Senin, 08 Desember 2008

KEBANGKITAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGGAPAI IMPIAN MEWUJUDKAN CITA-CITA PENGADILAN MODERN BERBASIS INFORMASI DAN TEKNOLOGI

KEBANGKITAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGGAPAI IMPIAN MEWUJUDKAN CITA-CITA PENGADILAN MODERN BERBASIS INFORMASI DAN TEKNOLOGI
(Suatu Pemikiran Tentang Refleksi Pelaksanaan Fungsi Kebangsaan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri Dan Merdeka Pasca RAKERNAS MARI 2008)
OLEH:
TEGUH SATYA BHAKTI, SH.,MH



“Telah lama sekali keluhan-keluhan dialamatkan pada dunia peradilan kita.
Kalaulah dapat disebut suatu masa,
keluhan-keluhan itu terutama terjadi sejak masa orde lama,
terus ke masa orde baru, dan berlangsung hingga saat ini…..”
(BAGIR MANAN- KETUA MAHKAMAH AGUNG RI)



A. PENDAHULUAN



Bangkitlah Mahkamah Agungku;
Bukalah Hatimu;
Bukalah Pikiranmu;
Tetapkanlah Arah Hidupmu;
Tegakkanlah Fungsi Kebangsaan Kekuasaan Kehakiman
Yang Mandiri Dan Merdeka…..
Untuk Indonesia Raya…..

Begitulah kira-kira sepenggal syair yang bisa penulis ekspresikan dalam menyongsong kebangkitan institusi dari penulis, yakni Mahkamah Agung yang tercinta. Menurut penulis, Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung (RAKERNAS MARI) yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 4-6 Agustus 2008 adalah merupakan hari Kebangkitan Mahkamah Agung dalam mewujudkan cita-cita pengadilan modern di Indonesia guna menyongsong fungsi kebangsaan Kekuasaan Kehakiman yang mandiri dan merdeka.

Sudah menjadi kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa sejak reformasi bergulir, masyarakat selalu menyoroti sistem dan praktek penegakan hukum di bidang peradilan. Penegakan hukum melalui pengadilan yang disoroti oleh masyarakat lebih banyak berkaitan dengan ruang lingkup tugas hakim. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kondisi hakim saat ini belum seperti yang diharapkan. Terbukti dengan adanya banyak laporan dan pengaduan tentang proses penanganan perkara, penyalahgunaan kekuasaan hakim pada khususnya atau peradilan pada umumnya. Sorotan masyarakat ini semata-mata oleh karena mereka menganggap hakim dan lembaga peradilan adalah tumpuan sekaligus sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum dan keadilan.

Menurut Bagir Manan, jika ditinjau dari kemampuan masyarakat memberikan reaksi atau respon terhadap dunia peradilan, ada fluktuasi keluhan-keluhan yang disampaikan. Pada suatu saat, masalah “indepedensi” berada didepan. Disaat lain, akses untuk masalah “mutu hakim” dan “mutu putusan”. Cara-cara mewujudkan keluhan juga berbeda-beda. Selama orde lama dan orde baru, keluhan-keluhan itu pada umumnya hanya menggema dalam tembok-tembok seminar atau dinding-dinding pengajaran di kelas. Ada sejumlah “martir” yang berani maju diluar dinding seminar atau kelas. Pada saat itu para martir menemui berbagai cap seperti cap anti revolusi, agen nekolim, anti pembangunan, dengan segala akibat-akibatnya, dikucilkan, dilarang melakukan praktek hukum, bahkan ada yang ditahan. Di masa reformasi, keluhan lebih terbuka, sejalan dengan keterbukaan, kebebasan atau prinsip demokrasi pada umumnya. Bahkan, pada masa reformasi ini, tidak hanya terbatas pada keluhan terbuka, melainkan tuntutan-tuntutan yang disertai dengan ucapan-ucapan yang tidak hanya merisaukan, melainkan merendahkan termasuk menghinakan badan peradilan, seperti ucapan “hakim pencoleng”, “hakim maling”, “cincai dalam memutus”, “mafia peradilan” dan lain sebagainya.

Kemampuan dunia peradilan untuk bereaksi sangat lemah menghadapi berbagai kerubutan itu, lebih-lebih lagi menghadapi dunia publisitas (pers) yang jangankan memihak, independent’pun tidak menghadapi kerubutan itu. Suara-suara objektif tersumbat, yang mengkedepan adalah palu-palu pemukul yang sangat hebat.

Mengapa hal tersebut terjadi?.Harus diakui, berbagai kenyataan menunjukkan sejumlah fungsionaris pengadilan tidak menjalankan tugas dengan benar, melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji. Komulasi sistem yang berlaku dan keadaan eksternal yang secara sistematis melemahkan kekuasaan kehakiman, bahkan hampir meruntuhkan sendi-sendi badan peradilan secara keseluruhan, ditambah perbuatan-perbuatan tidak senonoh yang dilakukan fungsionaris pengadilan menjadi sumbu penyulut keluhan, tuntutan, cacian terhadap dunia peradilan.

Hal-hal tersebut diatas menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan semakin menipis dari hari ke hari, oleh karena adanya tuduhan bahwa lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen dan mandiri dalam menjalankan kinerja serta dalam mengeluarkan putusan-putusannya. Maraknya tuduhan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses penyelesaian perkara, tuduhan campur tangan pihak eksekutif dan legislatif dalam proses peradilan tersebut, akhirnya menjadi suatu masalah yang sangat serius untuk dipikirkan pemecahannya.

Sesungguhnya, Keadilan tak hanya lahir lewat putusan yang dikeluarkan oleh hakim, namun juga terletak pada salah-benarnya dan baik-buruknya administrasi peradilan itu sendiri. Ketidaktahuan masyarakat atas prosedur, waktu dan biaya berperkara, menyebabkan masyarakat terjerembab pada sikap-sikap koruptif dengan cara “membeli” waktu, kesempatan, dan bahkan keadilan itu sendiri. Hal ini pun acapkali dimanfaatkan oleh oknum fungsionaris pengadilan yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan praktik-praktik jual-beli keadilan. Untuk itulah perlu diwujudkan pelayanan yang partisipatif dan interaktif dalam rangka transparansi dan akuntabilitas administrasi peradilan kepada publik, agar supaya terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan tidak terpuji itu.

Dalam rangka mewujudkan good governance di lembaga peradilan, Mahkamah Agung telah memberanikan diri untuk mencoba melakukan suatu perenungan yang suci, jujur, tulus dan ikhlas secara mendalam tentang dirinya guna memahami dan menginsyafi sebenarnya apa sajakah yang telah dilakukan olehnya dan apa saja yang terjadi dengan dirinya didalam menjalankan tugas dan kewenangannya selama ini, baik yang secara subyektif dapat dikategorikan sebagai suatu hal positif seperti keberhasilan maupun suatu hal negatif layaknya kegagalan.

Perwujudan perenungan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah dengan tidak hanya bereaksi terhadap genderang penghinaan terhadap dirinya dan lembaga-lembaga peradilan dibawahnya, terhadap berbagai bentuk kebohongan publik yang dilancarkan kepadanya, terhadap gagasan-gagasan ganjil dan negatif yang digunakan oleh pakar-pakar hukum dan praktisi-praktisi hukum untuk memukul dirinya, terhadap berbagai fitnah yang bersembunyi dibalik baju kebebasan menyatakan pendapat untuk mendustainya. Tetapi juga melakukan aksi, aksi yang bukan keluar untuk membalas, melainkan aksi melakukan tindakan kedalam, berupa konsolidasi untuk menata dan membangun sistem peradilan yang baik (good of court).

Pembaharuan badan peradilan adalah merupakan kemestian dan harus dilakukan secara terus menerus yaitu agar hari ini lebih baik dari kemarin, dan besok lebih baik dari hari ini, sampai terwujud kembali badan peradilan yang dipercaya, berwibawa, terhormat, dan dihormati. Guna menggapai mimpi-mimpi tersebut maka ada beberapa usaha penting yang harus dilakukan yaitu dengan “membangun dan membentuk hakim yang baik”, serta “membangun dan membentuk sistem administrasi badan peradilan yang baik” dengan mengintegrasikan perkembangan teknologi dalam memberikan pelayanan kebenaran dan keadilan kepada bangsa dan negara yang merupakan hakikat dari cita-cita peradilan modern berbasis informasi dan teknologi.

Untuk melakukan pembaharuan dan perbaikan internal dimaksud, didalam Buku Cetak Biru (blue print) Pembaruan Mahkamah Agung RI, Mahkamah Agung, telah menetapkan visi dan misi organisasinya. Adapun visi tersebut adalah “Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberikan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik”. Untuk mencapai visi tersebut, ditetapkan misi-misi Mahkamah Agung sebagai berikut:
  1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
  2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain;
  3. Memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat;
  4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan;
  5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati; dan
  6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.

B. PEMBAHASAN


a. Fungsi Kebangsaan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri Dan Merdeka

Dalam Pidato Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan Pada Penutupan Rapat Kerja Nasional 2008, di Jakarta tanggal 6 Agustus 2008 menegaskan bahwa fungsi kebangsaan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka harus diletakkan dan dipergunakan sebagai instrumen memelihara, mengokohkan sendi-sendi kehidupan bangsa kita, khususnya tujuan berbangsa dan bernegara.


i. Fungsi Kebangsaan

Indonesia sebagai sebuah negara modern, diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, sejak awal pendiriannya, bahkan jauh sebelum itu telah diidamkan oleh para pemimpinnya sebagai sebuah negara hukum yang demokratis. Komitmen untuk membangun negara hukum yang demokratis memang dianggap essensial dalam proses pembangunan bangsa (state building), untuk itu para founding fathers dan para perumus konstitusi merasa perlu mencantumkan gagasan negara hukum yang demokratis dalam dokumen yang sangat penting yaitu konstitusi.
Konstitusi merupakan kontrak politik yang sangat essensial antara rakyat dan negara. Kontrak tertulis ini dimaksudkan agar negara tidak akan melanggar hak-hak masyarakat yang menjadi warganya. Hal ini mengacu kepada pendapat Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely (kekuasaaan itu cenderung untuk disalahgunakan, kekuasaan yang tak terbatas pasti akan disalahgunakan). Oleh karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang yang bersifat cheks and balances, dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan dilakukan juga dengan membagi-bagi kekuasaan kedalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

Kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan memang bukan hal yang asing bagi bangsa Indonesia. Pengalaman sejarah masa lalu, sejak jaman kekuasaan kerajaan-kerajaan nusantara ---khususnya di Jawa--- yang bercorak Hindu-Budha maupun masa kesultanan Islam senantiasa menunjukan kecenderungan kekuasaan yang korup. Namun oleh karena para pendiri negara (founding fathers) dan para perumus konstitusi 1945 memiliki pemahaman dan apresiasi yang tinggi terhadap cita-cita negara hukum dan demokrasi, akhirnya berhasil merumuskan UUD 1945.

Dalam UUD 1945 negara hukum disebutkan dalam Penjelasannya, sedangkan dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 disebutkan secara gamblang. Penjelasan UUD 1945 berbunyi, “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)” dan selanjutnya dijelaskan “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).” Bagi seorang Hakim uraian Penjelasan UUD 1945 tersebut hendaknya jangan dipahami secara tekstual saja namun juga dimengerti secara kontekstual, sebagaimana yang dikemukakan oleh Padmo Wahyono, yakni bahwa rechtsstaat disini tetap harus dipahami dengan pemahaman “khas Indonesia”. Karena pada kenyataannya ada beberapa perbedaan mendasar antara konsep negara hukum liberal dan konsep negara hukum Indonesia. Selanjutnya para ahli tata negara Indonesia menyebut konsep negara hukum ala Indonesia itu dengan sebutan Negara Nukum Pancasila (NHP).

Penegasan sebagai Negara Hukum dikuatkan kembali dalam UUD 1945 setelah perubahan pada Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”



ii. Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri Dan Merdeka

Kosakata “Kekuasaan Kehakiman” dalam konstitusi merupakan terjemahan dari istilah Belanda yang bisa disebut ”Rechterlijke Macht ”. Kata dimaksud mengacu pada teori Montesque mengenai pemisahan kekuasaan atau “Separation of Power “. Maksud istilah “Kekuasaaan” dapat diartikan sebagai “ Orgaan “ (Badan) atau bisa juga berarti “Functie” (Tugas). Sedangkan kosakata istilah “Badan Kehakiman” dalam arti umum disebut sebagai “Genus Begrip”. Jadi dengan begitu “ Mahkamah Agung” dimaknai dalam arti khusus yaitu sebagai “Species Begrip”. Adapun yang dimaksud dengan kosakata “ Susunan” adalah sebagai instruktur dari organisasi badan-badan peradilan, sedangkan istilah “Kekuasaan” dimaksudkan sebagai wewenang atau kewenangan, dalam bahasa lain biasa disebut sebagai “Judiciary Act”.

Jika analisis diatas diletakkan dalam konteks ajaran Montesque dalam Trias Politica murni, maka kekuasaan tidak hanya berbeda, tapi juga merupakan suatu institusi yang harus terpisah satu dan lainnya didalam melaksanakan kewenangannya (maksudnya : satu organ, satu fungsi). Bisa juga dikemukakan sebagai “Communis Opinio Doctrum”, dimana kekuasaan kehakiman adalah suatu yang kekuasaan yang harus benar-benar terbebaskan dari pengaruh kekuasaan yang lainnya. Dalam Constitutional Rule disebutkan sebagai ”The Independence Of Judiary”. Sedangkan didalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang terpisah.

Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ‘pengaruh’ kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar para Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.

Karena itu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks kemerdekaan para Hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut pandangan ini, kedudukan para Hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus diwujudkan dalam bentuk pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian inilah yang berlaku selama ini, sehingga tidak pernah terbayangkan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air juga seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kekuasaan kehakiman bukan saja tidak merdeka secara institusional administratif, tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses penyelesaian perkara keadilan.

Menurut Oemar Seno Adji (Mantan Ketua Mahkamah Agung RI), Ada 2 ciri bagi pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang independen, yaitu:

  1. kekuasaan kehakiman merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana pengadilan hanya bekerja kalau ada pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi;
  2. kekuasaan kehakiman hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sengketa yang diatur dalam hukum. Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitannya dengan pihak yang berperkara. Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang yang mudah dideteksi dimana hal itu hanya dapat dilacak dari perilakunya selama menjadi hakim.


Karena itu, penting bagi Mahkamah Agung melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaannya (institutional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental (intrumental atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja fungsionaris peradilan serta perilaku hukum masyarakat kita sebagai keseluruhan (ethical dan bahkan cultural reform). Dalam pengertian tentang sistem peradilan itu sendiri juga tercakup peranan dan fungsi kepolisian, kejaksaan, kepenasehatan, kehakiman, kepaniteraan, dan bahkan lembaga pemasyarakatan dalam satu kesatuan jaringan sistemik. Idealnya, sistem peradilan tidak hanya dapat diperbaiki dengan tambal sulam dan per sektor, tetapi haruslah menyeluruh menyangkut semua aspek dan unsur sistem peradilan itu.


b. Menyamakan Pemahaman Tentang Pengertian Peradilan dan Pengadilan


i. Peradilan

Peradilan adalah sebuah sistem penegakan hukum, sedangkan pengadilan hanyalah subsistem dari sistem peradilan. Sebagai sebuah sistem, peradilan meliputi proses kelembagaan, ketenagaan yang bekerja mempertahankan dan menegakkan hukum secara pro justitia (mempertahankan dan menegakkan hukum dapat juga dilakukan secara non justitia).
Sistem peradilan dapat ditinjau dari beberapa segi, pertama: segala sesuatu berkenan dengan penyelenggaraan peradilan. Disini sistem peradilan akan mencakup kelembagaan, sumberdaya, tata cara, prasarana dan sarana, dan lain-lain. Kedua, sistem peradilan diartikan sebagai proses mengadili (memeriksa dan memutus perkara).


ii. Pengadilan

Sebagai sebuah subsistem dari sistem peradilan, Pengadilan dapat diartikan sebagai sebuah forum publik, resmi, di mana kekuasaan publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh, administratif, dan kriminal di bawah hukum. Dalam negara dengan sistem common law, pengadilan merupakan cara utama untuk penyelesaian perselisihan, dan umumnya dimengerti bahwa semua orang memiliki hak untuk membawa klaimnya ke pengadilan. Dan juga, pihak tertuduh kejahatan memiliki hak untuk meminta perlindungan di pengadilan.


c. Unsur-unsur Pengadilan Modern

Ada 4 unsur yang harus terpenuhi dalam modernisasi peradilan yang akan dilakukan oleh Mahkamah Agung, yaitu:

1. Hakim-hakim yang tercerahkan (enlightened judges)
2. Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas Dan Kreatif.
3. Pengelolaan Manajemen Administrasi Pengadilan Yang Modern
4. Sistem Informasi Hukum.


1. Hakim-hakim yang tercerahkan (enlightened judges)

Menurut Jimly Asshidiqie, Hakim-hakim yang tercerahkan (enlightened judges) adalah Hakim mengalami pencerahan. Pencerahan kepada hakim itu bukan hanya dalam arti integritas dan kecerdasan intelektualnya, tapi juga syarat-syarat hakim yang baik juga termasuk.. Proses pencerahan itu tidak perlu menunggu semua hakim baik. Cukup mulai dari yang sedikit. Yang terpenting dia punya keinginan untuk merombak lembaga peradilan agar lebih baik dan lebih maju. Hakim-hakim tercerahkan ini harus ada di setiap pengadilan. Itu tak perlu banyak hakim, satu orang juga cukup. Cukup satu. Artinya mulai dari satu, bukan cukup satu. Sebab tidak mungkin bekerja sendirian untuk merombak sebuah peradilan. Lebih lanjut Jimly menambahkan hakim yang tercerahkan itu tidak harus pemangku pucuk pimpinan pengadilan. Tapi orang itu harus punya kemampuan leadership yang bisa menggerakkan orang-orang di pengadilan itu bahkan pimpinannya. Kalau orang yang punya kekuasaan akan jauh lebih mudah.
Menurut penulis seorang Hakim barulah benar-benar dikatakan tercerahkan (enlightened) jikalau jiwanya, perasaannya, keinsyafannya maupun keyakinannya cukup akan penerangan, penerangan akan hakikat kebenaran dan keadilan. kriteria ini tentunya bersifat nyata dan maya, yang hanya bisa difahami dengan dengan kebajikan. Jadi yang dimaksud dengan hakim yang tercerahkan (enlightened judges) adalah hakim yang memiliki hasrat dan punya keinginan untuk melakukan perubahan yang baik pada lembaga peradilan. Dan semua hasrat dan keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai ahlak yang baik. Oleh karena itu, syarat untuk menuju kepada pencerahan itu diwajibkan kepada seorang hakim untuk tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

2. Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas Dan Kreatif.

Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi.

Dari ensiklopedia bebas Wikipedia bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa Sumber daya manusia adalah potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan.

Sesungguhnya kemajuan Mahkamah Agung bukan saja ditentukan oleh besarnya anggaran dan fasilitas lembaga, tetapi oleh kemampuan Mahkamah Agung dalam mempersiapkan SDM-nya (manajemen SDM). SDM yang berkualitas hanya bisa dihasilkan apabila mereka mendapatkan pendidikan yang berkualitas pula, yang mana sejak awal telah diajarkan untuk selalu berpikir bebas dan mencari sesuatu yang baru. Sebab tidaklah mungkin bisa lahir sebuah kreatifitas jika orang selalu dibatasi cara berpikirnya. Dengan itu semua maka dapatlah diharapkan lahir suatu pemikiran yang kreatif. Pemikiran yang kreatif adalah pemikiran yang mampu menghasilkan sesuatu dari hal-hal yang sederhana dan ada disekitar mereka ketika melaksanakan tugasnya masing-masing dalam memberikan pelayanan kebenaran dan keadilan kepada masyarakat pencari keadilan.

Pesatnya pertumbuhan keilmuan di seluruh sektor kehidupan tentunya akan mengakibatkan beberapa persoalan hukum baik secara kualitas maupun kuantitas semakin berkembang. Seiring dengan hal tersebut, setiap individu yang menjadi bagian fungsionaris pengadilan baik hakim maupun Panitera dan pegawai dituntut untuk dapat meningkatkan dirinya baik dari segi keterampilan, pengetahuan, maupun kesadaran moral sesuai dengan laju perkembangan hukum didalam perkembangan masyarakat. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan SDM yang berkualitas yaitu meningkatkan cara berpikir kreatif (shof skill). Hal ini bertujuan untuk menyongsong dan mengantisipasi permasalahan hukum yang muncul didalam perkembangan masyarakat sekaligus memberikan jalan keluar terhadap permasalahan hukum tersebut secara tepat dan berhasil guna.

Menurut George (Washington University) ada tiga tingkatan berpikir kreatif:

  1. Berpikir pada tingkat kebiasaan (habit level thinking) yaitu timbul karena respon yang ada.
  2. Berpikir pada tingkatan memecahkan masalah (problem solve level thinking) yaitu penggunaan logika untuk mengulas fakta-fakta yang ditemukan secara logis.
  3. Berpikir pada tingkatan wawasan yang dimiliki diri seseorang (insight level thinking) yaitu menemukan tingkatan sebagian fakta dari suatu masalah.


Berdasarkan tiga tingkatan berpikir di atas, fungsionaris pengadilan yang berkecimpung dalam dunia hukum ditantang untuk meningkatkan kemampuan berpikir yang ada menjadi proses berpikir kreatif. Dalam proses berpikir kreatif ini baik Hakim, Panitera maupun Pegawai dapat menyimpulkan secara jelas melalui imajinasi, visualisasi, pengandaian, dan improvisasi untuk menciptakan ide-ide, gagasan, konsep, penemuan dan kesadaran dengan mengikuti cara berpikir yang konvesional.

Perwujudan dari proses berpikir kreatif ini dapat berupa perumusan tujuan pembelajaran, penerapan metode dan teknologi baru atau penemuan hasil penelitian baru yang belum diterapkan dalam dunia hukum sebelumnya. Proses berpikir kreatif dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja tidak terikat dengan ruang dan waktu, namun tetap dengan memperhatikan nilai moral dan etika yang berlaku. Berdasarkan itulah untuk mewujudkan dan menciptakan SDM yang bermutu dan berkualitas, Mahkamah Agung perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan hal-hal teknis. Langkah tersebut untuk mengarahkan semua fungsionaris pengadilan untuk meningkatkan pola berpikir kreatif.

Menurut Khaerudin, ada tujuh paradigma pilihan ke arah proses berpikir kreatif yaitu:

1. Tahap memadukan sikap dan konsentrasi.
2. Tahap merumuskan masalah yang dihadapi.
3. Tahap eksplorasi dan persiapan.
4. Hipotesis /memecahkan masalah.
5. Tahap mencerna ide atau gagasan.
6. Iluminasi ide yaitu gagasan ketika melakukan pekerjaan.
7. Tahap verifikasi dan penerapan ide.

Jika Mahkamah Agung menerapkan ketujuh tahapan di atas dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum yang terjadi didalam perkembangan masyarakat, maka segala aktivitas Mahkamah Agung akan berhasil dengan baik dan memuaskan, InsyaALLAH.

Keberhasilan proses mempersiapkan SDM yang bermutu tentunya diawali dengan pemikiran yang maju, beragam, berilmu pengetahuan yang nantinya akan menunjang kemampuan berpikir fungsionaris pengadilan. Selain itu, penanaman nilai-nilai moralitas harus ditanamkan sejalan perkembangan fungsionaris pengadilan. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar fungsionaris pengadilan tetap pada jalan yang sesuai dengan norma yang berlaku dalam menjalankan tugas-tugasnya. Jika semua komponen dalam SDM fungsionaris Pengadilan dapat diselaraskan serta berjalan dengan proses berpikir kreatif, maka Pembaharuan dan Perubahan di Mahkamah Agung akan dapat berkembang secara terus menerus, Amien.


3. Pengelolaan Manajemen Administrasi Pengadilan Yang Modern

Dari ensiklopedia bebas Wikipedia bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa Administrasi berasal dari bahasa Latin : Ad = intensif dan ministrare = melayani, membantu, memenuhi. Administrasi merujuk pada kegiatan atau usaha untuk membantu, melayani, mengarahkan, atau mengatur semua kegiatan di dalam mencapai suatu tujuan.

Menurut White, Administrasi adalah proses yang pada umumnya terdapat pada semua usaha kelompok, pemerintah atau swasta, sipil atau militer, besar atau kecil, sedangkan Menurut Simon, Administrasi sebagai kegiatan kelompok yang mengadakan kerjasama guna menyelesaikan tugas bersama. Kemudian Menurut Newman, Administrasi didefinisikan sebagai bimbingan, kepemimpinan dan pengawasan usaha kelompok individu guna mencapai tujuan bersama. Sedangkan pengertian Administrasi dalam bahasa Indonesia ada 2 (dua) :

  • Menurut FX.Soedjadi, Administrasi berasal dari bahasa Belanda, “Administratie” yang merupakan pengertian Administrasi dalam arti sempit, yaitu sebagai kegiatan tata usaha kantor (catat-mencatat, mengetik, menggandakan, dan sebagainya). Kegiatan ini dalam bahasa Inggris disebut : Clerical works.
  • Menurut S.P. Siagian, Administrasi dalam arti luas, berasal dari bahasa Inggris “Administration”, yaitu proses kerjasama antara dua orang atau lebih berdasarkan rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan.


Berdasarkan hal tersebut diatas, administrasi ialah proses penyelenggaraan kerja yang dilakukan bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Administrasi, baik dalam pengertian luas maupun sempit di dalam penyelenggaraannya diwujudkan melalui fungsi-fungsi manajemen, yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.

Jadi administrasi adalah penyelenggaraannya,dan manajemen adalah orang-orang yang menyelenggarakan kerja. Maka kombinasi dari keduanya adalah penyelenggaraan kerja yang dilakukan oleh orang-orang secara bersama-sama (kerjasama) untuk mencapai tujuan yang yang telah ditetapkan.

Untuk mengurangi dampak negatif dari administrasi peradilan, maka peradilan perlu melakukan repositioning terhadap tugas dan fungsinya. Perubahan dari orde baru ke orde reformasi berakibat administrasi lembaga peradilan harus melakukan perubahan yang mendasar agar keberadaannya tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Administrasi peradilan dimaksudkan untuk memerangi kelambanan dan kongesti perkara. Ada lima esensial pokok yang harus diperhatikan oleh Mahkamah Agung dalam Pengelolaan Manajemen Administrasi Pengadilan Yang Modern, yaitu:

  1. Harus ada :” Court structure” yang sederhana dan integratif;
  2. Peradilan tertinggi harus punya kewenangan untuk mengatur kebijakan umum bagi semua peradilan dibawahnya, bisa dibuat melalui judicial conference;
  3. Harus ada “flow chart” proses penanganan perkara dengan mengemukakan tenaga waktu dalam proses pelaksanaan;
  4. Pembayaran semua cost untuk administrasi pengadilan dibuat transparan dan dilakukan melalui bank;
  5. Harus ada public mechanism control untuk memantau prosedur penanganan perkara.



4. Sistem Informasi Hukum.

Modernisasi pengadilan harus didukung teknologi informasi. Tujuan diterapkannya teknologi informasi dalam modernisasi pengadilan itu sendiri adalah untuk meningkatkan akses publik, karena dengan teknologi informasi akan memudahkan bagi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap layanan yang diberikan peradilan; Penerapan teknologi informasi akan mengefisiensikan administrasi pekerjaan; Selain itu, teknologi informasi juga merupakan alat kontrol bagi masyarakat untuk mengetahui kinerja pengadilan.

Seiring dengan semakin populernya Inter-Net sebagai "the network of the networks", masyarakat penggunanya (internet global community) seakan-akan mendapati suatu dunia baru yang dinamakan cyberspace. Substansi cyberspace adalah keberadaan informasi dan komunikasi yang dalam konteks ini dilakukan secara elektronik dalam bentuk visualisasi tatap muka interaktif. Keberadaan sistem elektronik itu sendiri adalah konkrit di mana komunikasi virtual sebenarnya dilakukan dengan cara representasi informasi digital yang bersifat diskrit. Sehubungan dengan itu, Wiener dan Bigelow mencetuskan Cybernetics Theory, Teori tersebut menyiratkan bahwa dalam memahami suatu informasi yang disampaikan pada suatu sistem komunikasi yang baik harus dengan memperhatikan umpan balik dari sistem tersebut. Istilah "telematika" merujuk pada hakekat cyberspace sebagai suatu sistem elektronik yang lahir dari perkembangan dan konvergensi telekomunikasi, media dan informatika.

Sesungguhnya terdapat korelasi yang kuat antara cybernetics theory dengan sistem hukum nasional, dalam hal efektifitas suatu sistem hukum di tengah-tengah masyarakat, khususnya dalam pembentukan perilaku sosial (social behaviour). Hukum sebagai suatu aturan (rule of law) berbanding lurus dengan pemamahan hukum dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum - yang wujudnya berupa informasi - yang tengah berlaku. Tidak akan ada ketentuan hukum yang berlaku efektif dalam masyarakat, jika informasi hukum tersebut tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Oleh karena itu, pengkomunikasian informasi hukum harus dirancang dalam pola yang lebih interaktif sehingga dapat menangkap dengan baik umpan balik dari masyarakatnya sehingga menimbulkan kesadaran hukum. Hal tersebut tidak akan didapat hanya dengan sosialisasi ataupun penyuluhan hukum saja, melainkan juga harus dengan pengembangan sarana komunikasi ataupun infrastruktur informasi yang baik dan dapat diakses dengan mudah dan murah oleh masyarakat.

Sekarang dan apalagi di masa-masa mendatang, kegiatan ekonomi, sosial, politik, dan bahkan kebudayaan tanpa dapat dihindarkan akan makin banyak dilakukan dengan memanfaatkan jasa jaringan komputer dan telekomunikasi elektronik. Di masa-masa dimana semua kegiatan dilakukan dengan pendekatan ‘paperless’, jasa komputer dan telekomunikasi elektronik ini nantinya akan makin memperoleh posisi yang sentral dalam kegiatan umat manusia sehari-hari.
Hampir semua instansi pemerintah maupun swasta telah memanfaatkan perangkat IT untuk tujuan efisiensi pelaksanaan operasional organisasi SIM, Paperless Office, dll. Oleh karena itu, Mahkamah Agung beserta Pengadilan-pengadilan dibawahnya dengan Fungsi Kebangsaan Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri Dan Merdeka harus juga turut memperhitungkan pentingnya jasa komputer dan telekomunikasi elektronik ini di masa mendatang.


i. IT Merupakan Instrumen Terbaik Untuk Melakukan Perubahan

Hikmah dari cybernetics theory bagi sistem hukum adalah keberadaan sistem informasi hukum sebagai komponen keempat dalam sistem hukum nasional; di samping tiga komponen yang selama ini dikenal, yaitu substansi, struktur dan budaya. Dengan demikian secara teoritis kesenjangan antara rule of law dengan social behaviour dapat dijembatani. Hal ini juga sepatutnya membuka pemikiran tentang lembaga pengadilan bahwa keberadaannya sebagai pelayan kebenaran dan keadilan - mewajibkannya memberikan layanan yang lebih baik. Dengan pengembangan sistem informasi yang baik, kegiatan proses peradilan menjadi lebih transparan, dan akuntabel, karena lembaga pengadilan mampu menangkap feedback dan meningkatkan peran serta masyarakat.

Dalam menjalankan tuntutan tersebut, pengadilan memerlukan semua informasi yang ada dan kemudian digunakan untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Informasi yang terkait dengan pelaksanaan fungsi dan wewenang pengadilan diproses oleh suatu sistem informasi yang merupakan kumpulan dari sistem-sistem yang digunakan untuk:

a. mengumpulkan informasi
b. mengklasifikasikan informasi
c. mengolah informasi
d. menginterpretasikan informasi
e. mengambil informasi dari tempat penyimpanan
f. transmisi (penyampaian)
g. penggunaan informasi

Sistem informasi itu sendiri terdiri dari atas keberadaan fungsi-fungsi input, proses, output, storage dan communication. Sistem informasi yang telah disebutkan sebelumnya, dipergunakan dalam praktek lembaga pengadilan dalam berbagai bidang tugas dan fungsinya. Sistem informasi dalam praktek pengadilan ini merupakan sistem informasi manajemen dimana didalamnya terdapat proses pengolahan suatu informasi yang diperuntukkan untuk keperluan penyebarluasan informasi hukum oleh lembaga pengadilan, dan karena peran pengadilan juga berkaitan dengan kepentingan publik maka segala sistem informasi yang dipergunakan harus memenuhi syarat efisien, efektif dan ekonomis. Dari konsep yang demikian maka mulai diterapkan penggunaan teknologi dalam sistem informasi pengadilan.

Agar hal tersebut dapat tercapai, pengembangan sistem informasi yang baik dengan menggunakan Teknologi Informasi merupakan satu keharusan. Cara yang dapat ditempuh, diantaranya, adalah pengembangan jaringan internet, komputerisasi dan lain-lain yang telah menjadi kebutuhan tidak terelakkan pada dewasa ini.

Transparansi, akuntabilitas dan penyebarluasan informasi hukum di Mahkamah Agung melalui pemanfaatan Teknologi Informasi antara lain telah diwujudkan dengan membangun sistem pelayanan informasi bagi publik, diantaranya:


1. Akses 121.

Sistem pelayanan informasi disebut Akses 121 ini merupakan fasilitas umum untuk publik, khususnya pihak yang berperkara, yang ingin mengetahui informasi tentang proses perkara yang tengah ditangani oleh Mahkamah Agung.


2. Layanan pesan singkat (SMS) melalui telepon genggam

Pihak yang berperkara tidak perlu lagi harus bersusah payah datang ke Mahkamah Agung hanya untuk mengetahui perkembangan penanganan perkara mereka, karena untuk mengetahui amar putusan atau perkembangan suatu perkara. pihak yang berperkara cukup mengetik Mahkamah Agung dan nomor register perkara, untuk perkara di tingkat kasasi, atau nama pengadilan nomor register perkara, untuk mengetahui amar putusan di pengadilan tingkat pertama atau banding, dan selanjutnya pesan tersebut dikirim ke nomor 0865-9111-9999. Namun, sampai pada awal 2007, baru ada 25 titik pengadilan di Indonesia, termasuk Mahkamah Agung, yang bisa melayani akses SMS tersebut yaitu di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Solo, dan Banten. Pada 2007, Makamah Agung memprogramkan akan meningkatkan pelayanan itu menjadi 47 titik online di Indonesia.


3. Layar `touch screen`

Layar `touch screen` ini ditempatkan di lobi Gedung Mahkamah Agung. Pihak yang berperkara tinggal mengetikkan nomor registrasi perkara mereka atau nomor registrasi pengadilan asal untuk mengetahui amar putusan maupun perkembangan perkara mereka.


4. Situs internet www.mahkamahagung.go.id.

Mahkamah Agung juga menyediakan informasi serupa melalui situs internet di alamat www.mahkamahagung.go.id. Namun, informasi itu masih tersedia bagi pihak yang berperkara, sehingga hanya bisa diakses setelah pihak yang berperkara memasukkan nomor register perkara mereka. Untuk menyediakan informasi putusan perkara yang terbuka bagi publik, lanjut dia, pengadilan di Indonesia masih terkendala oleh peraturan yang berlaku bahwa suatu putusan tidak langsung menjadi milik publik setelah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sedangkan, dari sisi teknologi, tidak ada masalah lagi. Namun, apabila melihat isinya yang minim, terkesan bahwa fasilitas website ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Informasi yang ada di dalam situs tersebut tidak lengkap dan jarang di-update sesuai dengan perkembangan terbaru. Kelemahan ini tidak terlepas dari tidak adanya unit khusus yanbg diberi tanggungjawab untuk mengelola website Mahkamah Agung.


5. Sistem manajemen perkara `online

Selain menyediakan akses informasi kepada pihak yang berperkara, Mahkamah Agung juga menyiapkan sistem manajemen perkara `online` sehingga semua informasi berkas perkara terpadu di Mahkamah Agung. Sistem itu diharapkan dapat menghemat waktu minutasi di Mahkamah Agung yang seringkali memakan waktu hingga satu atau dua tahun. Semua data putusan lengkap dari pengadilan tingkat PN dan PT terkoneksi dengan Mahkamah Agung sehingga tidak ada pengetikan ulang guna mempercepat minutas. Mahkamah Agung menargetkan dalam sepuluh tahun ke depan, 750 pengadilan di empat badan peradilan di Indonesia sudah terkoneksi secara online dengan Makhamah Agung. Selain mengembangkan sistem informasi perkara, MA juga mengembangkan sistem informasi kepegawaian, keuangan dan logistik secara online untuk seluruh pengadilan di Indonesia


ii. Publikasi Dan Eksaminasi Putusan Hakim

Mahkamah Agung harus meningkatkan kesadaran berinformasi dan berkomunikasi, untuk kemudian mampu mengembangkan seluruh infrastruktur informasi hukum proses peradilan secara nasional nasional maupun global agar keberadaannya dapat sesuai dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat itu sendiri.


i. Publikasi Putusan Hakim

Di dalam era globalisasi mendatang, peran peradilan akan sangat penting berkaitan dengan kasus-kasus transnasional yang muncul dan memerlukan pemecahan segera. Dampak dari putusan itu tidak hanya pada tingkat nasional, akan tetapi juga regional dan internasional.

Salah satu wujud penting transparansi adalah adanya akses publik terhadap setiap putusan atau penetapan pengadilan. Dari sudut pengawasan, akses publik ini akan mendorong hakim untuk berhati-hati, bermutu dan tidak memihak mengingat setiap putusan atau ketetapan hakim akan menjadi wacana atau pengamatan publik secara ilmiah maupun pendapat umum (public opinion).

Dalam waktu dekat putusan-putusan Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan yang berada di bawahnya akan segera dipublikasikan melalui situs www.asianlii.org. Publikasi ini sangat penting, dalam rangka transparansi peradilan dan peningkatan akses publik global terhadap Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Nota Kesepahaman antara pihak AsianLII dan pihak Mahkamah Agung RI telah ditandatangani di Melbourne Australia. Prof. Graham Greenleaf sebagai Co-Director of AustLII & AsianLII yang juga sebagai guru besar hukum pada the University of New South Wales, mewakili pihak AsianLII dan Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL, Ketua MA-RI menandatangani Nota Kesepahaman tersebut.

Bagi Mahkamah Agung, penandatanganan Nota Kesepahaman ini adalah bentuk sosialisasi pelaksanaan SK KMA 144 tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Kini, putusan dan produk MA-RI tidak saja dapat diakses pada situsnya sendiri (www.mahkamahagung.go.id), tapi juga dapat diakses pada situs yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat hukum internasional. Publikasi ini juga akan lebih memberi motivasi kepada para hakim untuk memutus perkara dan menyusun putusannya lebih hati-hati dan lebih berkualitas.


ii. Eksaminasi

Putusan yang baik yang baik belum tentu dapat terwujud dengan terus menerus menurut undang-undang. Justru kajian mendalam harus ditingkatkan tentang sejauh mana kualitas putusan yang telah diputus. Oleh karena itu, selain publikasi putusan, diperlukan suatu mekanisme yang mengatur program eksaminasi, yaitu penilaian para hakim oleh atasannya dan atau tim yang ditunjuk khusus itu atas keputusan-keputusan hakim (apalagi perkara yang mendapat atensi publik) yang dibuat oleh para hakim dalam kurun waktu tertentu.

Eksaminasi dibuat secara transparan dan sedapat mungkin membuka ruang partisipasi dari aparat penegak hukum lainnya. Program ini juga untuk menilai kemampuan dan prestasi seorang hakim untuk keperluan promosi dan peningkatan jenjang kepangkatan, selain untuk melacak, apakah terjadi praktek kolusi dan manipulasi putusan dalam suatu perkara.



C. BEBERAPA USAHA LAIN YANG PERLU DILAKUKAN OLEH MAHKAMAH AGUNG DALAM MEWUJUDKAN CITA-CITA PENGADILAN MODERN


Untuk mencapai penegakan hukum telah banyak teori yang dikemukakan, salah satu yang terkenal dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dalam bukunya Legal Culture and Social Development, yakni:

  1. Komponen Struktural yakni kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.
  2. Komponen Substansi, yakni dasar-dasar peraturan yang melandasi bekerjanya lembaga hukum tersebut.
  3. Komponen Kultural atau Kultur Hukum. Ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem hukum itu ditengah-tengah kultur bangsa secara keseluruhan.

Berkaitan dengan Komponen Kultural atau Kultur Hukum, dalam rangka merefleksikan fungsi kebangsaan Kekuasaan Kehakiman yang mandiri dan merdeka guna mewujudkan cita-cita pengadilan modern, menurut penulis ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung, yakni:

1. Memperbaiki Selera Fungsionaris Pengadilan
2. Mengikis Habis Budaya Feodalisme Struktural Fungsionaris Pengadilan.
3. Membabat Habis Budaya Elitisme dan Ekslusifitas Fungsionaris Pengadilan
4. Menciptakan Kultur Ilmiah di Lingkungan Fungsionaris Pengadilan
5. Membangun Standarisasi dan Modernisasi Perpustakaan


1. Memperbaiki Selera Fungsionaris Pengadilan

Yang dimaksud dengan selera disini adalah sesuatu yang berhubungan dengan “profesionalitas” dan “martabat”. Suatu martabat mengandung sifat dan karakter kemulyaan (dignity). Seorang yang professional yang bermartabat adalah orang merasa mulya dan bangga dengan pekerjaan (jabatannya). Atas dasar mulya dan bangga tersebut, yang bersangkutan akan senantiasa menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan pekerjaan atau jabatannya.

Salah satu krisis yang sedang terjadi dikalangan fungsionaris pengadilan saat ini adalah sebagian diantara fungsionaris pengadilan (Hakim, Panitera, dan Pegawai pengadilan) tidak merasa bangga dan terhormat dengan pekerjaan atau jabatannya. Mereka melihat pekerjaan atau jabatan sekedar alat untuk mencapai suatu keinginan tertentu.

Selain kondisi internal tersebut, martabat fungsionaris pengadilan (Hakim, Panitera, dan Pegawai pengadilan) ditentukan juga oleh faktor eksternal yaitu tatanan lingkungan yang menawarkan berbagai godaan. Sebagai manusia yang ada dalam kondisi yang tidak memuaskan, seorang Hakim khususnya dapat – sadar atau tidak sadar – melakukan sesuatu yang menurunkan martabatnya. Tentu saja didapati hakim atau pejabat pengadilan yang serakah dan tamak. Menurut Bagir Manan, mereka tidak layak menjadi Hakim.

Dari kondisi permasalahan diatas, dapat direnungkan suatu strategi dasar pembinaan peradilan yaitu: “membangun kembali sistem peradilan yang bermartabat dan berwibawa”, dalam wujud peradilan bersih, adil, benar, jujur dan netral. Bermartabat, meliputi pembinaan sumber daya peradilan (hakim , panitera dan pegawai) yang tidak hanya berpengetahuan cukup, tetapi juga memiliki integritas tinggi, serta memperoleh kepercayaan publik yang luas. Sedangkan berwibawa artinya dihormati karena penyelesaian setiap masalah atau sengketa hukum dikerjakan secara efisien, efektif, produktif, tidak berpihak, benar dan adil yang akan memberikan kepuasan para pencari keadilan. Inilah yang menurut Bagir Manan sebagai Pengadilan yang terhormat dan dihormati.


2. Mengikis Habis Budaya Feodalisme Struktural Fungsionaris Pengadilan

Budaya adalah perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang kali (ajeg) sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Sedangkan Feodalisme adalah sebuah sistem di mana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah. Yang dalam prakteknya anak buah ini wajib membayar upeti kepada pemimpin mereka. Sedangkan para anak buah pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti. Yang pada akhirnya akan memunculkan struktur hirarkis berbentuk piramida.

Budaya feodalisme ini pada akhirnya akan melahirkan sistem primordial yang terlembagakan di tubuh Mahkamah Agung beserta jajaran pengadilan dibawahnya, yakni dimana perilaku-perilaku negatif dari pemimpin yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'.

Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan praktek-praktek tidak terpuji, misalnya seseorang dari salah satu fungsionaris pengadilan (Hakim pada khususnya, panitera pada umumnya) enggan untuk dipindahkan dari Jawa ke luar Jawa, atau dengan istilah dari tempat basah ketempat kering. Untuk itu yang bersangkutan berusaha menghadap (sowan) ke MA, sehingga akhirnya tidak jadi dipindahkan. Praktek KKN semacam itu diduga masih berlangsung sampai saat ini, sehingga menyebabkan dunia peradilan tidak kondusif, karena berkaitan dengan karir hakim.

Memang masalah mutasi merupakan bentuk promosi (peningkatan jenjang karier), akan tetapi sekaligus sebagai bagian dari risiko dan keharusan sebagai hakim. Bagi seorang hakim mutasi/rotasi ada keuntungannya karena bertugas terlalu lama di satu daerah akan merasa jenuh, ilmunya tidak berkembang serta adanya pengaruh dari lingkungan setempat. Namun mutasi dalam kenyataannya tidak sesederhana itu karena akan terkait dengan keluarga, kondisi lingkungan yang akan ditempati,perumahan dan lain sebagainya. Dengan adanya berbagai kepentingan dan pertimbangan ini, tidak mengherankan apabila ada keinginan oknum hakim yang berusaha untuk tidak segera dimutasi, kalaupun dimutasi menginginkan ditempatkan pada kondisi yang lebih baik. Sementara disisi yang lain hakim yang bertugas di wilayah terpencil mengeluhkan, bahwa fasilitas jalan, penerangan, pendidikan, kesehatan, hiburan sangat minim, perkara yang masuk sangat sedikit. Jika ada tempat tinggal terkadang sangat jauh sehingga mengganggu pelaksanaan tugasnya. Belum lagi jika menghadapi persoalan yang menyangkut etnis, hakim terkadang ditekan oleh sekelompok etnis tertentu dan jiwanya terancam.

Terhadap hal diatas, ada baiknya Mahkamah Agung menyusun pola manajemen pembinaan karir (mutasi dan promosi) hakim. Secara sederhana manajemen dapat diartikan suatu pencapaian tujuan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tertentu Rekrutmen, mutasi dan promosi hakim sebagai bentuk perencanaan personalia harus benar-benar direncanakan dengan mempertimbangkan kegiatan-kegiatan organisasi secara keseluruhan, yaitu diawali dengan:

1. Perencanaan SDM hakim, yang mempertimbangkan kualitas dan kuantitasnya;
2. Latihan dan pengembangan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme hakim;
3. Penilaian yang meliputi upaya untuk mutasi dan promosi karir hakim.


3. Membabat Habis Budaya Elitisme dan Ekslusifitas Fungsionaris Pengadilan

Eksklusif memiliki makna terbatas bagi sebagian orang saja. Eksklusifitas ini menjadi sebuah trademark tersendiri bagi Fungsionaris Pengadilan. Eksklusifitas ini pada akhirnya akan melahirkan sebuah elitisme di kalangan fungsionaris pengadilan (Hakim pada khususnya, panitera pada umumnya).

Kebanyakan Hakim melihat keluhuran profesinya pada saat ia berinteraksi dengan masyarakat. Ada sebagian kelompok hakim yang tidak mau berinteraksi dengan dengan masyarakat dengan dalih bahwa profesi mereka sebagai Hakim harus dijaga. Tetapi ada juga sebagian hakim yang mau berinteraksi dengan masyarakat.

Dalam prakteknya, hakim yang tidak mau berinteraksi dengan masyarakat terbagi menjadi 2 bagian, yaitu golongan hakim yang tidak mau berinteraksi dengan masyarakat golongan menengah kebawah dan golongan hakim yang hanya mau berinteraksi dengan masyarakat golongan menengah ke atas.

Kedua jenis golongan hakim ini pada akhirnya membentuk sebuah pergaulan yang elit dan eksklusif diantara sesama mereka dengan kelompok masyarakat dari golongan menengah ke atas (borjuis). Pergaulan semacam ini melahirkan hubungan-hubungan yang tidak rasional yang kerapkali terbawa-bawa pada waktu sang hakim melaksanakan tugasnya sebagai pengabdi kebenaran dan keadilan. Hal ini tentunya sudah bisa dipastikan, bahwa kedua jenis golongan hakim tersebut akan mengasilkan putusan-putusan yang bersifat elit dan eksklusif.

Pertanyaannya, bukankah seorang Hakim dituntut harus mampu menyerap rasa keadilan di masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa: ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”?
Ketentuan Pasal diatas mengisyaratkan bahwa hakim harus mampu mentransformasikan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam konteks masyarakat terkini. Hal tersebut justru merupakan tantangan tersendiri bagi hakim untuk terus menerus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna meningkatkan kualitas putusannya. Artinya, bukan lagi dititik beratkan pada jabatan hakimnya, namun pada bagaimana seseorang hakim itu menjalankan fungsinya sebagai hakim yang baik, itulah yang lebih berperan besar.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana seorang hakim mempertanggung-jawabkan integritasnya kepada masyarakat, kalau putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai dan rasa keadilan dalam masyarakat yang menjadi dasar alasan putusannya?

Jawabannya dikembalikan pada makna yang terkandung dalam tiga adagium klasik yang menjadi pondasi hukum, yang paling tidak bisa menjadi dasar pemikiran bagi hakim untuk merumuskan hakikat profesinya. Ketiga adagium klasik tersebut adalah ius est ars boni et aequi (hukum adalah kecakapan (menerapkan) nilai kebaikan dan kepatutan), male enim nostro iure uti non debemus (janganlah kita salah gunakan hukum kita), dan …neque malitiis indulgendum est (janganlah kita menyerah pada keburukan). Lalu bagaimana seorang hakim pada akhirnya akan memaknai adagium tersebut, jawabnya kembali pada individu hakim itu sendiri. Bukankah rasa tanggungjawab (responsibility) memang dimulai dari diri sendiri?


4. Menciptakan Kultur Ilmiah Di Lingkungan Fungsionaris Pengadilan

Tugas hakim bukan semata-mata sebagai penerap hukum (Undang-undang) atas perkara-perkara yang masuk/dibawa di pengadilan, tetapi harus sebagai agent of solution, yang di dalamnya mencakup penemuan dan pembaharuan hukum. Hakim yang ideal selain memilki kecerdasan yang tinggi, dia harus memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu mengintegrasikan nilai-nilai agama, kesusilaan, sopan santun serta adat-istiadat ke dalam hukum positif yang tercermin dalam setiap putusan yang dilahirkannya. Selain itu, seorang hakim juga harus mempunyai moral dan integritas yang tinggi. Upaya peningkatan kualitas hakim tersebut, tentunya harus tetap berorientasi pada fungsi, tugas dan tanggung jawab hakim sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum, tidak bertentangan dengan kebebasan hakim dan dimaksudkan juga untuk meningkatkan kualitas dari putusan hakim.

Paulus Efendi Lotulung (TUADA TUN MARI) berpendapat bahwa ukuran hakim yang berprestasi itu bukan semata-mata karena dapat menjatuhkan hukuman yang berat, putusan yang tidak pernah dibatalkan dan lain sebagainya. Itu semua adalah ukuran yang sifatnya relatif, yang belum tentu dapat diterima oleh dunia akademisi. Hakim yang berprestasi adalah hakim yang dapat memberikan temuan-temuan yang berupa teori-teori. Temuan yang berupa doktrin atau teori baru, kalau itu sering diikuti oleh hakim lain, maka lama-lama akan menjadi yurisprudensi, dan suatu ketika kalau itu diikuti oleh pembentuk undang akan menjadi undang -undang yang mempunyai daya mengikat umum.

Menurut Jimly Asshidiqie, sesungguhnya tugas hakim itu sangat sederhana, yakni membaca, berdebat, menulis dan berusaha menjadi moderator yang baik.

Dalam konteks membaca, di negeri yang sistem hukumnya menganut civil law ini tugas hakim relatif ringan. Kalau di sistem common law, selain memantau perkembangan norma hukum, hakim harus terus memantau putusan-putusan hakim-hakim yang juga rekannya. Di indonesia, tugas hakim itu cuma membaca berkas dan memantau produk Peraturan Perundang-undangan terbaru. Seorang hakim dituntut selain harus aktif memantau perkembangan-perkembangan hukum terbaru, dia juga harus memanfaatkan segala sumber informasi hukum. Bahkan untuk sekarang ini tak cukup hanya Peraturan yang diterbitkan di Pusat, tapi juga perlu lebih jauh mempelajari Perda-Perda (Peraturan Daerah-red). Terutama untuk pengadilan tingkat I dan tingkat II didaerah masing-masing. Tentu karena Perda ini makin lama juga makin banyak, seorang hakim agung juga punya pekerjaan untuk memantau peraturan yang semakin berlipat itu. Hal ini wajar, karena Indonesia menganut civil law.

Dalam konteks berdebat. pekerjaan hakim dapat dilihat ketika akan membuat putusan. Semua mesti memiliki argumen yang cukup mendalam dengan logika-logika hukum bisa diterima semua kalangan sehingga masyarakat pencari keadilan juga akan ikut belajar.

Dalam konteks menulis. pekerjaan hakim dapat dilihat ketika seorang hakim harus membuat putusan yang bisa dijadikan acuan bagi perkembangan hukum di Indonesia. Maka oleh karena itu seorang hakim disarankan harus dekat dengan lingkungan akademis dari lingkungan Perguruan Tinggi. Dari situ, logika-logika hukum yang akan dipakai ketika membuat pertimbangan sebelum memutus perkara akan lebih matang dan mendalam. Putusan mesti mudah dipahami mahasiswa hukum dan praktisi hukum, tidak sumier dan memiliki argumen yang kuat. Panjang tidak apa-apa, kalau perlu dibuat footnote semacam paper. Jadi untuk setiap pengadilan itu harus terbangun kultur ilmiah.

Dalam konteks menjadi moderator yang baik, dapat dilihat ketika dimana dua pihak yang menghadap di muka sidang di Pengadilan tingkat pertama. Di sini seorang hakim dituntut harus memiliki kemampuan memanajemen kedua belah pihak agar tercipta equal treatment bagi kedua pihak itu.

Jika sudah tercipta kultur ilmiah di lingkungan peradilan, maka otomatis sebuah informasi itu akan sangat terbuka, sehingga tidak lagi ada ribut-ribut soal perkara yang ditransaksikan. Sebab dalam suatu perdebatan yang sudah sarat nuansa ilmiah, nantinya transaksi-transaksi jual beli informasi atau jual beli perkara akan hilang dengan sendirinya.


5. Membangun Standarisasi dan Modernisasi Perpustakaan Pengadilan

Perpustakaan adalah ‘gudang ilmu’, bukan gudang buku seperti selama ini dipersepsikan orang pada umumnya. Perpustakaan sebagai sebuah pusat pengetahuan dan pusat pembelajaran memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan fungsionaris pengadilan karena di dalamnya tersedia begitu banyak informasi yang dapat digunakan oleh hakim, panitera dan pegawai ketika mereka bermaksud meningkatkan pengetahuan dan wawasan mereka di bidang hukum. Tidak hanya itu, perpustakaan juga sebenarnya menyediakan begitu banyak informasi dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.

Dengan kekayaan sumber ilmu pengetahuan yang dimilikinya, perpustakaan sebenarnya merupakan salah satu faktor pendukung utama bagi Mahkamah Agung ketika akan melaksanakan program pembangunan SDM Yang Berkualitas dan Kreatif, karena melalui perpustakaan, informasi tentang perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat dapat diserap oleh fungsionaris pengadilan (hakim, penitera dan pegawai).

Pengembangan perpustakaan merupakan aktivitas yang tidak dapat ditunda lagi pelaksanaannya, terutama karena tuntutan globalisasi pada kualitas dan produktivitas SDM agar mampu berkompetisi dalam berbagai bidang, bukan hanya di dalam bidang hukum tetapi juga dengan bidang yang lainnya. SDM fungsionaris pengadilan yang kualitas dan produktifitasnya rendah akan menjadi SDM yang tersisihkan (tereliminasi) dalam kompetisi ini. Maka seluruh SDM fungsionaris pengadilan di Indonesia harus memiliki kualitas dan produktifitas yang tinggi. Kualitas dan produktifitas yang tinggi hanya dicapai dengan penyediaan sumber informasi dan pengetahuan yang memadai.


D. PENUTUP


Tujuan utama kekuasaan kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Fungsi kebangsaan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka harus diletakkan dan dipergunakan sebagai instrumen memelihara, mengokohkan sendi-sendi kehidupan bangsa kita, khususnya tujuan berbangsa dan bernegara.

Dalam rangka mewujudkan good governance di lembaga peradilan, Pembaharuan badan peradilan adalah merupakan kemestian dan harus dilakukan secara terus menerus, oleh karena itu Mahkamah Agung, telah menetapkan visi dan misi organisasinya. Adapun visi tersebut adalah “Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberikan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik”. Untuk mencapai visi tersebut, ditetapkan misi-misi Mahkamah Agung sebagai berikut:

  1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
  2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain;
  3. Memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat;
  4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan;
  5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati; dan
  6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.


Guna mencapai misi dan visi tersebut maka ada beberapa usaha penting yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung yaitu dengan “membangun dan membentuk hakim yang baik”, serta “membangun dan membentuk sistem administrasi badan peradilan yang baik” dengan mengintegrasikan perkembangan teknologi dalam memberikan pelayanan kebenaran dan keadilan kepada bangsa dan negara yang merupakan hakikat dari cita-cita peradilan modern berbasis informasi dan teknologi. Unsur-unsur Pengadilan Modern itu adalah:

1. Hakim-hakim yang tercerahkan (enlightened judges)
2. Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas Dan Kreatif.
3. Pengelolaan Manajemen Administrasi Pengadilan Yang Modern
4. Sistem Informasi Hukum.

Berkaitan dengan Komponen Kultural atau Kultur Hukum, hal-hal yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung, adalah:

  1. Memperbaiki Selera Fungsionaris Pengadilan.
  2. Mengikis Habis Budaya Feodalisme Struktural Fungsionaris Pengadilan.
  3. Membabat Habis Budaya Elitisme dan Ekslusifitas Fungsionaris Pengadilan.
  4. Menciptakan Kultur Ilmiah di Lingkungan Fungsionaris Pengadilan.
  5. Membangun Standarisasi dan Modernisasi Perpustakaan Pengadilan.
Sehingga nantinya diharapkan mimpi mewujudkan cita-cita pengadilan modern dapat terealisasi dengan cepat dan tepat sasaran.




DAFTAR PUSTAKA


BUKU

Adji, Oemar Seno. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta:Erlangga, 1985.
Alim, Muhammad Demokrasi Dan Hak asasi Manusia Dalam Konstitusi Madinah Dan UUD 1945, (Jogyakarta: UII Press, 2001)

Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003

Manan, Bagir, Menjadi Hakim Yang Baik, Makalah pertama kali disampaikan sebagai ceramah untuk calon-calon Hakim, di Malang, 7 Desember 2006, dan telah dipublikasikan oleh Pusdiklat Teknis Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Jakarta, 2008

___________, Sistem Peradilan Berwibawa, Pusdiklat Teknis Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MARI, 2008

Moedjanto, G. “Konsep Kepemimpinan dan kekuasaan Jawa Tempo Dulu” dalam Hans Atlov dan Sven Cederroth, Leadership On Java: Gentle Hints Authoritarian Rule diterjemahkan oleh P. Soemitro, dengan “Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001)

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Jogyakarta: Liberty, 2000)

Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkmah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MK, 2003)

Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar 1945 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Sekretariat Jenderal MK, 2003)


MAKALAH
Asshidiqie, Jimly,“ Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan” (Disampaikan dalam Seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Kamis, 13 Juli, 2000).

Rusmana, Agus, Pengembangan Perpustakaan Sebagai Pendukung Pembangunan Masyarakat Berkualitas dan Produktif , Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional Bandung, 30 Agustus 2005


DATA PENELITIAN

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di Bidang Peradilan, Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 10 Januari 2003


INTERNET

http://www.reformasihukum.org/ kajian/ Reformasi% 20 Kebebasan %20Kekuasaan %20 Kehakiman. doc, diakses pada tanggal 31 Juli 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan, diakses pada tanggal 16 Agustus 2008

INILAH.COM - Jimly Asshiddiqie Mulailah Peradilan Modern dengan Enlightened Judges.htm, diakses pada tanggal 31 Juli 2008

http://tumoutou.net/STRAT_PSDM.htm#_ftn2, diakses pada tanggal 16 Agustus 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_manusia, diakses pada tanggal 16 Agustus 2008

http://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/27112007130711_Artikel_Pendidikan__.rtf -, diakses tgl 16 Agustus 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi, diakses pada tanggal 15 Agustus 2008

http://www.reformasihukum.org/ kajian/ Reformasi% 20 Kebebasan %20Kekuasaan %20 Kehakiman. doc, diakses pada tanggal 31 Juli 2008

http://www.law.ui.ac.id/lama/telematika/index.htm, diakses pada tanggal 16 Agustus 2008

http://www.badilag.net, diakses tgl 16 Agustus 2008

http://id.wikipedia.org/wiki/Feodal, diakses tgl 16 Agustus 2008

Tidak ada komentar: