di hadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/adat yang bersangkutan).
  2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak.

b. Di daerah-daerah dimana sampai tanggal 24 September 1960 belum dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.

  1. Surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukar yang dibuat dihadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/Adat yang bersangkutan sebelum diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961 di daerah tersebut.
  2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak. Dengan demikian dapat disimpulan bahwa seluruh hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA melalui lembaga konversi masuk kedalam sistem UUPA melalui padanannya dan setelah itu diperlakukan seluruh ketentuan-ketentuan UUPA dengan tidak perlu lagi menyebut bahwa tanah itu bekas sesuatu hak yang ada sebelum UUPA.

b) Tentang Pendaftaran Tanah

i. Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah.

Dalam Pasal 1 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.


ii. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah

Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :

  1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
    a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
    b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
    c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
  3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
  4. Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :

Pasal 23 UUPA :

Ayat 1 : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.

Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 32 UUPA :

Ayat 1 : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.

Ayat 2 : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 38 UUPA :

Ayat 1 : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.

Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.

Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.

c) Tentang Sertifikat

Sertifikat Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau juga disebut Sertifikat Hak terdiri dari salinan Buku Tanah atau Surat Ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul. Sertifikat Tanah memuat:

  1. Data Fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik Tanah dan beban yang ada di atas Tanah;
  2. Data Yuridis: Jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak.

i. Dualisme Kedudukan Sertifikat

a. Sertifikat Tanah Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara

Dikaji dari elemen-elemen Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dari segi muatan (isi), pejabat yang mengeluarkan, maksud dan kepada siapa ditujukan serta apa yang ditetapkan di dalamnya, maka Sertifikat Tanah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

b. Sertifikat Tanah Sebagai Tanda Bukti Hak (Aspek Perdata Dalam Gugatan Tata Usaha Negara Pembatalan Sertifikat Tanah)

Berdasarkan ketentuan pasal 31 dan 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 serta Penjelasan pasal-pasal tersebut, Sertifikat Tanah diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak dengan mudah membuktikan haknya. Sertifikat Tanah merupakan tanda bukti Hak dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Beranjak dari kajian 2 (dua) sisi tersebut, jelas bahwa Sertifikat Tanah memiliki sisi ganda: sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan sekaligus sebagai Tanda Bukti Hak Kepemilikian Atas Tanah. Pada 1 (satu) sisi terdapat aspek Tata Usaha Negara, sedangkan pada sisi yang lain ada aspek keperdataan. Dengan sisi ganda tersebut, sengketa Tata Usaha Negara dengan Sertifikat Tanah sebagai objek sengketa terdapat titik singgung kewenangan yang bersumber dari 2 (dua) aspek hukum tersebut.

ii. Sertifikat Ganda Atas Tanah

Sertifikat ganda atas tanah adalah sertifikat yang diterbitkan oleh BPN yang akibat adanya kesalahan pendataan pada saat melakukan pengukuran dan pemetaan pada tanah, sehingga terbitlah sertifikat ganda yang berdampak pada pendudukan tanah secara keseluruhan ataupun sebagaian tanah milik orang lain.

Apabila ditinjau dari pengertian sertifikat itu sendiri maka sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan. Sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa seseorang atau suatu badan hukum, mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu.Pada kenyataannya bahwa seseorang atau suatu badan hukum menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang bersangkutan tidak serta merta langsung membuktikan bahwa ia mempunyai hak atas tanah yang dimaksud. Adanya surat-surat jual beli, belum tentu membuktikan bahwa yang membeli benar-benar mempunyai hak atas tanah yang di belinya. Apalagi tidak ada bukti otentik bahwa yang menjual memang berhak atas tanah yang dijualnya. Dalam konteks inilah terjadi pendudukan tanah secara tidak sah melalui alat bukti berupa dokumen (sertifikat) yang belum dapat dijamin kepastian hukumnya.Maksud gambaran diatas adalah suatu peristiwa penerbitan sertifikat ganda atas tanah, yang mengakibatkan adanya pemilikan bidang tanah atau pendudukan hak yang saling bertindihan satu dengan yang lain. Sejalan dengan itu Parlindungan menyatakan : Yang dimaksud dengan sertifikat ganda adalah surat keterangan kepemilikan (dokumen) dobel yang diterbitkan oleh badan hukum yang mengakibatkan adanya pendudukan hak yang saling bertindihan antara satu bagian atas sebagian yang lain.[11]

Dari pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sertifikat ganda adalah surat keterangan kepemilikan yang diperoleh baik secara sah ataupun tidak sah yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan suatu akibat hukum (sengketa) bagi subjek hak maupun objek hak. Hal ini senada dengan Kartasaputra. bahwa :Sertifikat dobel/ganda adalah surat tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang diterbitkan oleh lembaga hukum (BPN) yang terbit diatas satu objek hak yang bertindih antara satu objek tanah sebagian atau keseluruhan, yang dapat terjadi suatu akibat hukum.[12]

Dalam pembahasan devenisi mengenai Sertifikat ganda sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa yang mendasari sehingga terjadinya sertifikat ganda adalah akibat dari kesalahan pencatatan pada saat petugas melakukan pengukuran dan perpetaan, adapun hal serupa sebagaimana disebutkan Sugiarto mengatakan bahwa : Sertifikat dobel/ganda adalah sertifikat yang diterbitkan lebih dari satu pada satu bidang tanah oleh Kantor Pertanahan, sehingga mengakibatkan ada kepemilikan bidang tanah hak yang saling bertindih, seluruhnya atau sebagian.[13]

Sebagaimana pengertian yang terkandung dalam sertifikat ganda Sebagimana yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional akibat dari kesalahan administrasi maka hal serupa disampikan oleh Edi Pranjoto yang menyatakan bahwa ” Kantor pertanahan menerbitkan dua sertifikat untuk satu objek tanah yang diberikan kepada dua subjek hukum yang sama-sama mengakui sebagai pemiliknya.”[14]

d) Menggagas Eksistensi Dan Tolok Ukur Pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) Yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Dalam Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dan Peradilan Umum

i. Sertifikat Hak Atas Tanah Yang Berasal Dari Adanya Penetapan yaitu Pemberian Hak Atas Tanah Yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Yang Berasal Dari Tanah Negara Menjadi Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

1. Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara

i. Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara.

Pasal 22 ayat (2) UUPA mengatur bahwa hak milik terjadi karena ketentuan undang-undang dan penetapan pemerintah. Penetapan itu dalam pelaksanaannya meliputi tanah Negara yang belum pernah dilekati sesuatu hak dan tanah yang telah berakhir haknya.

Pemberian hak atas tanah semula diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1959; tentang Pemberian dan Pembaharuan Beberapa Hak Atas Tanah serta Pedoman Mengenai Tata Cara Kerja bagi Pejabat-Pejabat yang Bersangkutan, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973; tentang Ketentuan-Ketentuan Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999; tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Tanah Negara yang belum pernah dilekati sesuatu hak dapat berupa tanah yang telah dikuasai dan digunakan maupun tanah Negara bebas yang belum dibuka atau belum digunakan. Mengenai Tanah Negara bekas hak dapat berupa tanah bekas hak barat maupun bekas hak menurut UUPA,baik karena berakhir maupun karena haknya hapus.

Pasal 27, pasal 34, pasal 40 UUPA menetapkan hapusnya sesuatu hak antara lain karena : ditelantarkan , penyerahan dengan sukarela , jangka waktu berakhir , diberhentikan sebelum jangka waktu berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, atau subyek hak tidak lagi memenuhi syarat.

Tata cara Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara dapat dikelompokkan sebagai berikut :[15]

a. Pemberian Hak milik secara Individual atau Kolektif.

Pemberian hak secara individual merupakan pemberian hak atas sebidang tanah kepada seorang atau badan hukum atau kepada beberapa orang atau badan hukum secara bersama sebagai penerima hak yang dilakukan dengan suatu penetapan pemberian hak.
Perlu dipahami bahwa untuk memperoleh hak atas sebidang tanah, beberapa aspek yang menentukan yakni :

  1. Aspek tehnis/ fisik tanah yang meliputi letak, luas, batas-batas dan penggunaan. Aspek ini menekankan pada segi-segi tehnis operasional. Untuk mendapatkan data dilaksanakan kegiatan lapangan yang meliputi : penetapan batas, pengukuran/ perhitungan luas dan pemetaan. Penetapan batas tanah dilaksanakan dengan persetujuan pemilik tanah berbatasan yang dituangkan dalam suatu berita acara dan ditandatangani bersama ( contradictoire delimitatie ). Dalam kaitan dengan ini banyak timbul kesulitan untuk menghadirkan pemilik tanah berbatasan, terutama diperkotaan.
  2. Aspek Yuridis, meliputi status pemilikan, subyek hak dan kepentingan pihak ketiga. Aspek Yiridis terletak pada segi-segi yang bersifat legalitas tanah. Untuk mendukung kebenaran data pemilikan, dilakukan penelitian lapangan oleh suatu panitia pemeriksa tanah A yang terdiri dari aparat pertanahan dengan Lurah / Kepala Desa letak tanah.
    Berkaitan dengan aspek tehnis yuridis, pemberian hak milik atas tanah bekas hak kepada pemohon harus bebas dari hak-hak keperdataan pihak lain terutama bekas pemegang hak terdahulu ( antara lain hak prioritas dan hak atas tanah bangunan/ tegakan di atas bidang tanah yang bersangkutan). Ketentuan tersebut diatur antara lain dalam PP No.40 Tahun 1996 dan KEPRES No.32 Tahun 1979 serta PERMENDAGRI No.3 Tahun 1979.
  3. Aspek Administrasi, meliputi permohonan hak dan data pendukung seperti bukti pemilikan / penguasaan, riwayat penguasaan, proses penerbitan surat keputusan hak sampai dengan penerbitan sertipikat.

Terpenuhinya ketiga aspek tersebut diatas baik secara formil maupun secara materiil sangat menentukan kepastian hukum atas sertipikat hak tanah yang diterbitkan.

Pemberian hak milik secara kolektif merupakan pemberian atas beberapa bidang tanah masing-masing kepada penerima hak yang dilakukan dalam satu penetapan pemberian hak.

b. Pemberian Hak Milik Melalui Redistribusi Tanah.

Sistem ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan landreform yaitu pembagian kembali tanah obyek landreform kepada para petani yang memenuhi syarat. Penetapan luas tanah dan penerima redistribusi dilakukan dengan memperhatikan pertimbanagn Panitia Pertimbangan Landreform Kabupaten / Kota.

Berdasarkan PP 224 Tahun 1961, tanah obyek Landreform terdiri dari :

  1. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum;
  2. Tanah-tanah absentee/guntai;
  3. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada Negara;
  4. Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh Negara dan ditegaskan sebagai tanah obyek landreform.

    Redistribusi tanah kepada petani dengan maksud agar mereka memiliki tanah pertanian dengan maksud agar mereka memiliki tanah pertanian sebagai modal untuk meningkatakan taraf hidupnya. Kegiatan redistribusi tanah juga merupakan salah satu sarana untuk memeratakan pemilikan tanah terutama kepada petani penggarap dan petani kecil yang selama ini tidak memiliki akses untuk memperoleh tanah sebagai sumber penghidupannya.

c. Pemberian Hak Milik secara Umum.

Pemberian hak milik secara umum dilakukan atas bidang tanah tertentu kepada penerima hak yang memenuhi kriteria tertentu, berdasarkanpenetapan melalui peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Kep.MNA/KaBPN Nomor 9/1997, tentang Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana dan Rumah Sederhana, dan Keputusan MNA/KaBPN No.2/1998, tentang pemberian hak milik atas tanah untuk rumah tinggal yang telah dibeli oleh Pegawai Negeri dari Pemerintah. Sistem pemberian hak ini dilakukan dengan maksud menyederhanakan peraturan dengan sasaran tertentu dan obyek tanah perumahan yang berkepastian hak.

Terhadap tanah-tanah dimaksud,pemberian hak milik dilakukan dengan langsung meningkatkan hak yang ada ( hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan) dan bagi tanah yang belum ada hak, dilakukan melalui konfirmasi pemberian hak milik.

ii. Permohonan hak atas tanah dilakukan terhadap:

  • Tanah Negara bebas: belum pernah melekat sesuatu hak
  • Tanah Negara asalnya masih melekat sesuatu hak dan jangka waktunya belum berakhir, tetapi dimintakan perpanjangannya
  • Tanah Negara asalnya pernah melekat sesuatu hak dan jangka waktunya telah berakhir untuk dimintakan pembaharuannya, di sini termasuk tanah-tanah bekas hak Barat maupun tanah-tanah yang telah terdaftar menurut UUPA.

Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik yang dimiliki. Data yuridis adalah bukti-bukti atau dokumen penguasaan tanah, sedangkan data teknis adalah Surat Ukur dan SKPT atas tanah dimaksud; Permohonan hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan diproses antara lain dengan penelitian ke lapangan oleh Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia A atau B), kemudian apabila telah memenuhi syarat maka sesuai kewenangannya dan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah.

Pemohon mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertipikat hak atas tanah setelah membayar uang pemasukan ke Kas Negara dan atau BPHTB jika dinyatakan dalam surat keputusan tersebut. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran SK pemberian hak untuk memperoleh sertipikat tanda bukti hak adalah:

  • surat permohonan pendaftaran
  • surat pengantar SK Pemberian Hak
  • SK Pemberian Hak untuk keperluan pendaftaran
  • bukti pelunasan uang pemasukan atau BPHTB apabila dipersyaratkan
  • identitas pemohon

Hak Milik

Hak Milik dapat diberikan kepada:

  • Warga Negara Indonesia,
  • Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah, misalnya: Bank Pemerintah, Badan keagamaan dan badan sosial yang ditunjuk Pemerintah,

    Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial atas tanah. Jangka waktu berlakunya Hak Milik: untuk waktu yang tidak ditentukan. Namun demikian, Hak Milik hapus apabila:
    a. karena pencabutan hak
    b. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
    c. karena diterlantarkan
    d. beralih kepada orang asing
    e. tanahnya musnah ü karena diterlantarkan
    f. beralih kepada orang asing
    g. tanahnya musnah

Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha dapat diberikan kepada:

  • Warga Negara Indonesia,
  • Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

    HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Jangka waktu berlakunya HGU 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, dan apabila waktu tersebut telah berakhir maka HGU dapat diperbaharui;

Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada:

  • Warga negara Indonesia,
  • Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

    HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Jangka waktu berlakunya HGB: 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, setelah waktu tersebut berakhir maka HGB tersebut dapat diperbaharui;

Hak Pakai

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan. Jangka waktu berlakunya Hak Pakai: 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, atau untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

Hak Pakai dapat diberikan kepada:

  • Warga Negara Indonesia,
  • Orang asing yang berkedudukan di Indonesia,
  • Instansi Pemerintah,
  • Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia,
  • Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada:

  • Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah,
  • Badan usaha milik Negara, Badan usaha milik Daerah, PT Persero, Badan otorita, Badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah,

    Jangka waktu berlakunya Hak Pengelolaan: tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

Hak Milik atas Satuan Rumah Susun:

Hak milik atas satuan rusun diberikan atas pemilikan rusun. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian atau bukan hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama dan tanah bersama.

2. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi:
"Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara"

Kemudian Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan:
"Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara".

Berdasarkan rumusan Pasal 47 di atas, timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara.

Di dalam Pasal 1 Angka (4) UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan pengertian sengketa TUN, yang selengkapnya berbunyi:
"Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Mengenai kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:
"Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat Konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata".

Dari definisi di atas, KTUN mengandung beberapa unsur. Berikut beberapa pendapat pakar mengenai unsur-unsur KTUN tersebut:

  1. Menurut Indroharto, unsur KTUN ada 6 (enam), yaitu:[16]
    a. Bentuk penetapan itu harus tertulis;
    b. Ia dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
    c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara;
    d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    e. Bersifat Konkret, Individual dan final;
    f. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
  2. Menurut Paulus E. Lotulung, unsur KTUN ada 7 (tujuh), yaitu:[17]
    a.Penetapan tertulis;
    b.Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
    c.Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    d. Bersifat Konkret;
    e. Individual;
    f. final;
    g. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Berkaitan dengan unsur-unsur yang terdapat Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, yang menjadi persoalan adalah apakah Sertifikat Hak Atas Tanah termasuk Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam pasal 1 Angka (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 sehingga dapat dijadikan objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara?

Menurut Pasal 13 Ayat (3) PP 10 Tahun 1961 disebutkan bahwa salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertifikat dan diberikan kepada yang berhak. Selanjutnya pada Ayat (4) disebutkan bahwa sertifikat tersebut adalah surat tanda bukti hak yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. Berdasarkan Pasal 13 Ayat (3) dan (4) tersebut maka Sertifikat Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau juga disebut Sertifikat Hak terdiri dari salinan Buku Tanah atau Surat Ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul yang memuat:

  • Data Fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik Tanah dan beban yang ada di atas Tanah;
  • Data Yuridis: Jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak.

Berdasarkan analisa diatas, maka untuk menilai apakah sertifikat tanah dapat dikelompokkan ke dalam Keputusan Tata Usaha Negara atau tidak, dapat dilihat unsure-unsur yang terdapat dalam sertifikat, yakni:

  1. Sertifikat tanah dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
  2. Sertifikat merupakan suatu penetapan dan bersifat tertulis sebagaimana tertuang dalam salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid menjadi satu, dan bukan lisan.
  3. Sertifikan diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata atau instansi pemerintah yang secara jelas namanya tercantum pada sertifikat dan bersifat konkret atau tidak abstrak, dengan demikian memenuhi adanya unsure individual (bukan secara umum).
  4. Sertifikat tanah yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata tersebut tidak bersifat sementara tetapi sudah final, dimana nama yang tercantum dalam sertifikat tersebut merupakan pemegang hak atas tanah dimaksud.
  5. Penerbitan sertifikat tersebut telah menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan akibat pemilikan atas bidang tanah.

Dari kriteria diatas dapat dipahami bahwa kriteria unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 telah terpenuhi dalam sertifikat yang merupakan objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

Penyelesaian sengketa pertanahan di Peradilan Tata Usaha Negara pada umumnya terjadi karena adanya gugatan oleh penggugat (seseorang/badan hukum perdata) yang mendalilkan menguasai dan memiliki tanah dengan alat bukti selain sertifikat. Pihak penggugat mendalilkan bahwa yang menjadi objek sengketa adalah bukan tanahnya, melainkan bukti kepemilikan tanah pihak lain yang memiliki tanah (yang disengketakan) tersebut yaitu berupa sertifikat. Pihak yang digugat oleh penggugat bukan pihak pemilik tanah yang bersertifikat, melainkan Pejabat Tata Usaha Negara yang telah mengeluarkan sertifikat tersebut, yaitu Badan Pertanahan Nasional. Tujuan gugatan adalah Badan Pertanahan Nasional membatalkan sertifikat yang telah diterbitkan.

Selanjutnya, Sertifikat Hak atas tanah yang berasal dari adanya penetapan, yaitu Pemberian hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara berupa Hak milik (SHM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan Hak Pengelolaan tersebut diatas, termasuk tanah Negara yang menjadi objek landreform dan hak-hak yang diberikan menurut Pasal 66 Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional, apabila menimbulkan sengketa maka yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya adalah Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini didasarkan pada argumentasi hukum:

  1. Sertifikat hak atas tanah tersebut berasal dari adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konstitutif dari Badan Pertanahan Nasional, yang telah melahirkan hubungan hukum.[18]

    Ktriteria pertama ini sejalan dengan pendapat E.Utrecht yang menyatakan bahwa Keputusan konstitutif adalah membuat hukum (rechtscheppend)
    [19]
  2. Pokok Sengketa (objectum litis) berupa penetapan yaitu Pemberian hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional terletak di lapangan hukum publik.

    Kriteria kedua ini sejalan dengan pendapat Thorbecke yang mengatakan, bahwa bilamana pokok sengketa terletak dalam hukum publik sudah tentulah hakim administrasi yang berwenang memutuskannya.
    [20]

b. Sertifikat Hak Atas Tanah Yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Yang Berasal Dari Konversi Bekas Hak Lama dan Hak Milik Adat Menjadi Kewenangan Peradilan Umum

1. Konversi Bekas Hak Lama dan Hak Milik Adat

PP No. 24 Tahun 1997 mengakui dengan jelas kedudukan hak milik adat baik bersifat perorangan atau kelompok. Untuk membuktikan hak milik adat masih diakui, pada waktu pendaftaran hak atas tanah secara sistematis sebagai bukti hak atas tanah adat, yaitu :

  • Surat tanda bukti hak milik dan Grant Sultan yang dikeluarkan berdasarkan peraturan Swapraja dan hak atas tanah yang lainnya yang diakui selama tidak bertentangan dengan UUPA.
  • Akta pemindahan hak dibuat berdasarkan hukum adat yang dibubuhi kesaksian oleh kepala desa.

Pasal 24 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang tata cara pembuktian hak-hak lama untuk keperluan pendaftaran yang berasal dari konversi dengan :

  • bukti-bukti tertulis
  • keterangan saksi dan/atas pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi, bagi pendaftaran secara sporadik cukup untuk mendaftarkan hak.

Pada ayat (2) dikatakan, apabila pembuktian di atas tidak ada lagi, maka pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih berturut-turut oleh pemohon pendaftaran tanah dengan syarat :

  • Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
  • Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain.

Sehubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat tanah oleh Pemerintah, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1975 (PMDN No. 16/1975), tentang kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat dalam pengukuran desa demi desa menuju desa lengkap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997. Pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertahanan Nasional No. 3 Tahun 1995 yaitu untuk melaksanakan pendaftaran secara sistematis baik tanah yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat.

Pasal 16 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1995 mengatur tentang pendaftaran tanah baik yang memiliki bukti hak atas tanah secara tertulis maupun bukti tidak tertulis yaitu penguasaan fisik atas sebidang tanah. Adapun bukti tertulis tersebut yang berlaku terhadap tanah adat, adalah ;
1. Keterangan hak milik adat dikeluarkan Daerah Swapraja
2. Grant Sultan
3. Akta pemindahan hak berdasarkan hukum adat
4. Girik.

Untuk melakukan pendaftaran tanah secara sistematik terhadap hak atas tanah yang tunduk kepada Hukum Adat dengan bukti hak atas tanah tersebut di atas, hal ini tidak terlepas dengan konversi terhadap hak atas tanah. Adapun hak yang dikonversi berlaku terhadap hukum adat dalam pendaftaran tanah, yaitu :
1. Hak milik adat
2. Grant Sultan
3. Grant lama
4. Girik
5. Hak Agrarisch eigendom
6. Hak Druwe dan Pesini
7. Hak Usaha Gogolan
8. Hak gogolan tak tetap, Pekulen dan Grant C dan D
9. Tanah Bengkok

Untuk konversi dan pendaftaran hak atas tanah yaitu Hak milik adat, Grant Sultan, Grant lama, Girik, Hak Agrarisch Eigendom, Hak Druwe, Hak Pesini dan Hak Usaha Gogolan dikonversikan menjadi hak milik atas tanah sebagaimana menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Sedangkan hak gogolan tak tetap, hak pekulen dan Grant C dan D dikonversikan menjadi hak pakai privat dan untuk tanah bengkok akan dikonversi menjadi hak pakai khusus.

Pelaksanaan pendaftaran tanah baik dilakukan tersendiri (permohonan individu) maupun dilakukan secara sistematis (massal) terhadap hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat yang memiliki bukti baik tertulis maupun tidak tertulis, sebelum didaftarkan harus dikonversi. Pelaksanaan konversi hak atas tanah dilakukan oleh Panitia Pendaftaran ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan untuk tanah yang tidak mempunyai bukti tertulis dalam pendaftaran tanah secara sistematis dilakukan dengan proses pengakuan baik.

Pelaksanaan konversi dan pengakuan hak terhadap hak atas tanah adat oleh Pemerintah dibentuk format yang baku oleh Badan Pertanahan Nasional. Untuk pendaftaran tanah secara sistemtis ini harus berlaku di daerah yang sudah dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, untuk desa yang belum dilaksanakan suatu pengukuran desa demi desa, maka pelaksanaan pendaftaran hak-hak atas tanah yang bersangkutan.

Untuk desa lengkap yang berkepentingan mengajukan permohonan pendaftaran hak-hak atas tanah (hak milik adat) harus melampirkan tanda bukti hak dan surat keterangan hak yang diperlukan untuk pendaftaran.

Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik berlalu untuk tanah yang sudah bersertifikat atau memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah tersifat sementara maupun yang belum memiliki bukti terhadap hak atas tanah.

Pendaftaran sistematis bertujuan untuk memudahkan bagi pemegang hak atas tanah untuk melakukan pendaftaran hak.

Dengan berlakunya PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah ini diharapkan permasalahan tentang informasi mengenai pertanahan ini dapat dihindarkan kekurangan atau tidak adanya jelasnya status kepemilikan (hak-hak atas tanah) yang ada, agar turwujud tujuan dari undang-undang Pokok Agraria yaitu kepastian hukum hak atas tanah dan terwujudnya unifikasi hukum pertanahan di Indonesia.

2. Kompetensi Peradilan Umum

Sebelum UU Nomor 5 Tahun 1986 dinyatakan berlaku, gugatan pembatalan sertifikat Tanah diajukan melalui pengadilan perdata dalam lingkungan Peradilan Umum. Menurut sudikno, kekuasaan pengadilan dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, hutang piutang atau hak-hak keperdataan lainnya.[21]

Gugatan melalui peradilan umum ini dapat dilihat pada Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 421 K/Sip/1969 tertanggal 29 Oktober 1969 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan: "bahwa sebelum ada undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan-gugatan terhadap pemerintah Indonesia”. Dan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 634 K/Sip/1973 tertanggal 19 November 1969 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan: bahwa karena peradilan administrasi belum terbentuk, pengadilan umum berwenang untuk memeriksa perkara perbuatan melawan hukum dari pemerintah. [22]

Batasan mengenai perkara perdata yang diformulasikan sebagai kewenangan hakim atau pengadilan perdata tersebut bersumber pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Rechterlijk Organisatie (RO). Batasan tersebut terbatas pada sengketa atau perselisihan perdata (contentius). Padahal, ruang lingkup perkara perdata bukan hanya soal sengketa atau perselisihan melainkan juga perkara-perkara non-sengketa (voluntair). Misalnya perkara permohonan ahli waris, pengangkatan anak, akta kelahiran terlambat, perwalian dan lain-lain. Dalam praktek, 2 (dua) jenis perkara tersebut lazim disebut perkara perdata gugatan dan perkara perdata permohonan.[23]

Dalam gugatan sengketa tanah di Peradilan Umum selain menggugat masalah kepemilikan tanah, para pihak yang bersengketa yang dalam hal ini penggugat biasanya menjadikan sertifikat tanah sebagai objek sengketa, baik dengan sasaran pembatalan atau pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dalam Pasal 1 Angka 20 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA, untuk hak atas Tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Sertifikat berfungsi sebagai tanda bukti hak dan sebagai alat bukti. Dalam fungsinya sebagai tanda bukti hak, sertifikat tanah memuat data fisik dan data yuridis. Data fisik dari sertifikat tanah dapat berupa letak tanah, luas tanah, batas-batas yang bersebelahan, keterangan fisik tentang tanah atau keadaan tanah dan beban yang ada diatasnya termasuk bangunan atau tanaman. Sedangkan data yuridis menyangkut jenis hak hak yang ada (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan lain-lain), memuat siapa pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (perorangan, badan hukum). Data fisik dan data yuridis dalam buku tanah tersebut dituangan dalam bentuk daftar.

Pihak-pihak yang menyelesaikan perkara pertanahan melalui gugatan di Peradilan Umum terkadang tidak memiliki bukti hak sertifikat sebagai yang terkandung dalam ketentuan Pasal 16 UUPA. Alat bukti sebagai kepemilikan tanah yang mereka gunakan dapat berupa alat bukti peralihan/pemindahan (surat/akta waris, surat/akta hibah, surat/akta perjanjian jual beli, dan lain-lain) atau alat bukti penguasaan/kepemilikan atas tanah (Surat Keterangan Tanah, Surat Keterangan Keadaan Tanah, Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah, dan lain-lain).

Selain hal tersebut diatas, dalam gugatan perkara tanah di Peradilan Umum selain menggugat masalah kepemilikan tanah, pihak yang berpekara (penggugat) biasanya juga menjadikan sertifikat tanah sebagai objek sengketa, baik dengan sasaran pembatalan atau pernyataan tidak mempunyai kekuatan berlaku. Pihak-pihak yang berpekara biasanya terdiri dari penggugat dan tergugat I, II dan seterusnya atau turut tergugat. Sedangkan kedudukan Badan Pertanahan Nasional biasanya sebagai pihak Tergugat II dan seterusnya atau sebagai Turut Tergugat.

Berdasarkan analisa yuridis diatas, maka penerbitan sertifikat hak atas tanah yang berasal dari Konversi Bekas Hak Lama dan Hak Milik Adat oleh Badan Pertanahan Nasional, apabila menimbulkan sengketa maka yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya adalah Peradilan Umum. Hal ini didasarkan pada argumentasi hukum:

  1. Sertifikat hak atas tanah tersebut berasal dari adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat deklaratif dari Badan Pertanahan Nasional, yang telah menetapkan mengikatnya suatu hubungan hukum.[24]

    Kriteria pertama ini sejalan dengan pendapat E.Utrecht yang menyatakan bahwa Keputusan deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian (rechtsvastellende beschikking).
    [25]
  2. Pokok Sengketa (objectum litis) berupa suatu hak privat, yaitu pihak yang bersangkutan merasa dirugikan hak privatnya atas dikeluarkannya Sertifikat hak atas tanah yang berasal dari tanah Adat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional terletak di lapangan hukum privat.

    Kriteria kedua ini sejalan dengan pendapat Buys yang mengatakan, bahwa walaupun pokok perselisihannnya (Objectum litis) terletak dalam hukum publik, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu minta ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum.
    [26]

D. PENUTUP

Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi. Konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk sistem dalam dari UUPA.

Agar pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas tanah”. Adapun sarana pokok yang diperlukan untuk menjamin hak atas tanah adalah penataan kembali pemilikan tanah melalui pendaftaran tanah.

Dalam kaitan dengan hak atas tanah tersebut, ada permasalahan yang sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat tentang sengketa pertanahan, yaitu sengketa memperebutkan sebidang tanah.

Dualisme kedudukan sertifikat hak atas tanah yang bersumber dari dua aspek hukum, yaitu di satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 Angka (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan di sisi lain sebagai Tanda Bukti Hak menurut pasal 31 dan 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah menimbulkan konflik kewenangan/kompetensi mengadili diantara Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Oleh karena ini guna menghindari konflik kompetensi dalam menguji sertifat sebagai objek gugatan diantara kedua lembaga peradilan tersebut, maka tolok ukur untuk menentukan kriteria kewenangan/kompetensi diantara Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut:

  1. Pemberian hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara berupa Hak milik (SHM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan Hak Pengelolaan tersebut diatas, termasuk tanah Negara yang menjadi objek landreform dan hak-hak yang diberikan menurut Pasal 66 Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional, apabila menimbulkan sengketa maka yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya adalah Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini didasarkan oleh karena Sertifikat hak atas tanah tersebut berasal dari adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konstitutif dari Badan Pertanahan Nasional, yang telah melahirkan hubungan hukum.
  2. Pemberian hak atas tanah yang berasal dari Konversi Bekas Hak Lama dan Hak Milik Adat, apabila menimbulkan sengketa maka yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya adalah Peradilan Umum. Hal ini didasarkan oleh karena Sertifikat hak atas tanah tersebut berasal dari adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat deklaratif dari Badan Pertanahan Nasional, yang telah menetapkan mengikatnya suatu hubungan hukum.

DAFTAR PUSTAKA



BUKU

Abdullah, Rozali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT, Raja Grafindo, 2004

Basah, Sjahran, Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan administrasi DI Indonesia, Cet. Ketiga, Penerbit Alumni: Bandung, 1997

Harsono, Boedi, UUPA Bagian Pertama Jilid Pertama, Penerbit Kelompok Belajar “ESA”, Jakarta. 1960

Hadjon, M, et. Al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to The Indonesia Administrative Law, Cet. Kedelapan, Gadjah Mada University Press: Yogjakarta, 2002

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Peradilan Tata Usaha Negara, (Cet. Keenam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996)

Kartasaputra.,Masalah Pertanahan di Indonesia, Rineka Cipta:Jakarta, 2005

Mertodikusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty:Yogjakarta, 1998

Parlindungan,A.P, Konversi Hak-hak atas Tanah, Penerbit Mandar Maju:Bandung, 1990

______________. Hilangnya Hak-hak Atas Tanah, CV. Mandar Maju: Bandung, 1999

Prajoto, Edi, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dan Badan Pertanahan Nasional, CV. Utomo: Bandung, 2006

P.J.J Sipayung (Editor), Pejabat Sebagai Calon Tergugat Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: CV. Sri Rahayu, 1989)

Sangadji, Z.A. Kompetensi Badan Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha Negara, Dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2003

Soegiarto. Permasalahan dan Kasus-Kasus Pertanahan, Prenada Media Kencana; Jakarta, 2000

Wahid, Muchtar Memaknai kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Suatu Analisis Dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif Dan Sosiologis, Penerbit Republika: Jakarta, 2008

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UUD 1945
Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir
UU No. 5 Tahun 1960 Tentang UUPA
UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

PP No. 18 Tahun 1958
PP 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah
PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
PP. 38 tahun 1968

Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962
Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1962
Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1980
Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16 Tahun 1975 (PMDN No. 16/1975) Tentang kegiatan pendaftaran tanah dan pemberian sertifikat dalam pengukuran desa demi desa menuju desa lengkap sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997.
Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertahanan Nasional No. 3 Tahun 1995

INTERNET

http://www.bktrn.org/public/KKPN%20irul.pdf, diakses pada tanggal 17 September 2008

[1] Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin
[2] http://www.bktrn.org/public/KKPN%20irul.pdf, diakses pada tanggal 17 September 2008
[3] Ibid
[4] Periksa pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
[5] Periksa Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958
[6] UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
[7] Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Barat, dan sebagai tindak lanjut atas Keputusan Presiden tersebut telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1979.
[8] AP. Parlindungan, Konversi Hak-hak atas Tanah, Penerbit Mandar Maju:Bandung, 1990,hal. 1
[9] Boedi Harsono, UUPA Bagian Pertama Jilid Pertama, Penerbit Kelompok Belajar “ESA”, Jakarta. 1960, hal. 140
[10] AP. Parlindungan, Op., Cit, hal. 42
[11] Parlindungan A.P. Hilangnya Hak-hak Atas Tanah, CV. Mandar Maju: Bandung, 1999, hal.13
[12] Kartasaputra.,Masalah Pertanahan di Indonesia, Rineka Cipta:Jakarta, 2005, hal. 120
[13] Soegiarto. Permasalahan dan Kasus-Kasus Pertanahan, Prenada Media Kencana; Jakarta, 2000, hal. 15
[14] Edi Prajoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh Peradilan Tata Usaha Negara Dan Badan Pertanahan Nasional, CV. Utomo: Bandung, 2006, hal. 24
[15] Muchtar Wahid, Memaknai kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Suatu Analisis Dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif Dan Sosiologis, Penerbit Repbulika: Jakarta, 2008, hal. 34-38
[16] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Peradilan Tata Usaha Negara, (Cet. Keenam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 162-163
[17] Paulus Effendi Lotulung, Perbuatan-perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik, dalam P.J.J Sipayung (Editor), Pejabat Sebagai Calon Tergugat Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: CV. Sri Rahayu, 1989), hal 148
[18] Indroharto, Op., Cit, hal. 181,
[19] E. Utrecht sebagaimana dikutip dalam Philipus M. Hadjon, et. Al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to The Indonesia Administrative Law, Cet. Kedelapan, Gadjah Mada University Press: Yogjakarta, 2002, hal. 141
[20] Sebagaimana dikutip oleh E. Utrecht dalam Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT, Raja Grafindo, 2004, hal. 24
[21] Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty:Yogjakarta, 1998,hal. 27-28
[22] Sjahran basah, Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan administrasi DI Indonesia, Cet. Ketiga, Penerbit Alumni: Bandung, 1997, hal. 244
[23] Z.A. Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha Negara, Dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2003, hal 19-20
[24] Indroharto, Op., Cit
[25] E.Utrecht dalam Philipus, Op., Cit
[26] Rozali Abdullah, Op., Cit, hal. 24