Selasa, 07 April 2009

BUKTI DAN PEMBUKTIAN DALAM PENGUJIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Oleh
TEGUH SATYA BHAKTI, SH., MH



Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”
“Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari maka bersaksilah.
(Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah.”
(Riwayat Imam Baihaki dalam sebuah hadits dengan isnad shahih dari Nabi Saw)



A. PENDAHULUAN

Bukti atau pembuktian menurut bahasa adalah perbuatan membuktikan sesuatu hal (peristiwa, dsb) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa, dsb). Jadi yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan/perkara.

Bukti dan pembuktian merupakan salah satu tahapan dalam proses beracara di pengadilan yang berfungsi sebagai media bagi hakim untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya diantara pihak yang berperkara. Hubungan hukum ini selanjutnya harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang Pengadilan oleh para pihak.

Pada tahap pembuktian ini, kepada para pihak diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan bukti-bukti untuk dapat mendukung dalil-dalil gugatan atau dalil sangkalan/bantahannya. Kepastian akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara.

Sehubungan dengan pembuktian ini, hakim diwajibkan harus mengindahkan aturan-aturan yang merupakan hukum pembuktian dalam menilai suatu bukti. Berkaitan dengan ini, Sudikno Mertokusumo, berpendapat, bahwa pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di persidangan”.

Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan dianggap selesai dan para pihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan putusannya. Sehubungan dengan hal tersebut maka bagian yang terpenting dan utama bagi hakim sebelum menjatuhkan putusan dalam hal mengadili suatu perkara adalah fakta hukum atau peristiwa hukum dan bukan hukumnya. Peraturan hukum hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwa hukum yang menyebabkan terjadinya persengketaan/perkara diantara para pihak.

Secara yuridis, setiap putusan itu harus dianggap benar sebelum ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi (asas res judicata pro veritate habetur). Dengan demikian Hakim agar dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa dengan setepat-tepatnya harus terlebih dahulu mengetahui secara objektif tentang duduk perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan bukan secara a priori menemukan putusannya sedang pertimbangannya baru dikonstruir. Hal ini disebabkan oleh karena Putusan Pengadilan adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Bukti dan Pembuktian yang diajukan para pihak dimuka persidangan adalah merupakan pondasi bagi hakim untuk menjatuhkan putusan yang baik dan ideal. Dengan demikian hakim wajib menilai bukti sesuai dengan kaedah-kaedah hukum yang telah diatur didalam kitab-kitab hukum dan perundang-undangan. Selain itu hakim juga harus mendengar hati nuraninya sendiri sebelum memutus perkara, sebelum diktumnya menghancurkan nasib anak manusia, sebelum putusannya menenggelamkan harapan sekelompok masyarakat. Semua atas nama keadilan, ketertiban, dan supremasi hukum, bahkan atas nama Tuhan Yang Maha Esa.

Putusan hakim yang baik dan ideal ini terkadang melahirkan sesuatu hal yang positif dimana masing-masing pihak baik penggugat maupun tergugat menerima putusan tersebut dengan senang hati dan bahkan tidak jarang pula mereka tidak menggunakan upaya hukum selanjutnya (banding maupun kasasi). Putusan semacam ini penting sekali, terutama untuk menguatkan citra kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding) lembaga peradilan dalam memberikan keadilan kepada pencari keadilan (justiciable), yang pada akhinya nanti secara berangsur-angsur akan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat akan kinerja fungsionaris pengadilan.


B. TEORI-TEORI TENTANG PENILAIAN PEMBUKTIAN

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus tetap dinilai oleh hakim. Untuk menilai pembuktian tersebut, hakim dapat bertindak bebas atau diikat oleh undang-undang:

1. hakim dapat bertindak bebas (contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, ini berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)),

2. hakim diikat oleh undang-undang (contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)).

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :

a. Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.

b. Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)

c. Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).


C. TEORI-TEORI TENTANG BEBAN PEMBUKTIAN

Asas pembagian beban pembuktian tercantum dalam pasal 163 HIR (pasal 283 Rbg, 1865 BW) yang berbunyi: “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.

Ketentuan diatas memiliki makna bahwa kedua belah pihak, baik penggugat maupun para tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukannya ia harus dikalahkan. Sedang kalau tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya ia harus pula dikalahkan. Jika kalau salah satu pihak dibebani dengan pembuktian dan ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan dikalahkan (risiko pembuktian). Pada hakekatnya hal ini tidak lain untuk memenuhi syarat keadilan, agar risiko dalam beban pembuktian itu tidak berat sebelah.

