Jumat, 04 September 2009

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PERKEMBANGAN PRAKTEK PENGADILAN MENGENAI KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI OBJEK GUGATAN

Oleh:
Prof Dr Paulus Effendi Lotulung, SH

(Ketua Muda Bidang Peradilan Tata Usaha Negara
di Mahkamah Agung R.I)
*


Perkembangan praktek peradilan mengenai KTUN sebagai objek gugatan di Pengadilan TUN yang dalam beberapa tahun terakhir ini marak digugat, yaitu berupa produk-produk hukum berupa Surat Keputusan, dimana Pejabat yang menerbitkannya secara formal berada di luar lingkup Tata Usaha Negara, tetapi substansinya merupakan urusan pemerintahan, misalnya: Surat-surat Keputusan Ketua DPRD mengenai penentuan bakal calon Bupati, Walikota, dan sebagainya, ataupun juga Surat-surat Keputusan Ketua Partai Politik, dan sebagainya.

Demikian juga, ada gugatan-gugatan yang objek gugatannya berupa surat-surat Keputusan Pejabat TUN yang diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada di luar urusan pemerintahan (eksekutif), misalnya: dibidang ketatanegaraan, atau berkaitan dengan bidang politik. Selain itu ada keputusan-keputusan TUN yang menimbulkan titik singgung dengan aspek hukum perdata dalam tugas dan fungsi pemerintahan. Bagaimanakah pembagian kompetensi mengadilinya?

Kompetensi absolut Peradilan TUN diatur di dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat Konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 Angka (3) di atas dapat dipahami bahwa suatu KTUN adalah produk yang diterbitkan oleh Pejabat TUN (atau Jabatan TUN) berdasarkan wewenang yang ada padanya (atributie) atau diberikan padanya dalam bidang urusan pemerintah (delegatie). Selanjutnya apa yang dimaksud dengan “urusan pemerintah”?

Penjelasan Pasal 1 Angka (1) menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” ialah “kegiatan yang bersifat eksekutif”. Dengan demikian, tidaklah termasuk di dalamnya kegiatan yang bersifat legislatif dan yudikatif (jika bertitik tolak pada teori trias polika Montesquieu dalam ketatanegaraan mengenai pembidangan kekuasaan Negara).

Salah satu kata kunci yang penting dalam suatu KTUN adalah adanya “wewenang” atau “kewenangan” yang selalu harus ada dan yang menjadi dasar berpijak bagi Pejabat TUN untuk dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dan khususnya dalam hal ini adalah menerbitkan keputusan-keputusan TUN sebagai salah satu instrumen yuridis dalam menjalankan pemerintahan. Wewenang dalam menjalankan urusan pemerintahan tersebut dapat dilakukan melalui perbuatan atau tindakan yang bersifat atau menurut hukum publik, maupun yang bersifat atau menurut hukum privat.

Salah satu ciri yang terpenting dalam penerapan wewenang menurut hukum publik tersebut (terutama dalam menerbitkan Keputusan-keputusan TUN) adalah bahwa penerapan wewenang yang demikian itu membawa akibat atau konsekuensi hukum, yaitu lahirnya hak dan kewajiban yang bersifat hukum publik bagi warga masyarakat yang bersangkutan, kewenangan mana dapat dipaksakan secara sepihak (bersifat unilateral). Pada dasarnya wewenang hukum publik dikaitkan selalu pada jabatan publik yang merupakan organ pemerintahan (bestuurs orgaan) dan menjalankan wewenangnya dalam fungsi pemerintahan, yang dalam segala tindakannya selalu dilakukannya demi kepentingan umum atau pelayanan umum (public service). Pada organ pemerintahan yang demikian, melekat pula sifatnya sebagai pejabat umum (openbaar gezag). Pasal Angka (2) UU No. 5 Tahun 1986 merumuskan Badan atau Pejabat (jabatan) TUN secara sangat umum, yaitu bahwa:

Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rumusan di atas sedemikian luasnya, sehingga Indroharto mengatakan bahwa: “Apa saja dan siapa saja yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, pada suatu saat melaksanakan suatu urusan pemerintahan, maka menurut undang-undang ini ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN”.

Berdasarkan pendapat Indroharto tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pegangan dan ukuran bukannya kedudukan struktural/organisatoris dari organ atau pejabat yang bersangkutan dalam struktur atau susunan pemerintahan, tetapi ditekankan pada fungsinya yang dilaksanakannya pada waktu itu, yaitu fungsi pemerintahan. Apabila pada saat itu yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang memberikan wewenang kepadanya, maka pada saat itu ia termasuk termasuk Pejabat TUN (sekalipun secara struktural/organisatoris ia bukan termasuk dalam jajaran pemerintahan/eksekutif) sehingga dapat digugat di Pengadilan TUN.

Pandangan demikian sejalan pula dengan pendapat Prof. Mr. Nicolai di Nederland yang dalam uraiannya dalam bukunya Bestuursrecht tentang pengertian “orgaan pemerintah” yang terkandung dalan AWB (Algemen wet Bestuursrecht) mengatakan bahwa pembuat Undang-undang AWB bermaksud melalui kategori yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1a memperluas pengertian orgaan pemerintah (bestuurs orgaan), sehingga meliputi juga instansi-instansi lain yang sebetulnya secara struktural tidak masuk dalam kategori orgaan pemerintah, tetapi yang pada saat tertentu menjalankan fungsi pemerintah/eksekutif.

Dalam beberapa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia dapat dilihat juga perkembangan ke arah tersebut, dimana pengertian urusan pemerintahan dilihat lebih pada aspek fungsinya, bukan semata-mata pada aspek struktural organisasi atau segi formalmya. Tetapi sekalipun demikian tidak boleh dilupakan bahwa bagaimanapun juga harus ada peraturan sebagai landasan kewenangan untuk bertindak dalam urusan atau fungsi pemerintahan tersebut, hal mana dinyatakan pada persyaratan “berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (asas legalitas), sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka (2) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Permasalah kedua adalah, berkaitan dengan pemisahan antara Hukum Tata Negara (HTN) dengan Hukum Tata Usaha Negara (HAN). Walaupun kedua disiplin ilmu hukum tersebut termasuk dalam disiplin ilmu hukum publik tetapi masih selalu dipersoalkan. Secara konkrit selalu dipertanyakan adalah apakah misalnya Keputusan Presiden yang diterbitkan dalam kapasitas sebagai Kepala Negara dapat digugat di Pengadilan TUN? Pertanyaan tersebut timbul oleh karena dalam berbagai Undang-undang sering dijumpai rumusan “Presiden sebagai Kepala Negara… dst.” Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan lagi seperti, misalnya: dimanakah batasnya antara Keputusan Presiden selaku Kepala Negara dengan Keputusan Presiden selaku Kepala Pemerintahan, yang merupakan Pejabat TUN yang paling tinggi? Dan apakah batas tersebut perlu ada serta diperhatikan, untuk menentukan dapat tidaknya menjadi objek gugatan di Pengadilan TUN?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul oleh karena dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 secara tegas dan eksplisit disebutkan bahwa KTUN berisi tindakan Tata Usaha Negara (tidak disebutkan “berisi tindakan hukum publik). sebaliknya apabila di dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang AWB di Nederland dirumuskan sebagai “publiek rechttelijke rechhandeling” (tindakan hukum publik).

Apabila ditinjau dari sistem hukum kita yang berlaku sekarang, dalam perumusan diberbagai perundang-undangan, kedua kedudukan Presiden tersebut tampak dibedakan yaitu kedudukan sebagai Kepala Negara dan kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif atau Tata Usaha Negara), tetapi secara fisik keduanya dilaksanakan oleh pribadi yang sama. Sehingga karenanya dibedakan pula antara kapan dan dalam hal apa Presiden bertindak sebagai Kepala Negara di satu pihak, dan sebagai Kepala Pemerintahan di lain pihak. Dengan demikian lalu ditinjau kewenangan-kewenangan mana yang diturunkan (derivatif) dari segi hukum ketatanegaraan dan yang dari segi hukum ketata-usahanegaraan/hukum administrasi. Hal-hal tersebut harus juga dilihat dalam kasus demi kasus (secara kasuistis).

Persoalan Ketiga adalah titik singgung antara hukum privat dan hukum publik. Dalam soal titik singgung antara hukum privat dan hukum publik. Dalam soal titik singgung antara hukum publik dan hukum privat sebagai instrumen yuridis dalam tindakan-tindakan hukum pemerintahan, hendaknya dipahami dan diingat kembali bahwa penggunaan wewenang pemerintahan oleh organ-organ pemerintah dapat pula didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum privat. Dalam hal ini dikaitkan dengan surat-surat KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, yang diperkecualikan dari kompetensi atau yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara seperti yang tertuang dalam Pasal 2 butir (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 2 butir (1) UU No. 9 Tahun 2004, yang berbunyi:

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:

(1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata

Jadi tidak cukuplah bahwa organ tersebut secara faktual menjalankan urusan pemerintahan, tetapi harus jelas peraturan perundang-undangan yang mana yang memberikan kewenangan menjalankan urusan pemerintahan tersebut kepadanya. Hal ini harus lebih diteliti oleh Hakim.

Secara kasuistis harus ditinjau dengan cermat, apakah hukum privat ataukah hukum publik yang lebih dominan didalam penggunaan wewenang oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Sebagai titik tolak masih selalu dipakai ukuran dan pegangan bahwa manakala pemerintah melalui organnya bertindak atau melakukan tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh setiap orang berdasarkan ketentuan-ketentuan perdata, atau dikatakan dianggap sebagai bertindak dalam garis yang sejajar (op een lijr) dengan warga masyarakat biasa, maka dalam hal demikian tindakannya bersifat keperdataan. Tapi sebaliknya, apabila tindakan-tindakan hukumnya didasarkan pada kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh ketentuan-ketentuan hukum publik, yang menunjukkan adanya kedudukan yang tidak sejajar dan unilateral dalam rangka pelayanan publik (publik service), maka dalam hal demikian menunjukkan adanya sifat penggunaan hukum publik. Pembedaan criteria tersebut diatas walaupun bersifat diametral tapi msih sangat relatif dan dalam setiap perkara harus dilihat secara kasuistis, dengan mendalami ciri-ciri prinsipil berbeda antara hukum privat dan hukum publik. Harus dapat dibedakan apakah suatu KTUN yang dihadapi adalah murni bersifat hukum publik ataukah murni bersifat penggunaan hukum privat sebagai instrumen yuridis, ataukah dapat diterapkan penggunaan “teori melebur” dalam hal penerapan hukum privat saling memasuki?

Bahkan dalam keadaan tertentu, pejabat mempunyai pilihan untuk memakai instrumen yuridis hukum publik ataukah hukum privat untuk menjalankan kewenangannya. Maka dalam hal demikian hakim diingatkan dan dihadapkan pada penerapan “Teori dua jalan” (twee wegenleer) dimana harus ditentukan melalui instrumen yuridis yang mana dan yang lebih tepat harus dilaksanakan kewenangan yang bersangkutan.

Perkembangan-perkembangan demikianlah yang sekarang ini mulai tampak setelah beropersionalnya Peradilan TUN.

*TULISAN TERSEBAR