Oleh karena itu pembagian harus sangat berhati-hati dalam pembagian beban pembuktian.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)

Menurut teori pembuktian ini, siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hukum dari pada teori ini ialah pendapat bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan. Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar dari suatu hak, sekalipun pembuktiannya mungkin, hal ini tidaklah penting dan oleh karena itu tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori bloot affirmantief ini sekarang telah ditinggalkan

2. Teori hukum subyektif

Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan semuanya. Untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan dibedakan antara peristiwa-peristiwa umum dan peristiwa-peristiwa khusus. Yang terakhir ini dibagi lebih lanjut menjadi peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak (rechtserzeugende tatsachen), peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi timbulnya hak (rechshindernde tatschen) dan peritiwa khusus yang bersifat membatalkan hak (rechtsvernichtende tatschen). Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi dan yang bersifat membatalkan.

Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan penggugat didasarkan atas hukum subyektif. teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat prosesuil. Di dalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidakadilan. Hal ini diatasi dengan memberi kelonggaran kepada hakim untuk mengadakan pengalihan beban pembuktian.

3. Teori hukum obyektif;

Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap persitiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran dari pada peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut. siapa yang misalnya harus mengemukakan adanya suatu persetujuan harus mencari dalam undang-undang (hukum obyektif) apa syarat-syarat sahnya persetujuan (pasal 1320 BW) dan kemudian memberi pembuktiannya. Ia tidak perlu misalnya membuktikan adanya cacat dalam persesuaian kehendak, sebab hal itu tidak disebutkan dalam pasal 1320 BW. Tentang adanya cacat ini harus dibuktikan oleh pihak lawan.

Hakim yang tugasnya menerapkan hukum obyektif pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak hanya dapat mengabulkan gugatan apabila unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum obyektif ada. Jadi atas dasar ini hukum obyektif yang diterapkan dapat ditentukan pembagian beban pembuktian.

Teori ini sudah tentu tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh undang-undang. Selanjutnya teori ini bersifat formalistis.

4. Teori hukum publik.

Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.

5. Teori hukum acara. Azas audi et alteram partem atau juga azas kedudukan prosesuil yang sama dari pada pihak dimuka hakim merupakan azas pembagian beban pembuktian

Menurut teori ini, hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Oleh karena itu hakim harus membebani pada pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.


D. ASAS PEMBUKTIAN BEBAS (VRIJ BEWIJS) YANG MELANDASI SISTEM PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA.

Ada 4 (empat) aspek dalam asas pembuktian bebas (Vrij Bewijs) ini di dalam hukum acara Peradilan TUN, yakni:
1. Dalam melakukan pembuktian hakim tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak (aspek luas pembuktian (bewijsomvang));
2. Hakim yang menetapkan beban pembuktian (aspek pembagian beban pembuktian (bewijslastverdeling));
3. Tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam memilih alat-alat bukti (aspek alat-alat bukti (bewijsmiddelen));
4. Penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim (aspek penilaian- penghargaan pembuktian (bewijswaarderng)).

Ad.1. Dalam melakukan pembuktian hakim tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak (aspek luas pembuktian (bewijsomvang));

Pada pemeriksaan sengketa TUN, yang menjadi pusat perhatian adalah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) yang digugat. Disini hakim Pengadilan TUN meneliti apakah Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) pada waktu menerbitkan KTUN itu bertolak pada fakta yang benar–relevan atau tidak. Hakim Pengadilan TUN bertanggungjawab sendiri dalam memilih, memilah dan menentukan apakah KTUN yang digugat itu rechmatig atau onrechmatig, terutama mengenai fakta yang oleh hakim sendiri dianggapnya vital untuk putusannya. Meskipun para pihak tidak mengungkapkan fakta yang berkaitan dengan masalah kewenangan dari Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN, Majelis Hakim berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan (yang justru tidak dikemukakan para pihak) dapat menunjukkan ketidakwenangan Pejabat TUN untuk menerbitkan KTUN yang disengketakan.


Ad.2. Hakim yang menetapkan beban pembuktian (aspek pembagian beban pembuktian (bewijslastverdeling));

Berbeda dengan ketentuan hukum acara perdata berdasarkan Pasal 1865 BW jo. Pasal 163 HIR dan 283 R.Bg tentang beban pembuktian yang mendalilkan bahwa siapa yang menggugat, dialah yang membuktikan. Maka, bertumpu pada aspek bewijslastverdeling dari asas pembuktian bebas, Hakim Pengadilan TUN tidak boleh menolak suatu gugatan atas dalih penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya.

Pembagian beban pembuktian oleh Majelis Hakim Pengadilan TUN adalah dengan cara menentukan kepada pihak Penggugat harus dibebankan pembuktian tentang dalil-dalil yang dibantah oleh Tergugat (Badan atau Pejabat TUN), dan sebaliknya kepada Tergugat (Badan atau Pejabat TUN) akan dibebankan pembuktian bahwa KTUN yang diterbitkan adalah sah dan berdasarkan undang-undang.

Ad.3. Tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam memilih alat-alat bukti (aspek alat-alat bukti (bewijsmiddelen));

Secara teoritis, terdapat pembagian KTUN menjadi 2 (dua), yaitu:
1. KTUN terikat (gebonden beschikking) dan
2. KTUN bebas (vrije beschikking).

KTUN terikat (gebonden beschikking), pada dasarnya hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya suatu ruang kebebasan bagi Pejabat yang yang bersangkutan menginterprestasikannya. Sedangkan KTUN bebas (vrije beschikking) didasarkan pada suatu kebebasan bertindak yang lazimnya dikenal dengan asas fries ermessen (discretionary power). Ada 2 (dua) macam kebebasan ini, yakni:
1. Kebebasan kebijaksanaan, yaitu kebebasan bertindak dalam arti kebebasan untuk memutus secara mandiri.
2. Kebebasan interpretasi, yaitu kebebasan Badan atau Pejabat TUN untuk menginterpretasikannya.

Terhadap kedua jenis KTUN diatas dapat dilakukan pengujian apakah suatu KTUN itu rechmatig atau onrechmatig. KTUN terikat (gebonden beschikking) diuji melalui hukum tertulis (peraturan perundang-undangan). Sedangkan KTUN bebas tidak cukup diuji dengan hukum tertulis saja, melainkan juga dengan hukum tidak tertulis yang berupa AAUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik)

Tolok ukur pengujian KTUN terikat (gebonden beschikking) melalui hukum tertulis oleh hakim Pengadilan TUN didasarkan pada pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986, yang berbunyi:
Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986:

(1) Alat bukti ialah :
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan Hakim.

(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Sedangkan dasar hukum kewenangan Hakim Pengadilan TUN untuk menerapkan AAUPB untuk menguji KTUN bebas (vrije beschikking) yang digugat adalah ialah Pasal 16 Ayat (1) jo. Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. JUKLAK Mahkamah Agung No. 052/Td/TUN/III/1992 tanggal 24 maret 1992, pada butir V Tentang Diktum putusan angka 1.

Pasal 16 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, berbunyi:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Ketentuan demikian dalam hukum dikenal dengan asas Ius Curia Novit, yang berarti pengadilan (hakim) tahu hukum. Selajutnya Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, berbunyi:
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penjelasannya:

Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Butir V Tentang Diktum putusan angka 1 JUKLAK Mahkamah Agung No. 052/Td/TUN/III/1992 tanggal 24 maret 1992, berbunyi:

Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagai alasan pembatalan penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam diktum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan asas mana dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang dilanggar dan akhirnya mengacu pada pasal 53 Ayat (2).

Dalam Pasal 53 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tidak dicantumkan secara tegas adanya AAUPB sebagai dasar pembatalan KTUN, namun didalam undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang baru yaitu UU No. 9 tahun 2004, AAUPB dijabarkan dalam Penjelasan pasal 53 Ayat (2) yang selengkapnya berbunyi:

(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Penjelasannya:
Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas:
- kepastian hukum;
- tertib penyelenggaraan negara;
- keterbukaan;
- proporsionalitas;
- profesionalitas;
- akuntabilitas,

Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Ketentuan inipun tidak membatasi hakim untuk terus merumuskan dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Oleh karena itu ia harus terus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan serta kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.




















Ad.4. Penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim (aspek penilaian- penghargaan pembuktian (bewijswaarderng)).

Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 menegaskan:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Kata “…untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim” diatas menimbulkan pemahaman sebagai berikut:
- pertama, untuk memperoleh suatu kebenaran materiil, diperlukan dua alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh Undang-undang (vide Pasal 100 UU No. 5 tahun 1986); syarat ini secara teoritis disebut syarat wettelijk.
- Kedua, biarpun bertumpuk-tumpuk alat bukti, belum cukup untuk memaksa hakim menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi diperlukan keyakinan hakim. Syarat ini secara teoritis disebut syarat negatief wettelijk.

Apabila pemahaman pertama yang digunakan oleh hakim Pengadilan TUN, yakni adanya dua alat bukti yang sah yang ditetapkan dalam undang-undang (vide Pasal 100 UU No. 5 tahun 1986), akan tetapi hakim tidak (belum) yakin, maka kebenaran yang diperoleh hanyalah kebenaran formal (formeele waarheid) sehingga mengakibatkan gugatan ditolak.

Apabila pemahaman kedua yang digunakan oleh Hakim Pengadilan TUN, yakni hakim yakin akan kebenaran dalil penggugat, akan tetapi tidak ada bukti yang diajukan atau alat bukti yang diajukan tidak mencukupi, maka gugatan demikian juga akan ditolak, karena jika dikabulkan akan melahirkan putusan yang bertentangan dengan syarat minimum pembuktian.

Berdasarkan kedua pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwa Keyakinan Hakim adalah merupakan alat bukti yang paling kuat diantara alat bukti yang ada. Keyakinan Hakim semakin penting artinya untuk menguji sebuah KTUN, karena untuk mengukur rechmatigheid sebuah KTUN bebas (Vrije Beschikking), Keyakinan Hakim akan dibangun berdasarkan AAUPB.

Sedangkan untuk KTUN terikat (gebonden beschikking), Keyakinan Hakim harus dipahami sebagai suatu nalar hukum (legal reasoning) sebab untuk menguji sah atau tidaknya KTUN terikat harus diukur dengan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan).

Sikap yang ditempuh oleh Hakim Pengadilan TUN tersebut selaras dengan makna asas Pembuktian Bebas. Manifestasi dari perpaduan pemahaman diatas terakomodir didalam Pasal 80 UU No. 5 Tahun 1986, inti dari pasal ini adalah keaktifan hakim dalam rangka mencari alat bukti untuk memperhalus keyakinannya. Pasal 80 UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi:

Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.


E. ALAT-ALAT BUKTI MENURUT PASAL 100 AYAT (1) UU NO. 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Untuk membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa diperlukan alat bukti. Alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam Peradilan TUN termuat di dalam Pasal 100 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yakni:
a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan ahli;
c. Keterangan saksi;
d. Pengakuan para pihak;
e. Pengetahuan hakim

1. Surat atau tulisan;

Alat bukti surat atau tulisan adalah : “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”.

Pasal 101 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan surat sebagai alat bukti terdiri atas (3) tiga jenis, yaitu:
a. Akta Otentik, yaitu Surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
c. Surat-surat lainnya yang bukan akta.

Dalam persidangan, pihak yang bersengketa dapat mengajukan bukti surat untuk menguatkan peristiwa sebagai dasar haknya atau sebagai dasar sangkalan terhadap hak lawannya. Kemudian, secara timbal balik pihak yang bersengketa berhak untuk minta diperlihatkan bukti-bukti surat yang digunakan dalam persidangan. Bilamana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila surat-surat yang berada dalam simpanan pejabat umum, maka hakim memerintahkan agar pejabat tersebut menyerahkan surat-surat diperlukan itu dalam sidang. Selanjutnya apabila ternyata pejabat yang bersangkutan tanpa alasan yang sah tidak memenuhi kewajibannya, maka hakim atas permohonan pihak yang bersengketa, atas dasar kewibawaan yang formal (the formele gezaagverhouding) jabatannya dapat memerintahkan pejabat tersebut memenuhi kewajibannya.

Akta otentik ada dua macam, yaitu :
a. Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)
b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)























Dalam hukum pembuktian akta otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna bagi pihak yang namanya tercantum dalam akta itu, para ahli warisnya, dan semua orang yang mendapat hak darinya tentang segala sesuatu yang tercantum dalam akta otentik itu. Selain itu, akta otentik juga mempunyai kekuatan bukti yang sempurna tentang semua keterangan yang berkaitan erat dengan peristiwa hukum dalam akta tersebut. Penilaian kekuatan pembuktian tentang isi suatu akta otentik terhadap pihak ke-3 (ketiga) yang tidak mempunyai kaitan dengan akta otentik itu, diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.

Selain akta otentik, dalam pembuktian dikenal pula adanya akta dibawah tangan. Suatu akta dibawah tangan yang tanda tangannya secara tegas diakui oleh pihak terhadap siapa akta tersebut dipergunakan sebagai bukti, mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan akta otentik bagi pihak-pihak yang menandatangani akta tersebut, para ahli warisnya dan semua orang yang mendapat hak darinya.

Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya. Tindasan, fotocopy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan, fotocopy, dan salinan akta itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan. Tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.

2. Keterangan ahli;

Tentang saksi ahli diatur dalam Pasal 102 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Ayat (2): Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli.

Selanjutnya Pasal 103 UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi:

Ayat (1): Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli.
Ayat (2): Seseorang ahli dalam persidangan harus memberikan keterangan baik dengan surat maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan yang sebaik-baiknya.

Adakalanya suatu peristiwa itu kurang jelas persoalannya. Untuk menjelaskan agar suatu peristiwa agar menjadi lebih terang atau jelas, atas permintaan yang bersengketa atau karena jabatannya, hakim dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk didengar keterangannya baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103 UPTUN). Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli. Penilaian keterangan ahli diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.

3. Keterangan saksi;

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.

Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di dengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 UPTUN sebagai berikut :
  1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa
  2. Isteri atau salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah cerai.
  3. Anak yang belum berusia 17 tahun.
  4. Orang sakit ingatan
Orang yang dapat minta mengundurkan diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian (Pasal 89 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986) adalah:

Ayat (1):
a. Saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki atau perempuan salah satu pihak.
b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.

Ayat (2):
Ada atau tidak adanya dasar kewajibannya untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan hakim.

Cara mengajukan pertanyaan kepada saksi:
Pasal 90 UU No. 5 Tahun 1986 mengatur sebagai berikut:
Ayat (1): Pertanyaan diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui hakim ketua sidang.
Ayat (2): Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan hakim ketua sidang tidak ada kaitannya dengan sengketa pertanyaan itu ditolak.

Hal-hal penting mengenai saksi antara lain:
(a). Pasal 91 UU No. 5 Tahun 1986

Ayat (1): Apabila Penggugat atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim ketua sidang dapat mengangkat ahli alih bahasa.

Ayat (2): Sebelum melaksanakan tugasnya ahli alih bahasa tersebut wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan untuk mengalihkan bahasa yang dipahami oleh Penggugat atau saksi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan sebaik-baiknya.

Ayat (3): orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut.

(b). Pasal 92 UU No. 5 Tahun 1986

Ayat (1): Dalam hal Penggugat atau saksi bisu, dan atau tuli dan tidak dapat menulis hakim ketua sidang dapat mengangkat orang yang pandai bergaul dengan penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.

Ayat (2): Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan.

Ayat (3): Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan atau tuli tetapi pandai menulis, hakim ketua sidang dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan tersebut kepada penggugat atau saksi tersebut dengan perintah agar ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan.

(c). Pasal 93 UU No. 5 Tahun 1986

Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di persidangan.

(d). Pasal 94 UU No. 5 Tahun 1986

Ayat (1): Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan didengar dalam persidangan pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.

Ayat (2): Apabila yang bersangkutan telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat didengar keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersangkutan.

Ayat (3): Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir dipersidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hakim, hakim dibantu oleh panitera datang ketempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar saksi tersebut.

(e). Pasal 104 UU No. 5 Tahun 1986
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri.

Alat bukti saksi ini digunakan untuk mempertahankan kebenaran gugatan penggugat atau untuk menguatkan kebenaran bantahan yang diajukan oleh tergugat di muka persidangan. Saksi yang didengar dalam persidangan dapat terjadi atas permintaan salah satu pihak (Penggugat atau tergugat) atau atas perintah hakim karena jabatannya. Setelah dipanggil dengan patut, ternyata saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan hakim mempunyai alasan yang cukup untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar saksi dibawa ke persidangan dengan bantuan polisi.

Dari ketentuan ini tampak bahwa menjadi saksi merupakan salah satu kewajiban hukum bagi setiap orang. Ketentuan ini juga merupakan upaya pemaksa agar saksi yang diperlukan tidak memandang remeh kepada pengadilan.

Untuk kepentingan kesaksian, tak seorangpun boleh dipaksa hadir ke persidangan, jika ia bertempat tinggal di luar wilayah hukum pengadilan yang sedang memeriksa perkara. Apabila saksi yang demikian ini telah dipanggil tetapi tidak memenuhi panggilan pengadilan, maka ia tidak boleh dihukum. Jika kesaksian seperti ini memang diperlukan, untuk mendengar keterangannya pengadilan yang bersangkutan dapat melimpahkan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi. Sesudah mendengar keterangan saksi, pengadilan yang menerima limpahan yang menyampaikan berita acara pendengaran saksi itu kepada pengadilan yang melimpahkannya.

Dalam memberikan keterangan tentang suatu peristiwa, seorang saksi harus menjelaskan sumber pengetahuannya, waktu terjadinya dan menerangkan sejelas mungkin isinya. Kesimpulan atau pendapat sebagai hasil pemikiran dari saksi sendiri bukan merupakan kesaksian.

Dalam menilai suatu kesaksian, Wicipto Setiadi berpendapat, bahwa hakim hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. alasan-alasan saksi untuk memberikan keterangan;
b. perikehidupan, kedudukan, dan martabat saksi dalam masyarakat setempat dan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi saksi dalam memberikan keterangan;
c. kesesuaian antara kesaksian yang satu dengan kesaksian yang lainnya;
d. kesesuaian kesaksian dengan suatu alat bukti lainnya yang diajukan dalam perkara itu.

Penilaian kekuatan bukti keterangan seorang saksi mengenai suatu peristiwa yang didengarnya dari orang lain, diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.

Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya, adalah:
























4. Pengakuan para pihak;

Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.

Dalam hukum acara perdata Pasal 174 dan 175 HIR dikenal 2 (dua) macam pengakuan, yakni pengakuan yang diberikan di depan persidangan dan pengakuan yang diberikan diluar persidangan. Yang membedakan kedua macam pengakuan ini adalah nilai pembuktiannya.

Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu adalah benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan seperti ini tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dapat diterima oleh hakim sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 105 UU No. 5 Tahun 1986.

“pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dapat diterima oleh hakim”

Pengakuan yang diberikan diluar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan perkataan lain, pengakuan yang diberikan di luar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut. Atau bisa juga hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja.
Hakim dalam menerima dan menilai suatu pengakuan harus secara keseluruhan. Hakim tidak boleh memisahkan pengakuan dari keterangan pembelaan yang menyertainya agar tidak merugikan pihak yang memberikan pengakuan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pihak yang jujur, yang secara terus terang mengungkapkan dengan sebenarnya segala sesuatu yang telah terjadi.

5. Pengetahuan Hakim

Pasal 106 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pengetahuan hakim adalah hal yang diketahui dan diyakini kebenarannya. Melihat pada pengertian ini, maka pengetahuan hakim ini bisa juga diartikan sebagai apa yang dilihat oleh hakim dalam persidangan.

Mengenai pengelihatan hakim ini, ada yurisprudensi yang memperkuat bahwa pengelihatan hakim ini merupakan alat bukti. Yurisprudensi tersebut terdapat dalam Putusan Mahkamah

Agung tanggal 10 April 1957 Reg. No. 213 K/Sip/1955, yang antara lain menyatakan:
“Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 Ayat (1) bersambung dengan Pasal 164 HIR tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang ahli, sedang pengelihatan hakim pada suatu tanda tangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di dalam usaha pembuktian”

Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan Pengetahuan Hakim adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang Penggugat yang dirusak oleh Tergugat dan seberapa jauh kerusakannya itu.

Pedoman hakim dalam pembuktian telah diatur dalam Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Hal ini dimaksudkan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam hukum acara perdata maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa tergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri:
a. Apa yang harus dibuktikan;
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri;
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian;
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hadjon, Philipus M, et.,al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administratif Law), (Cet. Ketiga, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1994)

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:Liberty, 1988.

Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982)

Surowidjojo, Arief T, Hukum, Demokrasi, dan Etika Lentera Menuju Perubahan, (Jakarta : Masyarakat Transparansi Indonesia, 2003)

Sutantio, Retno Wulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju: Bandung, 1995

Wijoyo, Suparto, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, (Surabaya: Airlangga University Press, 1997

MAKALAH/JURNAL

Perhimpunan Ahli Hukum Indonesia, Majalah Hukum, 1958, No.1-2,

TESIS

Setiadi, Wicipto, Hukum Acara Pengadilan Administrasi Negara Tingkat Pertama, Tesis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.1991

PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, KUH Perdata
Indonesia, Undang-Undang No.5 Yahun 1986 Undang-Undang No.9 Yahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang No.5 Yahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Indonesia, Undang-undang nomor 14 Tahun 1970 Jo. Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
SEMA No. 2 Tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN

INTERNET

www.santoslolowang.com, Suatu Tinjauan Tentang Hukum Pembuktian Dengan Pengakuan, diakses pada tanggal 1 Maret 2009

Tidak ada komentar: