Jumat, 04 September 2009

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PERKEMBANGAN PRAKTEK PENGADILAN MENGENAI KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI OBJEK GUGATAN

Oleh:
Prof Dr Paulus Effendi Lotulung, SH

(Ketua Muda Bidang Peradilan Tata Usaha Negara
di Mahkamah Agung R.I)
*


Perkembangan praktek peradilan mengenai KTUN sebagai objek gugatan di Pengadilan TUN yang dalam beberapa tahun terakhir ini marak digugat, yaitu berupa produk-produk hukum berupa Surat Keputusan, dimana Pejabat yang menerbitkannya secara formal berada di luar lingkup Tata Usaha Negara, tetapi substansinya merupakan urusan pemerintahan, misalnya: Surat-surat Keputusan Ketua DPRD mengenai penentuan bakal calon Bupati, Walikota, dan sebagainya, ataupun juga Surat-surat Keputusan Ketua Partai Politik, dan sebagainya.

Demikian juga, ada gugatan-gugatan yang objek gugatannya berupa surat-surat Keputusan Pejabat TUN yang diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada di luar urusan pemerintahan (eksekutif), misalnya: dibidang ketatanegaraan, atau berkaitan dengan bidang politik. Selain itu ada keputusan-keputusan TUN yang menimbulkan titik singgung dengan aspek hukum perdata dalam tugas dan fungsi pemerintahan. Bagaimanakah pembagian kompetensi mengadilinya?

Kompetensi absolut Peradilan TUN diatur di dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat Konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 Angka (3) di atas dapat dipahami bahwa suatu KTUN adalah produk yang diterbitkan oleh Pejabat TUN (atau Jabatan TUN) berdasarkan wewenang yang ada padanya (atributie) atau diberikan padanya dalam bidang urusan pemerintah (delegatie). Selanjutnya apa yang dimaksud dengan “urusan pemerintah”?

Penjelasan Pasal 1 Angka (1) menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” ialah “kegiatan yang bersifat eksekutif”. Dengan demikian, tidaklah termasuk di dalamnya kegiatan yang bersifat legislatif dan yudikatif (jika bertitik tolak pada teori trias polika Montesquieu dalam ketatanegaraan mengenai pembidangan kekuasaan Negara).

Salah satu kata kunci yang penting dalam suatu KTUN adalah adanya “wewenang” atau “kewenangan” yang selalu harus ada dan yang menjadi dasar berpijak bagi Pejabat TUN untuk dapat melakukan tindakan-tindakan hukum dan khususnya dalam hal ini adalah menerbitkan keputusan-keputusan TUN sebagai salah satu instrumen yuridis dalam menjalankan pemerintahan. Wewenang dalam menjalankan urusan pemerintahan tersebut dapat dilakukan melalui perbuatan atau tindakan yang bersifat atau menurut hukum publik, maupun yang bersifat atau menurut hukum privat.

Salah satu ciri yang terpenting dalam penerapan wewenang menurut hukum publik tersebut (terutama dalam menerbitkan Keputusan-keputusan TUN) adalah bahwa penerapan wewenang yang demikian itu membawa akibat atau konsekuensi hukum, yaitu lahirnya hak dan kewajiban yang bersifat hukum publik bagi warga masyarakat yang bersangkutan, kewenangan mana dapat dipaksakan secara sepihak (bersifat unilateral). Pada dasarnya wewenang hukum publik dikaitkan selalu pada jabatan publik yang merupakan organ pemerintahan (bestuurs orgaan) dan menjalankan wewenangnya dalam fungsi pemerintahan, yang dalam segala tindakannya selalu dilakukannya demi kepentingan umum atau pelayanan umum (public service). Pada organ pemerintahan yang demikian, melekat pula sifatnya sebagai pejabat umum (openbaar gezag). Pasal Angka (2) UU No. 5 Tahun 1986 merumuskan Badan atau Pejabat (jabatan) TUN secara sangat umum, yaitu bahwa:

Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rumusan di atas sedemikian luasnya, sehingga Indroharto mengatakan bahwa: “Apa saja dan siapa saja yang berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, pada suatu saat melaksanakan suatu urusan pemerintahan, maka menurut undang-undang ini ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN”.

Berdasarkan pendapat Indroharto tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pegangan dan ukuran bukannya kedudukan struktural/organisatoris dari organ atau pejabat yang bersangkutan dalam struktur atau susunan pemerintahan, tetapi ditekankan pada fungsinya yang dilaksanakannya pada waktu itu, yaitu fungsi pemerintahan. Apabila pada saat itu yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang memberikan wewenang kepadanya, maka pada saat itu ia termasuk termasuk Pejabat TUN (sekalipun secara struktural/organisatoris ia bukan termasuk dalam jajaran pemerintahan/eksekutif) sehingga dapat digugat di Pengadilan TUN.

Pandangan demikian sejalan pula dengan pendapat Prof. Mr. Nicolai di Nederland yang dalam uraiannya dalam bukunya Bestuursrecht tentang pengertian “orgaan pemerintah” yang terkandung dalan AWB (Algemen wet Bestuursrecht) mengatakan bahwa pembuat Undang-undang AWB bermaksud melalui kategori yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1a memperluas pengertian orgaan pemerintah (bestuurs orgaan), sehingga meliputi juga instansi-instansi lain yang sebetulnya secara struktural tidak masuk dalam kategori orgaan pemerintah, tetapi yang pada saat tertentu menjalankan fungsi pemerintah/eksekutif.

Dalam beberapa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia dapat dilihat juga perkembangan ke arah tersebut, dimana pengertian urusan pemerintahan dilihat lebih pada aspek fungsinya, bukan semata-mata pada aspek struktural organisasi atau segi formalmya. Tetapi sekalipun demikian tidak boleh dilupakan bahwa bagaimanapun juga harus ada peraturan sebagai landasan kewenangan untuk bertindak dalam urusan atau fungsi pemerintahan tersebut, hal mana dinyatakan pada persyaratan “berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (asas legalitas), sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka (2) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Permasalah kedua adalah, berkaitan dengan pemisahan antara Hukum Tata Negara (HTN) dengan Hukum Tata Usaha Negara (HAN). Walaupun kedua disiplin ilmu hukum tersebut termasuk dalam disiplin ilmu hukum publik tetapi masih selalu dipersoalkan. Secara konkrit selalu dipertanyakan adalah apakah misalnya Keputusan Presiden yang diterbitkan dalam kapasitas sebagai Kepala Negara dapat digugat di Pengadilan TUN? Pertanyaan tersebut timbul oleh karena dalam berbagai Undang-undang sering dijumpai rumusan “Presiden sebagai Kepala Negara… dst.” Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan lagi seperti, misalnya: dimanakah batasnya antara Keputusan Presiden selaku Kepala Negara dengan Keputusan Presiden selaku Kepala Pemerintahan, yang merupakan Pejabat TUN yang paling tinggi? Dan apakah batas tersebut perlu ada serta diperhatikan, untuk menentukan dapat tidaknya menjadi objek gugatan di Pengadilan TUN?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul oleh karena dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 secara tegas dan eksplisit disebutkan bahwa KTUN berisi tindakan Tata Usaha Negara (tidak disebutkan “berisi tindakan hukum publik). sebaliknya apabila di dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang AWB di Nederland dirumuskan sebagai “publiek rechttelijke rechhandeling” (tindakan hukum publik).

Apabila ditinjau dari sistem hukum kita yang berlaku sekarang, dalam perumusan diberbagai perundang-undangan, kedua kedudukan Presiden tersebut tampak dibedakan yaitu kedudukan sebagai Kepala Negara dan kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan (eksekutif atau Tata Usaha Negara), tetapi secara fisik keduanya dilaksanakan oleh pribadi yang sama. Sehingga karenanya dibedakan pula antara kapan dan dalam hal apa Presiden bertindak sebagai Kepala Negara di satu pihak, dan sebagai Kepala Pemerintahan di lain pihak. Dengan demikian lalu ditinjau kewenangan-kewenangan mana yang diturunkan (derivatif) dari segi hukum ketatanegaraan dan yang dari segi hukum ketata-usahanegaraan/hukum administrasi. Hal-hal tersebut harus juga dilihat dalam kasus demi kasus (secara kasuistis).

Persoalan Ketiga adalah titik singgung antara hukum privat dan hukum publik. Dalam soal titik singgung antara hukum privat dan hukum publik. Dalam soal titik singgung antara hukum publik dan hukum privat sebagai instrumen yuridis dalam tindakan-tindakan hukum pemerintahan, hendaknya dipahami dan diingat kembali bahwa penggunaan wewenang pemerintahan oleh organ-organ pemerintah dapat pula didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum privat. Dalam hal ini dikaitkan dengan surat-surat KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, yang diperkecualikan dari kompetensi atau yurisdiksi Peradilan Tata Usaha Negara seperti yang tertuang dalam Pasal 2 butir (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo. Pasal 2 butir (1) UU No. 9 Tahun 2004, yang berbunyi:

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:

(1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata

Jadi tidak cukuplah bahwa organ tersebut secara faktual menjalankan urusan pemerintahan, tetapi harus jelas peraturan perundang-undangan yang mana yang memberikan kewenangan menjalankan urusan pemerintahan tersebut kepadanya. Hal ini harus lebih diteliti oleh Hakim.

Secara kasuistis harus ditinjau dengan cermat, apakah hukum privat ataukah hukum publik yang lebih dominan didalam penggunaan wewenang oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Sebagai titik tolak masih selalu dipakai ukuran dan pegangan bahwa manakala pemerintah melalui organnya bertindak atau melakukan tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh setiap orang berdasarkan ketentuan-ketentuan perdata, atau dikatakan dianggap sebagai bertindak dalam garis yang sejajar (op een lijr) dengan warga masyarakat biasa, maka dalam hal demikian tindakannya bersifat keperdataan. Tapi sebaliknya, apabila tindakan-tindakan hukumnya didasarkan pada kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh ketentuan-ketentuan hukum publik, yang menunjukkan adanya kedudukan yang tidak sejajar dan unilateral dalam rangka pelayanan publik (publik service), maka dalam hal demikian menunjukkan adanya sifat penggunaan hukum publik. Pembedaan criteria tersebut diatas walaupun bersifat diametral tapi msih sangat relatif dan dalam setiap perkara harus dilihat secara kasuistis, dengan mendalami ciri-ciri prinsipil berbeda antara hukum privat dan hukum publik. Harus dapat dibedakan apakah suatu KTUN yang dihadapi adalah murni bersifat hukum publik ataukah murni bersifat penggunaan hukum privat sebagai instrumen yuridis, ataukah dapat diterapkan penggunaan “teori melebur” dalam hal penerapan hukum privat saling memasuki?

Bahkan dalam keadaan tertentu, pejabat mempunyai pilihan untuk memakai instrumen yuridis hukum publik ataukah hukum privat untuk menjalankan kewenangannya. Maka dalam hal demikian hakim diingatkan dan dihadapkan pada penerapan “Teori dua jalan” (twee wegenleer) dimana harus ditentukan melalui instrumen yuridis yang mana dan yang lebih tepat harus dilaksanakan kewenangan yang bersangkutan.

Perkembangan-perkembangan demikianlah yang sekarang ini mulai tampak setelah beropersionalnya Peradilan TUN.

*TULISAN TERSEBAR

Jumat, 19 Juni 2009

HAN

ARAH DAN SASARAN RANCANGAN
AGENDA PENGEMBANGAN
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
TAHUN 2010-2020
Oleh:
DR. SUPANDI, SH.,MH
(KEPALA PUSDIKLAT TEKNIS PERADILAN
BADAN LITBANG, PENDIDIKAN, PELATIHAN DAN PERADILAN MAHKAMAH AGUNG RI)


A. Pengantar

Salah satu tujuan dari forum diskusi ini adalah untuk mengetahui arah kebijakan dan strategi pengembangan hukum administrasi negara yang sesuai dengan kebutuhan penyelenggara negara, khususnya pengembangan hukum administrasi negara yang perlu dilakukan dan diimplementasikan pada rentang waktu tahun 2010-2020.

Mengapa kita perlu menyusun rancangan agenda pengembangan hukum administrasi negara pada rentang waktu tahun 2010-2020?

Setidak-tidaknya oleh karena peranan administrasi negara makin dibutuhkan dalam alam globalisasi yang amat menekankan prinsip persaingan bebas, dimana secara politis, peranan administrasi negara adalah memelihara stabilitas Negara, baik dalam pengertian keutuhan wilayah maupun keutuhan politik. Sedangkan secara ekonomi, peranan administrasi negara itu menyangkut adanya jaminan terhadap kemampuan ekonomi nasional guna menghadapi dan mengatasi persaingan global.

Untuk itu tentu saja diperlukan beberapa hal sebagai berikut:

1. Adanya Good Governance yaitu suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan profesional, dimana semua aparat pemerintah dituntut untuk mempunyai sense of crisis terhadap perkembangan yang terjadi dengan mengedepankan terpenuhinya public accountability and responsibility kepada masyarakat sebagai pihak yang harus dipenuhi dan dilindungi kepentingannya (public interest).

2. Adanya interaksi, pengertian (understanding) dan kerjasama yang baik antara para ahli di bidang Hukum Administrasi Negara termasuk para Pakar dan pengambil keputusan di bidang hukum (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dengan tujuan untuk menyamakan persepsi tentang definisi dan sistem hukum administrasi negara sehubungan dengan tantangan perdagangan bebas.

3. Adanya kesadaran bahwa pada era globalisasi saat ini, sistem administrasi negara juga terkait dan dipengaruhi oleh perkembangan dunia internasional, misalnya perkembangan perdagangan internasional melalui forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasific (APEC) dan Organization Perdagangan Dunia (WTO). Hal ini harus menjadi perhatian dan direspon oleh sistem administrasi negara dalam rangka mengantisipasi berbagai perkembangan sosial, politik, dan ekonomi baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.

Semua upaya tersebut diatas dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja aparatur pemerintahan agar lebih dapat memberikan kontribusi yang besar kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum, dan juga untuk memenangkan persaingan yang makin tajam dalam era globalisasi.

Upaya untuk memperbaiki sistem administrasi negara tersebut khususnya di sebagian besar negara-negara berkembang tidak bisa diharapkan hanya akan muncul dan dilaksanakan oleh sistem itu sendiri, melainkan juga harus melibatkan sistem-sistem lainnya yang relevan, khususnya yang berada dalam negara yang bersangkutan.


B. Hukum Sebagai Sistem

Biasanya orang hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikan hukum dengan peraturan hukum atau/bahkan lebih sempit lagi, hanya dengan undang-undang saja. Padahal, peraturan hukum hanya merupakan salah satu unsur saja dari keseluruhan sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut :

a. asas-asas hukum (filsafah hukum)
b. peraturan atau norma hukum, yang terdiri dari :
1. Undang-undang
2. peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang
3. yurisprudensi tetap (case law)
4. hukum kebiasaan
5. konvensi-konvensi internasional
6. asas-asas hukum internasional
c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum
d. pranata-pranata hukum
e. lembaga-lembaga hukum termasuk :
1. struktur organisasinya
2. kewenangannya
3. proses dan prosedur
4. mekanisme kerja
f. sarana dan prasarana hukum, seperti ;
1. furnitur dan lain-lain alat perkantoran, termasuk komputer dan sistem manajemen
perkantoran
2. senjata dan lain-lain peralatan (terutama untuk polisi)
3. kendaraan
4. gaji
5. kesejahteraan pegawai/karyawan
6. anggaran pembangunan, dan lain-lain
g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat (termasuk pers), yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.

Sistem hukum terbentuk oleh sistem interaksi antara ketujuh unsur di atas itu, sehingga apabila salah satu unsurnya saja tidak memenuhi syarat, tentu seluruh sistem hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Atau apabila salah satu unsurnya berubah, maka seluruh sistem dan unsur-unsur lain juga harus berubah. Dengan kata lain : perubahan undang-undang saja tidak akan membawa perbaikan, apabila tidak disertai oleh perubahan yang searah di dalam bidang peradilan, rekruitmen dan pendidikan umum, reorganisasi birokrasi, penyelarasan proses dan mekanisme kerja, modernisasi segala sarana dan prasarana serta pengembangan budaya dan perilaku hukum masyarakat yang mengakui hukum sebagai sesuatu yang sangat diperlukan bagi pergaulan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang damai, tertib dan sejahtera (Sunaryati Hartono:2003).


C. Administrasi Sebagai Sistem Atau Tatanan

Perkataan, istilah, dan pengertian Administrasi yang kita kenal sekarang di Indonesia berasal dari Eropa Barat/Eropa Kontinental, melalui periode penjajahan Belanda, dimana Belanda merupakan salah satu bangsa yang terdapat di wilayah Eropa Barat.

Administrasi berasal dari bahasa Latin : Ad = intensif dan ministrare = melayani, membantu, memenuhi. Administrasi merujuk pada kegiatan atau usaha untuk membantu, melayani, mengarahkan, atau mengatur semua kegiatan di dalam mencapai suatu tujuan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, administrasi ialah proses penyelenggaraan kerja yang dilakukan bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Administrasi, baik dalam pengertian luas maupun sempit di dalam penyelenggaraannya diwujudkan melalui fungsi-fungsi manajemen, yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan.

Jadi administrasi adalah penyelenggaraannya,dan manajemen adalah orang-orang yang menyelenggarakan kerja. Maka kombinasi dari keduanya adalah penyelenggaraan kerja yang dilakukan oleh orang-orang secara bersama-sama (kerjasama) untuk mencapai tujuan yang yang telah ditetapkan.


D. Tentang Arti dan Luas Lingkup Hukum Administrasi Negara

Sebagai ilmu, administrasi mempunyai berbagai cabang, yang salah satu di antaranya adalah administrasi negara. Istilah administrasi negara dalam Ilmu Administrasi Negara berbeda definisinya dengan istilah administrasi negara dalam Hukum Administrasi Negara:

- Istilah Administrasi Negara dalam Ilmu Administrasi Negara mencakup semua kekuasaan
negara:
- Sedangkan istilah Administrasi Negara dalam Hukum Administrasi Negara hanya dalam
lapangan bestuur (pemerintahan dalam arti sempit) atau di luar kekuasaan pembentukan UU
(legislatif) dan kekuasaan peradilan (rechtspraak).

Istilah “Hukum Administrasi Negara” dikenal dalam berbagai literatur dengan sebutan “Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Administratief recht, Bestuursrecht (Belanda), Administrative Law (Inggris), dan Droit Administratief (Perancis). Kesemua istilah tersebut memberikan makna sebagai “Seperangkat aturan hukum yang menyangkut hubungan hukum antara pemerintah dengan rakyat (individu/badan hukum perdata) berkenaan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan.

Konsep dasar Hukum Administrasi Negara mengandung unsur-unsur antara lain (Philipus M. Hadjon.,et.al 1994:28 ):

1. Hukum mengenai kekuasaan pemerintah yang sekaligus dikaitkan dengan hukum mengenai peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan;
2. Hukum mengenai organisasi pemerintahan; dan
3. Hukum mengenai perlindungan hukum bagi rakyat.

Tiga aspek tersebut di atas, antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, hal ini sama seperti fungsi Hukum Administrasi yakni (fungsi normatif, fungsi intrumental dan fungsi jaminan) yang juga saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah, jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumenal yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah, yang pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat (Philipus M. Hadjon, 1990:6 ).



E. Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Istilah Good dalam Good Governance mengandung 2 (dua) pengertian, pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut (Sjahruddin Rasul: 2000: 121).

Sedangkan istilah Governance dalam Good Governance berarti institusi yang terdiri dari tiga domain, yaitu state (Negara atau pemerintahan), private sector (sector swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat).

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo Good Governance memiliki 5 (lima) prinsip utama, yaitu: akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), keterbukaan (openness), penegakan hukum (rule of law), dan jaminan (fairness) atau a level playing field (perlakuan yang adil atau perlakuan kesetaraan) (Bintoro Tjokroamidjojo: 2000:75).

Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sedangkan pemerintahan dapat diartikan secara sempit dan luas:

- Pengertian pemerintah dalam arti luas adalah bahwa segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim: 1983: 171). Dengan kata lain, Pemerintah dalam arti luas, mencakup semua alat kelengkapan negara, yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif atau alat-alat kelengkapan negara lain yang juga bertindak untuk dan atas nama negara.

- Sedangkan dalam artinya yang sempit, pemerintah (yang disebut bestuur) hanya mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (eksekutif) yang bisa dilakukan oleh Kabinet dan aparat-aparatnya dari tingkat Pusat sampai ke Daerah. Jadi, dalam pengertian yang sempit, pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif (law applying organ).

Pemerintah/eksekutif dalam menjalankan fungsinya merupakan pihak yang melayani dan warga masyarakat merupakan pihak yang dilayani. Pelayanan yang baik dalam pemerintahan adalah sarana menuju masyarakat negara yang sejahtera (welfare state). Dalam konsepsi welfare state, pemerintah diberi wewenang yang luas untuk campur tangan (staatsbemoeienis) di segala lapangan kehidupan masyarakat dalam rangka bestuurszorg, mewujudkan kesejahraan umum. Campur tangan tersebut tertuang dalam ketentuan perundang-undangan, baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pelaksanaan lainnya yang dilaksanakan oleh administrasi Negara, selaku alat perlengkapan Negara yang menyelenggarakan tugas servis publik (Sjachran Basah: 1998:3 ).

Peranan Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam posisi demikian sangat dominan dan penting, sebab inti hakikat HAN adalah:

1. Memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya.
2. Melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan juga melindungi
administrasi Negara itu sendiri.


F. Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Pergeseran Paradigma Hukum Administrasi Negara di Indonesia

Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan. Berdasarkan pandangan berbagai kalangan, UUD 1945 tidak lagi cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, seperti terbentuknya good governance dan dukungan terhadap penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Buruknya penyelenggaraan negara pada beberapa tahun terakhir pemerintahan Presiden Soeharto yang antara lain ditandai dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme, menjadi bukti tak terbantahkan mengenai hal ini.

Perubahan terhadap UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan yang berlaku. Perubahan tersebut meliputi jenis dan jumlah lembaga negaranya, serta sistem pemerintahan yang dianut, sistem peradilan dan sistem Perwakilannya.

Perubahan terhadap UUD 1945 ini selanjutnya menimbulkan beberapa permasalahan baru yang berkaitan dengan Hukum Administrasi negara, antara lain:
- Munculnya pola administrasi negara yang tidak standar.
- Munculnya lembaga -lembaga baru non departemen (bersifat adhoc) yang mempunyai tugas-
tugas reguler dari lembaga-lembaga yang sudah ada, sehingga mengurangi luas
kewenangannya, dan cenderung menimbulkan saling tindih kewenangan tersebut.
- Masih adanya urusan pemerintahan yang seharusnya diserahkan kepada daerah, akan tetapi
justru masih ditangani oleh pemerintah pusat.
- Akibat adanya pemaknaan yang keliru terhadap otonomi daerah, arogansi daerah dalam
bentuk munculnya berbagai peraturan daerah yang bertentangan dengan ketentuan pusat,
atau menghambat kebijakan-kebijakan utama pemerintah pusat.
- Pembangkangan daerah terhadap beberapa kebijakan dan peraturan di tingkat menengah,
dengan alsasan telah menginduk dengan ketentuan yang lebih tinggi.
- Terjadinya tumpang tindih kebijakan administrasi untuk penanganan pengaturan suatu
masalah,
- Malfungsi peradilan administrasi maupun akses-akses penyelesaian sengketa di bidang
administrasi negara, sehingga tidak mampu melindungi warga negara
- Beberapa administrasi negara memasuki wilayah yang seharusnya dipisahkan dari fungsi
negara itu sendiri, atau paling tidak menempatkan negara kepada kedudukan yang sifatnya
dilematis.


G. Arah Dan Sasaran Pengembangan Hukum Administrasi Negara Sehubungan Dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (selanjutnya disebut RPJP Nasional) adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025, ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu pola sikap dan pola tindak.

Sehubungan dengan RPJP Nasional tersebut, maka arah dan sasaran reformasi administrasi pada hakikatnya akan menyangkut dimensi dan spektrum yang sangat luas dan kompleks dengan tujuan yang sangat jelas yaitu meningkatkan administrative performance dari birokrasi pemerintah, meliputi:

1. Penyempumaan struktur birokrasi, dan
2. perubahan perilaku aparatnya.

Kedua hal tersebut diatas menjadi conditio sine quo non bagi upaya peningkatan kinerja birokrasi pemerintah.

Selanjutnya Siagian melihat pentingnya arah reformasi administrasi negara di Indonesia ditujukan kepada pengembangan administrative infrastrukture yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur organisasi, sistem dan prosedur kerja (Siagian:1982). Sedangkan menurut Tjokroamidjojo ketika menganalisis administratif pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi administrasi perlu ditujukan ke 7 wilayah penyempurnaan utama yaitu (Tjokroamidjojo:1985):

1. Penyempumaan dalam bidang pembiayaan pembangunan
2. Penyempumaan dalam bidang penyusunan program–program pembangunan di berbagai
bidang ekonomi dan non ekonomi dengan pendekatan integratif (integrative approach).
3. Reorientasi kepegawaian negeri ke arah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah.
4. Penyempumaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah.
5. Administrasi partisipatif untuk mendukung pembangunan daerah.
6. Kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan.
7. Lebih bersihnya pelaksanaan administrasi negara.



H. Pengembangan Hukum Administrasi Negara Di Era Teknologi Informasi Dalam Mewujudkan Reformasi Birokrasi Nasional Menuju Pembangunan Masyarakat Madani

Ada tiga agenda pengembangan Hukum Administrasi Negara yang harus terus dikembangan di Indonesia dewasa ini yang tercakup dalam tema reformasi administrasi negara secara menyeluruh. Ketiga agenda itu mencakup:

1. Komponen Struktural yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan penataan kembali institusi pemerintahan dan kenegaraan secara menyeluruh mulai dari lembaga tertinggi negara MPR sampai ke lembaga pemerintahan desa maupun agenda penataan kembali semua institusi politik, institusi kemasyarakatan, dan bahkan korporasi-korporasi ekonomi yang hidup di tengah masyarakat.

2. Komponen Substansi, yaitu dasar-dasar peraturan yang melandasi bekerjanya lembaga hukum tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan permbaruan sistem hukum nasional, baik yang menyangkut:
(a) instrumen peraturan perundang-undangan mulai dari naskah UUD sampai ke Peraturan
Desa.
(b) institusi-institusi atau kelembagaan hukum kita yang perlu ditata kembali.
(c) sistem kepemimpinan dan aparat hukum serta profesi hukum yang dapat bekerja
profesional, efektif dan dapat dijadikan teladan dalam upaya penegakan hukum; dan
(d) pembinaan kesadaran hukum dan budaya hukum, sehingga sikap hormat dan taat hukum
mentradisi dalam kehidupan sehari-hari.


3. Komponen Kultural atau Kultur Hukum yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem hukum itu ditengah-tengah kultur bangsa secara keseluruhan. kebutuhan akan hal ini berfungsi untuk mereorientasi kembali sikap-sikap mental, cara berpikir, dan metode kerja yang melanda hampir setiap aparat pemerintah di institusi pemerintah.

Dari sudut hukum tata negara dan hukum administrasi negara, pengembangan hukum administrasi di era teknologi informasi sehubungan dengan RPJP Nasional akan lebih difokuskan kepada pentingnya jasa komputer dan telekomunikasi elektronik di masa mendatang dalam kaitannya dengan sistem informasi administrasi kenegaraan dan pemerintahan.

Sistem informasi administrasi kenegaraan dan pemerintahan menjadi penting oleh karena terdapat korelasi yang kuat antara Sistem informasi administrasi dengan sistem hukum nasional, dalam hal efektifitas suatu sistem hukum di tengah-tengah masyarakat, khususnya dalam pembentukan perilaku sosial (social behaviour). Hukum sebagai suatu aturan (rule of law) berbanding lurus dengan pemahaman hukum dan kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum - yang wujudnya berupa informasi - yang tengah berlaku. Tidak akan ada ketentuan hukum yang berlaku efektif dalam masyarakat, jika informasi hukum tersebut tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Oleh karena itu, pengkomunikasian informasi hukum harus dirancang dalam pola yang lebih interaktif sehingga dapat menangkap dengan baik umpan balik dari masyarakatnya sehingga menimbulkan kesadaran hukum. Hal tersebut tidak akan didapat hanya dengan sosialisasi ataupun penyuluhan hukum saja, melainkan juga harus dengan pengembangan sarana komunikasi ataupun infrastruktur informasi yang baik dan dapat diakses dengan mudah dan murah oleh masyarakat.

Pengkomunikasian informasi hukum ini akan terkait langsung dengan fungsi-fungsi lembaga tinggi negara dan sistem administrasi pemerintahan, dengan demikian sistem informasi administrasi kenegaraan dan pemerintahan harus diperhitungkan dan perlu dikelompokkan sebagai berikut (Jimly Asshiddiqie:2000:1):

1. Sistem Informasi dan administrasi dilingkungan MPR, DPR dan DPRD propinsi, dan
kabupaten/kota.
2. Sistem Informasi dan administrasi dilingkungan Kekuasaan Kehakiman atau badan-badan
peradilan, mulai Mahkamah Agung sampai ke Pengadilan tingkat pertama.
3. Sistem Informasi dan administrasi dilingkungan badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan
Pertimbangan Agung.
4. Sistem Informasi dan administrasi dilingkungan kantor Kepresidenan atau Sekretariat
Negara.
5. Sistem Informasi dan administrasi dilingkungan kantor Gubernur, kantor Bupati dan
Walikota.

Selanjutnya mengenai informasi-informasi dan poduk-produk hukum serta kebijakan-kebijakan administrasi yang dianggap penting yang dikomputerisasikan dan dikembangkan sebagai bahan dalam rangka komunikasi dan telekomunikasi elektronis, minimal adalah :

1. Produk-produk peraturan tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan ataupun yang dijadikan
dasar kebijakan yang diambil.
2. Tindakan-tindakan adminstrasi yang diambil oleh pejabat yang bersangkutan yang
dituangkan dalam bentuk-bentuk tertulis.
3. Rumusan-rumusan program dan kebijakan-kebijakan publik yang dijadikan pegangan bagi
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan oleh pejabat publik yang
bersangkutan.
4. Informasi dan data personalia sebagai aparat pelayan publik yang terlibat dalam sistem
adminstrasi kenegaraan dan pemerintahan pada level yang bersangkutan.

Keseluruhan informasi yang dikomputerisasikan tersebut perlu dikembangkan menurut standard tertentu, sehingga perangkat sistem yang dikembangkan bersifat ‘compatible’ satu sama lain dan dapat saling terkait dalam jaringan sistem informasi yang terintegrasi secara nasional melalui sistem otomatisasi elektronis. Kebijakan untuk mengembangkan sistem network semacam ini memerlukan keputusan politik untuk mengembangkannya.

Adanya suatu metode pengkomputerisasian sistem informasi administrasi kenegaraan dan pemerintahan sangat mutlak diperlukan. Koordinasi yang intensif perlu segera dilakukan terutama semua instansi yang terlibat yang selama ini menjalankan fungsi untuk pelayanan publik. Berbagai pengaruh perdagangan bebas sebagai implikasi dari globalisasi dunia tidak dapat dihindari oleh negara manapun termasuk Indonesia. Oleh karena itu penguatan lembaga-lembaga pemerintah di daerah-daerah merupakan salah satu upaya untuk membendung pengaruh globalisasi yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di Indonesia berupa keberdayaan/pembangunan masyarakat madani.

Idealitas visi keberdayaan/pembangunan masyarakat madani itu sudah tentu tidak perlu sama dari satu negeri ke negeri lain. Masyarakat Indonesia yang akrab dengan nilai-nilai keimanan kepada Tuhan dan nilai-nilai tradisi budayanya sendiri, tentu mengidealkan cita-cita hidup Berketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, lembaga-lembaga pemerintah baik di pusat maupun di daerah berusaha merumuskan setiap kebijakannya menurut ukuran-ukuran moral dan kultural yang tersendiri. Bangsa Indonesia tidak mungkin dipisahkan dari keyakinannya mengenai Kemaha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Ciri-cirinya tercermin dalam pemahaman mengenai kualitas sumberdaya insani yang harus merefleksikan keunggulan, baik dalam keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maupun sekaligus keunggulan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta jatidirinya sebagai elemen perjuangan bangsa. Untuk mewujudkan cita-cita pembangunan masyarakat madani itu, perlu dikembangkan agenda pengembangan hukum administrasi negara yang membebaskan, pembangunan kemandirian ekonomi dan kebudayaan bangsa, serta peningkatan kualitas sumberdaya insani yang menjadi penentu utama kemajuan bangsa kita di masa depan.



I. Rancangan Agenda Pengembangan Hukum Administrasi Negara tahun 2010-2020

Setelah mempertimbangkan bahwa :

1. Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Amanat tersebut mengandung makna bahwa hukum harus dapat menampilkan wibawanya baik sebagai sarana perwujudan ketertiban dan kesejahteraan, maupun dalam rangka membangun masyarakat Indonesia menuju pada masyarakat yang adil dan makmur.

2. Perubahan terhadap UUD 1945 yang telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan yang berlaku. Perubahan tersebut meliputi jenis dan jumlah lembaga negaranya, serta sistem pemerintahan yang dianut, sistem peradilan dan sistem Perwakilannya.


3. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (selanjutnya disebut RPJP Nasional) adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025, ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu pola sikap dan pola tindak.

4. Perkembangan sosial, politik, dan ekonomi baik di dalam negeri maupun di dunia internasional pada era globalisasi saat ini, misalnya perkembangan perdagangan internasional melalui forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasific (APEC) dan Organization Perdagangan Dunia (WTO).

5. Perkembangan sistem elektronik yang lahir dari perkembangan dan konvergensi telekomunikasi, media dan informatika yang memicu makin banyaknya pemanfaatan jasa jaringan komputer dan telekomunikasi elektronik dalam kegiatan ekonomi, sosial, politik, dan bahkan kebudayaan.

6. Dengan memperhatikan pergeseran paradigma hukum administrasi negara saat ini serta kebutuhan dalam tahap-tahap pembangunan yang akan datang, kebijakan dan langkah-langkah dituangkan dalam program-program.

Adapun Rancangan Agenda Pengembangan Hukum Administrasi Negara yang perlu dilakukan dan diimplementasikan pada rentang waktu tahun 2010-2020 adalah:

1. Program Perencanaan dan Pembentukan Hukum
- Pengembangan Hukum Tertulis Perundang-undangan Indonesia
- Pengembangan Yurisprudensi Tetap.
- pengembangan Hukum Kebiasaan

2. Program Pengembangan Sistem Hukum nasional
- Memperkuat peraturan perundangan yang berlaku (the body of rules), sebagai fondasi
pelaksanaan tugas–tugas aparat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih, bertanggung jawab dan profesional.
- Pengembangan dan Penataan Kembali Hubungan Antara Lembaga-Lembaga Hukum di bidang
Penegakan Hukum
- Peningkatan kerjasama dengan Negara/Organisasi Internasional
- Penyusunan Saran Kebijakan Pembangunan dan Pengembangan sistem Administrasi negara
Berdasarkan UUD 1945.

3. Program Pembinaan Peradilan.
- Penyusunan Pedoman Pengajuan Judicial Review Kepada Mahkaman Agung dan Mahkamah
Konstitusi

4. Program penerapan dan penegakan Hukum
- Pengaturan dan Penegakan Hukum Dalam Sistem Administrasi.
- Perumusan Kebijakan Publik atau Peraturan Perundang-Undangan dalam Sistem
Penyelenggaraan Kepemerintahan Yang Baik.
- Penyusunan agenda kebijakan reformasi administrasi negara yang berujung pada
penyempurnaan manajemen pelayanan publik.

5. Program Penyuluhan Hukum
- Pengaktualisasian Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik.

6. Program Pelayanan dan Bantuan Hukum
- Pembinaan Hubungan antara Lembaga-Lembaga Hukum dalam hal Pelayanan hukum.

7. Program Pembinaan Sarana dan Prasarana Hukum
- Peningkatan Fungsi dan Peranan Perpustakaan dan Kepustakaan.
- Pembinaan Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.

8. Program Pendidikan dan Latihan Hukum
- Peningkatan Sumber Daya Manusia di Bidang Hukum Administrasi Negara melalui Pendidikan
dan Pelatihan.



J. Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa di negara kita sekarang ini sedang terjadi proses perubahan hukum administrasi negara yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan tersebut terjadi pada tingkatan baik institusional, instrumental maupun kultural yang menuntut peranserta kita semua untuk menyukseskannya menurut arah yang baik. Jika kita, apalagi pemerintah, tidak pandai-pandai mengelolanya, niscaya akan terjadi malapetaka bagi masa depan bangsa kita dan akan menyengsarakan generasi yang akan datang. Agenda perubahan itu menyangkut:

- Pertama, agenda penataan kembali semua institusi umum, baik pada tingkat supra struktur
pemerintah pusat maupun pada tingkat infra struktur pemerintah daerah.
- Kedua, adalah agenda pembaruan dan pembentukan berbagai perangkat peraturan
perundang-undangan baru pada semua tingkatannya.
- Ketiga, Pengembangan nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem serta
menentukan tempat sistem hukum itu ditengah-tengah kultur bangsa secara keseluruhan.
kebutuhan akan hal ini nantinya akan berfungsi untuk mereorientasi kembali sikap-sikap
mental, cara berpikir, dan metode kerja yang melanda hampir setiap aparat pemerintah di
institusi pemerintah.
- Keempat, agenda pengembangan kualitas masyarakat madani yang bertumpu pada kualitas
dan keunggulan sumberdaya insani yang didasarkan atas kemandirian dan keberdayaan
ekonomi dan kebudayaan masyarakat di daerah-daerah.

Demikianlah sedikit sumbangan pikiran dan sekaligus informasi mengenai perkembangan agenda reformasi di tanah air yang dapat disampaikan pada kesempatan ini. Semoga, forum diskusi ini menjadi titik mula bagi kesadaran ini, dan titik awal bagi kerjasama yang baik dan sinergis antara para ahli dan pengambil keputusan di bidang hukum administrasi negara (baik di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif) demi kebangkitan bangsa dari keterpurukan ekonomi, politik, hukum, hankam mau pun sosial politik..

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Basah, Sjachran, Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, (Alumni: Bandung, 1989)

Hadjon, Philipus M., et.al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yoyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994),

Kusnardi, Moh dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN FH UI dan CV “Sinar Bakti”, Jakarta, 1983

Siagian,S.P, Administrasi Pembangunan, Jakarta: Gunung Agung, 1982

Tjrokroamidjojo, Bintoro, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1985

____________________, good Governance (Paradigma baru Manajemen Pembangunan), Penerbit Universitas Indonesia; Jakarta, 2000


DISERTASI

Rasul, Sjahruddin, Tinjauan Yuridis Akuntabilitas Penyelenggaraan Pemerintahan Di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2000

MAKALAH/ARTIKEL

Asshiddiqie, Jimly, Masa Depan Hukum Di Era Teknologi Informasi: Kebutuhan Untuk Komputerisasi Sistem Informasi Administrasi Kenegaraan Dan Pemerintahan, Makalah disampaikan pada Program Pendidikan Lanjutan Hukum Teknologi Informasi dan Telekomunikasi, Lembaga Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin, 1 Mei 2000

Hadjon, Philipus M, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintah Yang Bersih, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, 1990

Hartono, Sunaryati, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Nasional Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Denpasar, 14-18 Juli 2003

Selasa, 07 April 2009

BUKTI DAN PEMBUKTIAN DALAM PENGUJIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Oleh
TEGUH SATYA BHAKTI, SH., MH



Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”
“Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari maka bersaksilah.
(Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah.”
(Riwayat Imam Baihaki dalam sebuah hadits dengan isnad shahih dari Nabi Saw)



A. PENDAHULUAN

Bukti atau pembuktian menurut bahasa adalah perbuatan membuktikan sesuatu hal (peristiwa, dsb) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa, dsb). Jadi yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan/perkara.

Bukti dan pembuktian merupakan salah satu tahapan dalam proses beracara di pengadilan yang berfungsi sebagai media bagi hakim untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya diantara pihak yang berperkara. Hubungan hukum ini selanjutnya harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang Pengadilan oleh para pihak.

Pada tahap pembuktian ini, kepada para pihak diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan bukti-bukti untuk dapat mendukung dalil-dalil gugatan atau dalil sangkalan/bantahannya. Kepastian akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara.

Sehubungan dengan pembuktian ini, hakim diwajibkan harus mengindahkan aturan-aturan yang merupakan hukum pembuktian dalam menilai suatu bukti. Berkaitan dengan ini, Sudikno Mertokusumo, berpendapat, bahwa pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di persidangan”.

Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan dianggap selesai dan para pihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan putusannya. Sehubungan dengan hal tersebut maka bagian yang terpenting dan utama bagi hakim sebelum menjatuhkan putusan dalam hal mengadili suatu perkara adalah fakta hukum atau peristiwa hukum dan bukan hukumnya. Peraturan hukum hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwa hukum yang menyebabkan terjadinya persengketaan/perkara diantara para pihak.

Secara yuridis, setiap putusan itu harus dianggap benar sebelum ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi (asas res judicata pro veritate habetur). Dengan demikian Hakim agar dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa dengan setepat-tepatnya harus terlebih dahulu mengetahui secara objektif tentang duduk perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan bukan secara a priori menemukan putusannya sedang pertimbangannya baru dikonstruir. Hal ini disebabkan oleh karena Putusan Pengadilan adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Bukti dan Pembuktian yang diajukan para pihak dimuka persidangan adalah merupakan pondasi bagi hakim untuk menjatuhkan putusan yang baik dan ideal. Dengan demikian hakim wajib menilai bukti sesuai dengan kaedah-kaedah hukum yang telah diatur didalam kitab-kitab hukum dan perundang-undangan. Selain itu hakim juga harus mendengar hati nuraninya sendiri sebelum memutus perkara, sebelum diktumnya menghancurkan nasib anak manusia, sebelum putusannya menenggelamkan harapan sekelompok masyarakat. Semua atas nama keadilan, ketertiban, dan supremasi hukum, bahkan atas nama Tuhan Yang Maha Esa.

Putusan hakim yang baik dan ideal ini terkadang melahirkan sesuatu hal yang positif dimana masing-masing pihak baik penggugat maupun tergugat menerima putusan tersebut dengan senang hati dan bahkan tidak jarang pula mereka tidak menggunakan upaya hukum selanjutnya (banding maupun kasasi). Putusan semacam ini penting sekali, terutama untuk menguatkan citra kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding) lembaga peradilan dalam memberikan keadilan kepada pencari keadilan (justiciable), yang pada akhinya nanti secara berangsur-angsur akan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat akan kinerja fungsionaris pengadilan.


B. TEORI-TEORI TENTANG PENILAIAN PEMBUKTIAN

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus tetap dinilai oleh hakim. Untuk menilai pembuktian tersebut, hakim dapat bertindak bebas atau diikat oleh undang-undang:

1. hakim dapat bertindak bebas (contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, ini berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)),

2. hakim diikat oleh undang-undang (contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)).

Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :

a. Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.

b. Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)

c. Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).


C. TEORI-TEORI TENTANG BEBAN PEMBUKTIAN

Asas pembagian beban pembuktian tercantum dalam pasal 163 HIR (pasal 283 Rbg, 1865 BW) yang berbunyi: “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.

Ketentuan diatas memiliki makna bahwa kedua belah pihak, baik penggugat maupun para tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukannya ia harus dikalahkan. Sedang kalau tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya ia harus pula dikalahkan. Jika kalau salah satu pihak dibebani dengan pembuktian dan ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan dikalahkan (risiko pembuktian). Pada hakekatnya hal ini tidak lain untuk memenuhi syarat keadilan, agar risiko dalam beban pembuktian itu tidak berat sebelah.

Oleh karena itu pembagian harus sangat berhati-hati dalam pembagian beban pembuktian.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain:

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)

Menurut teori pembuktian ini, siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hukum dari pada teori ini ialah pendapat bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan. Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar dari suatu hak, sekalipun pembuktiannya mungkin, hal ini tidaklah penting dan oleh karena itu tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori bloot affirmantief ini sekarang telah ditinggalkan

2. Teori hukum subyektif

Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan semuanya. Untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan dibedakan antara peristiwa-peristiwa umum dan peristiwa-peristiwa khusus. Yang terakhir ini dibagi lebih lanjut menjadi peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak (rechtserzeugende tatsachen), peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi timbulnya hak (rechshindernde tatschen) dan peritiwa khusus yang bersifat membatalkan hak (rechtsvernichtende tatschen). Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi dan yang bersifat membatalkan.

Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan penggugat didasarkan atas hukum subyektif. teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat prosesuil. Di dalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidakadilan. Hal ini diatasi dengan memberi kelonggaran kepada hakim untuk mengadakan pengalihan beban pembuktian.

3. Teori hukum obyektif;

Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap persitiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran dari pada peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut. siapa yang misalnya harus mengemukakan adanya suatu persetujuan harus mencari dalam undang-undang (hukum obyektif) apa syarat-syarat sahnya persetujuan (pasal 1320 BW) dan kemudian memberi pembuktiannya. Ia tidak perlu misalnya membuktikan adanya cacat dalam persesuaian kehendak, sebab hal itu tidak disebutkan dalam pasal 1320 BW. Tentang adanya cacat ini harus dibuktikan oleh pihak lawan.

Hakim yang tugasnya menerapkan hukum obyektif pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak hanya dapat mengabulkan gugatan apabila unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum obyektif ada. Jadi atas dasar ini hukum obyektif yang diterapkan dapat ditentukan pembagian beban pembuktian.

Teori ini sudah tentu tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh undang-undang. Selanjutnya teori ini bersifat formalistis.

4. Teori hukum publik.

Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.

5. Teori hukum acara. Azas audi et alteram partem atau juga azas kedudukan prosesuil yang sama dari pada pihak dimuka hakim merupakan azas pembagian beban pembuktian

Menurut teori ini, hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Oleh karena itu hakim harus membebani pada pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.


D. ASAS PEMBUKTIAN BEBAS (VRIJ BEWIJS) YANG MELANDASI SISTEM PEMBUKTIAN HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA.

Ada 4 (empat) aspek dalam asas pembuktian bebas (Vrij Bewijs) ini di dalam hukum acara Peradilan TUN, yakni:
1. Dalam melakukan pembuktian hakim tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak (aspek luas pembuktian (bewijsomvang));
2. Hakim yang menetapkan beban pembuktian (aspek pembagian beban pembuktian (bewijslastverdeling));
3. Tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam memilih alat-alat bukti (aspek alat-alat bukti (bewijsmiddelen));
4. Penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim (aspek penilaian- penghargaan pembuktian (bewijswaarderng)).

Ad.1. Dalam melakukan pembuktian hakim tidak tergantung pada fakta yang dikemukakan para pihak (aspek luas pembuktian (bewijsomvang));

Pada pemeriksaan sengketa TUN, yang menjadi pusat perhatian adalah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) yang digugat. Disini hakim Pengadilan TUN meneliti apakah Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) pada waktu menerbitkan KTUN itu bertolak pada fakta yang benar–relevan atau tidak. Hakim Pengadilan TUN bertanggungjawab sendiri dalam memilih, memilah dan menentukan apakah KTUN yang digugat itu rechmatig atau onrechmatig, terutama mengenai fakta yang oleh hakim sendiri dianggapnya vital untuk putusannya. Meskipun para pihak tidak mengungkapkan fakta yang berkaitan dengan masalah kewenangan dari Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN, Majelis Hakim berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan (yang justru tidak dikemukakan para pihak) dapat menunjukkan ketidakwenangan Pejabat TUN untuk menerbitkan KTUN yang disengketakan.


Ad.2. Hakim yang menetapkan beban pembuktian (aspek pembagian beban pembuktian (bewijslastverdeling));

Berbeda dengan ketentuan hukum acara perdata berdasarkan Pasal 1865 BW jo. Pasal 163 HIR dan 283 R.Bg tentang beban pembuktian yang mendalilkan bahwa siapa yang menggugat, dialah yang membuktikan. Maka, bertumpu pada aspek bewijslastverdeling dari asas pembuktian bebas, Hakim Pengadilan TUN tidak boleh menolak suatu gugatan atas dalih penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya.

Pembagian beban pembuktian oleh Majelis Hakim Pengadilan TUN adalah dengan cara menentukan kepada pihak Penggugat harus dibebankan pembuktian tentang dalil-dalil yang dibantah oleh Tergugat (Badan atau Pejabat TUN), dan sebaliknya kepada Tergugat (Badan atau Pejabat TUN) akan dibebankan pembuktian bahwa KTUN yang diterbitkan adalah sah dan berdasarkan undang-undang.

Ad.3. Tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat hakim dalam memilih alat-alat bukti (aspek alat-alat bukti (bewijsmiddelen));

Secara teoritis, terdapat pembagian KTUN menjadi 2 (dua), yaitu:
1. KTUN terikat (gebonden beschikking) dan
2. KTUN bebas (vrije beschikking).

KTUN terikat (gebonden beschikking), pada dasarnya hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya suatu ruang kebebasan bagi Pejabat yang yang bersangkutan menginterprestasikannya. Sedangkan KTUN bebas (vrije beschikking) didasarkan pada suatu kebebasan bertindak yang lazimnya dikenal dengan asas fries ermessen (discretionary power). Ada 2 (dua) macam kebebasan ini, yakni:
1. Kebebasan kebijaksanaan, yaitu kebebasan bertindak dalam arti kebebasan untuk memutus secara mandiri.
2. Kebebasan interpretasi, yaitu kebebasan Badan atau Pejabat TUN untuk menginterpretasikannya.

Terhadap kedua jenis KTUN diatas dapat dilakukan pengujian apakah suatu KTUN itu rechmatig atau onrechmatig. KTUN terikat (gebonden beschikking) diuji melalui hukum tertulis (peraturan perundang-undangan). Sedangkan KTUN bebas tidak cukup diuji dengan hukum tertulis saja, melainkan juga dengan hukum tidak tertulis yang berupa AAUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik)

Tolok ukur pengujian KTUN terikat (gebonden beschikking) melalui hukum tertulis oleh hakim Pengadilan TUN didasarkan pada pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986, yang berbunyi:
Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986:

(1) Alat bukti ialah :
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan Hakim.

(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Sedangkan dasar hukum kewenangan Hakim Pengadilan TUN untuk menerapkan AAUPB untuk menguji KTUN bebas (vrije beschikking) yang digugat adalah ialah Pasal 16 Ayat (1) jo. Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. JUKLAK Mahkamah Agung No. 052/Td/TUN/III/1992 tanggal 24 maret 1992, pada butir V Tentang Diktum putusan angka 1.

Pasal 16 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, berbunyi:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Ketentuan demikian dalam hukum dikenal dengan asas Ius Curia Novit, yang berarti pengadilan (hakim) tahu hukum. Selajutnya Pasal 28 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, berbunyi:
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penjelasannya:

Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Butir V Tentang Diktum putusan angka 1 JUKLAK Mahkamah Agung No. 052/Td/TUN/III/1992 tanggal 24 maret 1992, berbunyi:

Di dalam hal hakim mempertimbangkan adanya Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagai alasan pembatalan penetapan, maka hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam diktum putusannya, melainkan cukup dalam pertimbangan putusan dengan menyebutkan asas mana dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang dilanggar dan akhirnya mengacu pada pasal 53 Ayat (2).

Dalam Pasal 53 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tidak dicantumkan secara tegas adanya AAUPB sebagai dasar pembatalan KTUN, namun didalam undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang baru yaitu UU No. 9 tahun 2004, AAUPB dijabarkan dalam Penjelasan pasal 53 Ayat (2) yang selengkapnya berbunyi:

(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Penjelasannya:
Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas:
- kepastian hukum;
- tertib penyelenggaraan negara;
- keterbukaan;
- proporsionalitas;
- profesionalitas;
- akuntabilitas,

Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Ketentuan inipun tidak membatasi hakim untuk terus merumuskan dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Oleh karena itu ia harus terus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan serta kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.




















Ad.4. Penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim (aspek penilaian- penghargaan pembuktian (bewijswaarderng)).

Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 menegaskan:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Kata “…untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim” diatas menimbulkan pemahaman sebagai berikut:
- pertama, untuk memperoleh suatu kebenaran materiil, diperlukan dua alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh Undang-undang (vide Pasal 100 UU No. 5 tahun 1986); syarat ini secara teoritis disebut syarat wettelijk.
- Kedua, biarpun bertumpuk-tumpuk alat bukti, belum cukup untuk memaksa hakim menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi diperlukan keyakinan hakim. Syarat ini secara teoritis disebut syarat negatief wettelijk.

Apabila pemahaman pertama yang digunakan oleh hakim Pengadilan TUN, yakni adanya dua alat bukti yang sah yang ditetapkan dalam undang-undang (vide Pasal 100 UU No. 5 tahun 1986), akan tetapi hakim tidak (belum) yakin, maka kebenaran yang diperoleh hanyalah kebenaran formal (formeele waarheid) sehingga mengakibatkan gugatan ditolak.

Apabila pemahaman kedua yang digunakan oleh Hakim Pengadilan TUN, yakni hakim yakin akan kebenaran dalil penggugat, akan tetapi tidak ada bukti yang diajukan atau alat bukti yang diajukan tidak mencukupi, maka gugatan demikian juga akan ditolak, karena jika dikabulkan akan melahirkan putusan yang bertentangan dengan syarat minimum pembuktian.

Berdasarkan kedua pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwa Keyakinan Hakim adalah merupakan alat bukti yang paling kuat diantara alat bukti yang ada. Keyakinan Hakim semakin penting artinya untuk menguji sebuah KTUN, karena untuk mengukur rechmatigheid sebuah KTUN bebas (Vrije Beschikking), Keyakinan Hakim akan dibangun berdasarkan AAUPB.

Sedangkan untuk KTUN terikat (gebonden beschikking), Keyakinan Hakim harus dipahami sebagai suatu nalar hukum (legal reasoning) sebab untuk menguji sah atau tidaknya KTUN terikat harus diukur dengan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan).

Sikap yang ditempuh oleh Hakim Pengadilan TUN tersebut selaras dengan makna asas Pembuktian Bebas. Manifestasi dari perpaduan pemahaman diatas terakomodir didalam Pasal 80 UU No. 5 Tahun 1986, inti dari pasal ini adalah keaktifan hakim dalam rangka mencari alat bukti untuk memperhalus keyakinannya. Pasal 80 UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi:

Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.


E. ALAT-ALAT BUKTI MENURUT PASAL 100 AYAT (1) UU NO. 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Untuk membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa diperlukan alat bukti. Alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam Peradilan TUN termuat di dalam Pasal 100 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yakni:
a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan ahli;
c. Keterangan saksi;
d. Pengakuan para pihak;
e. Pengetahuan hakim

1. Surat atau tulisan;

Alat bukti surat atau tulisan adalah : “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”.

Pasal 101 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan surat sebagai alat bukti terdiri atas (3) tiga jenis, yaitu:
a. Akta Otentik, yaitu Surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
c. Surat-surat lainnya yang bukan akta.

Dalam persidangan, pihak yang bersengketa dapat mengajukan bukti surat untuk menguatkan peristiwa sebagai dasar haknya atau sebagai dasar sangkalan terhadap hak lawannya. Kemudian, secara timbal balik pihak yang bersengketa berhak untuk minta diperlihatkan bukti-bukti surat yang digunakan dalam persidangan. Bilamana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila surat-surat yang berada dalam simpanan pejabat umum, maka hakim memerintahkan agar pejabat tersebut menyerahkan surat-surat diperlukan itu dalam sidang. Selanjutnya apabila ternyata pejabat yang bersangkutan tanpa alasan yang sah tidak memenuhi kewajibannya, maka hakim atas permohonan pihak yang bersengketa, atas dasar kewibawaan yang formal (the formele gezaagverhouding) jabatannya dapat memerintahkan pejabat tersebut memenuhi kewajibannya.

Akta otentik ada dua macam, yaitu :
a. Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)
b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)























Dalam hukum pembuktian akta otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna bagi pihak yang namanya tercantum dalam akta itu, para ahli warisnya, dan semua orang yang mendapat hak darinya tentang segala sesuatu yang tercantum dalam akta otentik itu. Selain itu, akta otentik juga mempunyai kekuatan bukti yang sempurna tentang semua keterangan yang berkaitan erat dengan peristiwa hukum dalam akta tersebut. Penilaian kekuatan pembuktian tentang isi suatu akta otentik terhadap pihak ke-3 (ketiga) yang tidak mempunyai kaitan dengan akta otentik itu, diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.

Selain akta otentik, dalam pembuktian dikenal pula adanya akta dibawah tangan. Suatu akta dibawah tangan yang tanda tangannya secara tegas diakui oleh pihak terhadap siapa akta tersebut dipergunakan sebagai bukti, mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan akta otentik bagi pihak-pihak yang menandatangani akta tersebut, para ahli warisnya dan semua orang yang mendapat hak darinya.

Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya. Tindasan, fotocopy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan, fotocopy, dan salinan akta itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan. Tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.

2. Keterangan ahli;

Tentang saksi ahli diatur dalam Pasal 102 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Ayat (2): Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli.

Selanjutnya Pasal 103 UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi:

Ayat (1): Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli.
Ayat (2): Seseorang ahli dalam persidangan harus memberikan keterangan baik dengan surat maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan yang sebaik-baiknya.

Adakalanya suatu peristiwa itu kurang jelas persoalannya. Untuk menjelaskan agar suatu peristiwa agar menjadi lebih terang atau jelas, atas permintaan yang bersengketa atau karena jabatannya, hakim dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk didengar keterangannya baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103 UPTUN). Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli. Penilaian keterangan ahli diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.

3. Keterangan saksi;

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.

Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di dengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 UPTUN sebagai berikut :
  1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa
  2. Isteri atau salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah cerai.
  3. Anak yang belum berusia 17 tahun.
  4. Orang sakit ingatan
Orang yang dapat minta mengundurkan diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian (Pasal 89 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986) adalah:

Ayat (1):
a. Saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki atau perempuan salah satu pihak.
b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.

Ayat (2):
Ada atau tidak adanya dasar kewajibannya untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan hakim.

Cara mengajukan pertanyaan kepada saksi:
Pasal 90 UU No. 5 Tahun 1986 mengatur sebagai berikut:
Ayat (1): Pertanyaan diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui hakim ketua sidang.
Ayat (2): Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan hakim ketua sidang tidak ada kaitannya dengan sengketa pertanyaan itu ditolak.

Hal-hal penting mengenai saksi antara lain:
(a). Pasal 91 UU No. 5 Tahun 1986

Ayat (1): Apabila Penggugat atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim ketua sidang dapat mengangkat ahli alih bahasa.

Ayat (2): Sebelum melaksanakan tugasnya ahli alih bahasa tersebut wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan untuk mengalihkan bahasa yang dipahami oleh Penggugat atau saksi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan sebaik-baiknya.

Ayat (3): orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut.

(b). Pasal 92 UU No. 5 Tahun 1986

Ayat (1): Dalam hal Penggugat atau saksi bisu, dan atau tuli dan tidak dapat menulis hakim ketua sidang dapat mengangkat orang yang pandai bergaul dengan penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.

Ayat (2): Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan.

Ayat (3): Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan atau tuli tetapi pandai menulis, hakim ketua sidang dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan tersebut kepada penggugat atau saksi tersebut dengan perintah agar ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan.

(c). Pasal 93 UU No. 5 Tahun 1986

Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di persidangan.

(d). Pasal 94 UU No. 5 Tahun 1986

Ayat (1): Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan didengar dalam persidangan pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.

Ayat (2): Apabila yang bersangkutan telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat didengar keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersangkutan.

Ayat (3): Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir dipersidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hakim, hakim dibantu oleh panitera datang ketempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar saksi tersebut.

(e). Pasal 104 UU No. 5 Tahun 1986
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri.

Alat bukti saksi ini digunakan untuk mempertahankan kebenaran gugatan penggugat atau untuk menguatkan kebenaran bantahan yang diajukan oleh tergugat di muka persidangan. Saksi yang didengar dalam persidangan dapat terjadi atas permintaan salah satu pihak (Penggugat atau tergugat) atau atas perintah hakim karena jabatannya. Setelah dipanggil dengan patut, ternyata saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan hakim mempunyai alasan yang cukup untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, hakim ketua sidang dapat memerintahkan agar saksi dibawa ke persidangan dengan bantuan polisi.

Dari ketentuan ini tampak bahwa menjadi saksi merupakan salah satu kewajiban hukum bagi setiap orang. Ketentuan ini juga merupakan upaya pemaksa agar saksi yang diperlukan tidak memandang remeh kepada pengadilan.

Untuk kepentingan kesaksian, tak seorangpun boleh dipaksa hadir ke persidangan, jika ia bertempat tinggal di luar wilayah hukum pengadilan yang sedang memeriksa perkara. Apabila saksi yang demikian ini telah dipanggil tetapi tidak memenuhi panggilan pengadilan, maka ia tidak boleh dihukum. Jika kesaksian seperti ini memang diperlukan, untuk mendengar keterangannya pengadilan yang bersangkutan dapat melimpahkan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi. Sesudah mendengar keterangan saksi, pengadilan yang menerima limpahan yang menyampaikan berita acara pendengaran saksi itu kepada pengadilan yang melimpahkannya.

Dalam memberikan keterangan tentang suatu peristiwa, seorang saksi harus menjelaskan sumber pengetahuannya, waktu terjadinya dan menerangkan sejelas mungkin isinya. Kesimpulan atau pendapat sebagai hasil pemikiran dari saksi sendiri bukan merupakan kesaksian.

Dalam menilai suatu kesaksian, Wicipto Setiadi berpendapat, bahwa hakim hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. alasan-alasan saksi untuk memberikan keterangan;
b. perikehidupan, kedudukan, dan martabat saksi dalam masyarakat setempat dan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi saksi dalam memberikan keterangan;
c. kesesuaian antara kesaksian yang satu dengan kesaksian yang lainnya;
d. kesesuaian kesaksian dengan suatu alat bukti lainnya yang diajukan dalam perkara itu.

Penilaian kekuatan bukti keterangan seorang saksi mengenai suatu peristiwa yang didengarnya dari orang lain, diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.

Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya, adalah:
























4. Pengakuan para pihak;

Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.

Dalam hukum acara perdata Pasal 174 dan 175 HIR dikenal 2 (dua) macam pengakuan, yakni pengakuan yang diberikan di depan persidangan dan pengakuan yang diberikan diluar persidangan. Yang membedakan kedua macam pengakuan ini adalah nilai pembuktiannya.

Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu adalah benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan seperti ini tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dapat diterima oleh hakim sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 105 UU No. 5 Tahun 1986.

“pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dapat diterima oleh hakim”

Pengakuan yang diberikan diluar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan perkataan lain, pengakuan yang diberikan di luar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut. Atau bisa juga hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja.
Hakim dalam menerima dan menilai suatu pengakuan harus secara keseluruhan. Hakim tidak boleh memisahkan pengakuan dari keterangan pembelaan yang menyertainya agar tidak merugikan pihak yang memberikan pengakuan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pihak yang jujur, yang secara terus terang mengungkapkan dengan sebenarnya segala sesuatu yang telah terjadi.

5. Pengetahuan Hakim

Pasal 106 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pengetahuan hakim adalah hal yang diketahui dan diyakini kebenarannya. Melihat pada pengertian ini, maka pengetahuan hakim ini bisa juga diartikan sebagai apa yang dilihat oleh hakim dalam persidangan.

Mengenai pengelihatan hakim ini, ada yurisprudensi yang memperkuat bahwa pengelihatan hakim ini merupakan alat bukti. Yurisprudensi tersebut terdapat dalam Putusan Mahkamah

Agung tanggal 10 April 1957 Reg. No. 213 K/Sip/1955, yang antara lain menyatakan:
“Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 Ayat (1) bersambung dengan Pasal 164 HIR tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang ahli, sedang pengelihatan hakim pada suatu tanda tangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di dalam usaha pembuktian”

Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan Pengetahuan Hakim adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang Penggugat yang dirusak oleh Tergugat dan seberapa jauh kerusakannya itu.

Pedoman hakim dalam pembuktian telah diatur dalam Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi:

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Hal ini dimaksudkan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam hukum acara perdata maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa tergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri:
a. Apa yang harus dibuktikan;
b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri;
c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian;
d. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Hadjon, Philipus M, et.,al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administratif Law), (Cet. Ketiga, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1994)

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:Liberty, 1988.

Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982)

Surowidjojo, Arief T, Hukum, Demokrasi, dan Etika Lentera Menuju Perubahan, (Jakarta : Masyarakat Transparansi Indonesia, 2003)

Sutantio, Retno Wulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju: Bandung, 1995

Wijoyo, Suparto, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, (Surabaya: Airlangga University Press, 1997

MAKALAH/JURNAL

Perhimpunan Ahli Hukum Indonesia, Majalah Hukum, 1958, No.1-2,

TESIS

Setiadi, Wicipto, Hukum Acara Pengadilan Administrasi Negara Tingkat Pertama, Tesis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.1991

PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, KUH Perdata
Indonesia, Undang-Undang No.5 Yahun 1986 Undang-Undang No.9 Yahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang No.5 Yahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Indonesia, Undang-undang nomor 14 Tahun 1970 Jo. Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
SEMA No. 2 Tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN

INTERNET

www.santoslolowang.com, Suatu Tinjauan Tentang Hukum Pembuktian Dengan Pengakuan, diakses pada tanggal 1 Maret 2009

Jumat, 02 Januari 2009

KRITERIA PUTUSAN HAKIM YANG IDEAL

KRITERIA PUTUSAN HAKIM YANG IDEAL
(Menyelami Pandangan PROF.DR.BAGIR MANAN,SH.,MCL
(Ketua Mahkamah Agug RI) Mengenai Mutu Putusan Hakim)
Oleh :
TEGUH SATYA BHAKTI, SH.,MH
[1].




"BERHATI-HATILAH TERHADAP 3 (TIGA) HAL YANG MERUSAK KEADILAN:
1. SIMPATI DAN KEBENCIAN, 2. KEKAYAAN DAN KEMISKINAN,
3. KEMULIAAN DAN KEHINAAN RAKYAT JELATA"
(NABI BESAR MUHAMMAD S.A.W)




A. PENDAHULUHAN



Sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum, tugas Hakim sungguh sangat berat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable).[2] Dalam posisi seperti ini, Hakim dituntut harus mempunyai kemampuan profesional, serta moral dan integritas yang tinggi yang mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum.


Beratnya tanggung jawab Hakim disebabkan oleh karena Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu pengetahuan hukum. Mengingat beratnya tanggung jawab itu maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, melainkan Hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik, mampu berkomunikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dihadapan masyarakat. [3]

Tugas Hakim selain bersifat praktis rutin, juga bersifat ilmiah. Sifat tugas Hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa Hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan putusannya. Dengan cara ini pula Hakim dapat berperan aktif dalam reformasi hukum yang sedang dituntut oleh masyarakat saat ini.

Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat.[4]

Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.[5] Dengan kata lain, kebebasan Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, undang -undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.



B. PUTUSAN SEBAGAI INSTRUMENT PERADILAN


Putusan adalah hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-pihak. Dari rangkaian proses peradilan tidak satupun di luar putusan peradilan yang dapat menentukan hak suatu pihak dan beban kewajiban pada pihak lain, sah tidaknya suatu tindakan menurut hukum dan meletakkan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak dalam perkara. Di antara proses peradilan hanya putusan yang menimbulkan konsekuensi krusial kepada para pihak.

Putusan Hakim menurut Sudikno Mertodikusumo adalah “…suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.[6]



C. KEDUDUKAN PUTUSAN


Teori "Reine Rechtslehre" atau "The pure theory of law" diterjemahkan dengan "teori hukum murni" yang terkenal dari Hans Kelsen dapat dipakai menentukan kedudukan putusan badan peradilan dalam sistem tata hukum sebagai sistem norma yang bertingkat. Ajaran tersebut hanya mau melihat hukum sebagai kaidah yang dijadikan objek ilmu hukum. Diakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, filosofis dan sebagainya, akan tetapi yang dikehendakinya adalah “teori yang murni” mengenai hukum. Setiap suatu kaidah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah (stufenbau). Dipuncak “stufenbau” terdapat “grundnorm” atau kaidah fundamental yang merupakan hasil pemikiran yuridis. Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum secara hierarkis, yaitu: (1) Kaidah hukum dari konstitusi; (2) Kaidah hukum umum atau abstrak dalam undang-undang atau hukum kebiasaan; (3) Kaidah hukum individual atau kaidah hukum konkrit pengadilan.[7]

Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan: “Dalam menyelesaikan suatu sengketa antara dua pihak atau ketika menghukum seorang terdakwa dengan suatu hukuman, pengadilan menerapkan suatu norma umum dari hukum undang-undang atau kebiasaan. Tetapi secara bersamaan pengadilan melahirkan suatu norma khusus yang menerapkan bahwa sanksi tertentu harus dilaksanakan terhadap seorang individu tertentu. Norma khusus ini berhubungan dengan norma-norma umum, seperti undang-undang berhubungan dengan konstitusi. Jadi, fungsi pengadilan, seperti halnya pembuat undang-undang, adalah pembuat dan penerap hukum. Fungsi pengadilan biasanya ditentukan oleh norma-norma umum baik menyangkut prosedur maupun isi norma yang harus ia buat, sedangkan pembuat undang-undang biasanya ditentukan oleh konstitusi hanya menyangkut prosedur saja. Tetapi hanyalah suatu perbedaan derajat saja.[8]

Sehubungan dengan hal diatas, Otje Salman berpendapat bahwa “... hukum itu bersifat hierarkis artinya hukum itu tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya adalah sebagai berikut : yang paling bawah itu putusan badan pengadilan, atasnya undang-undang dan kebiasaan, atasnya lagi kontitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm. Kelsen tidak menyebutkan apa itu grundnorm, dan hanya merupakan penafsiran yuridis saja dan menyangkut hal-hal yang bersifat metayuridis.” [9]

Dengan demikian putusan badan peradilan adalah norma yang ditujukan kepada peristiwa konkrit yang disebut norma khusus. Norma khusus adalah penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma umum berupa undang-undang dan kebiasaan. Norma umum juga merupakan penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma dasar berupa konstitusi. Begitupun norma dasar bersandar kepada grundnorm (Hans Kelsen) yang bersifat metayuridis atau natural law (K.C. Wheare). Struktur norma dapat digambarkan sebagai berikut:[10]




Bagan Struktur Norma Hukum







Pendapat Otje Salman yang menggambarkan norma yang bersifat hierarkhis dalam arti hukum tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Putusan pengadilan berada pada urutan paling bawah, dan di atasnya undang-undang dan kebiasaan, diatasnya lagi konstitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm.

Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat bahwa Putusan pengadilan adalah suatu tindakan penerapan norma umum, dan dalam waktu yang bersamaan adalah pembentukan norma khusus, dan norma khusus tidak hanya mengikat bagi kasus tertentu yang ditanganinya, akan tetapi dapat melahirkan suatu norma yang umum pada kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan pada masa mendatang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hans Kelsen: Putusan pengadilan dapat juga melahirkan suatu norma umum. Putusan pengadilan bisa memiliki kekuatan mengikat bukan hanya bagi kasus tertentu yang ditanganinya saja melainkan juga bagi kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan. Suatu putusan pengadilan bisa memiliki karakter sebagai yurisprudensi, yaitu putusan yang mengikat bagi putusan mendatang dari semua kasus yang sama. Namun demikian, suatu putusan dapat memiliki karakter sebagai yurisprudensi hanya jika putusan itu bukan merupakan penerapan suatu norma umum dari hukum substantif yang telah ada sebelumnya, hanya jika pengadilan bertindak sebagai pembuat peraturan.[11]


D. BEBERAPA PANDANGAN MENGENAI PUTUSAN HAKIM YANG IDEAL [12]


1. Putusan Hakim Dalam Perspektif Tuntutan Sosial

Secara sosiologis, struktur pengadilan beserta Hakim-Hakimnya tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial masyarakatnya. Dengan adanya penilaian dari masyarakat mengenai output pengadilan berarti telah terjadi persinggungan antara lembaga peradilan dengan masyarakat di mana lingkungan peradilan itu berada. Implikasi dari penilaian masyarakat terhadap putusan pengadilan ter- sebut mengandung makna, bahwa pengadilan bukanlah lembaga yang terisolir dari masyarakatnya. Pengadilan tidak boleh memalingkan muka dari rasa keadilan dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang. Para Hakim senantiasa dituntut untuk menggali dan memahami hukum yang hidup dalam masyarakatnya.[13]

PAUL SCHOLTEN dalam karya terkenalnya Algemeen Deel menyebut aktivitas Hakim sebagai rechtsverfijning atau proses penghalusan hukum yang pada akhirnya juga terkenal sebagai rechtsvinding alias penemuan hukum. Pada hakekatnya keberadaan hukum yang terwadahkan sekalipun, juga harus selalu mengalami proses penghalusan dan penyempurnaan. Artinya, hukum tidak hanya bisa bersandar pada kekuasaan manusia yang statis saja. Hukum juga harus mampu mengikuti dinamika yang timbul akibat dari adanya hukum kodrati. Mengalir dari satu ruang ke ruang yang lain, dari satu waktu ke waktu yang lain.

Bagi penganut teori atau konsep yang dipengaruhi oleh pandangan sosial mengenai hukum akan berkata: “Hakim yang baik adalah Hakim yang memutus sesuai dengan kenyataan atau tuntutan sosial yang ada dalam masyarakat”.

Menurut pandangan ini, ketentuan hukum harus dinomorduakan, apabila perlu dikesampingkan. Gambaran pembuatan putusan Hakim sebagai kerja yuridis yakni menerapkan undang-undang saja bukanlah gambaran utuh tugas dan pekerjaan Hakim. Dengan demikian bekerjanya hukum di pengadilan bukanlah proses yuridis semata, melainkan suatu proses sosial yang lebih besar.

Pandangan ini menurut Bagir Manan terlalu sosial oriented, selain dapat menimbulkan ketidakpastian, putusan Hakim dapat menjadi sangat subjektif, sepenuhnya tergantung pada kemauan Hakim yang bersangkutan. Kepentingan masyarakat berubah, kepentingan yang satu berbeda dengan kepentingan yang lain, sehingga tidak ada konsistensi putusan. Orientasi sosial ini dapat pula merugikan kepentingan pencari keadilan. Harus diingat, kepentingan utama dalam suatu perkara (putusan) adalah kepentingan pencari keadilan (pihak-pihak yang berpekara), baru kemudian kepentingan masyarakat. Sangatlah baik kalau kepentingan pencari keadilan dan kepentingan masyarakat berjalan seiring, atau dapat saling memberi, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan satu sama lain. Apabila bertentangan, Hakim (putusan Hakim) wajib mengutamakan kepentingan pihak yang berpekara, karena merekalah yang mencari keadilan, merekalah yang secara langsung akan menerima konsekuensi putusan.[14]

Ada hal lain yang harus disadari oleh mereka yang sangat menekankan fungsi sosial hukum. Pandangan sosiologis seperti ini dapat bersifat totaliter yang hendak menundukkan kepentingan individual (pencari keadilan) dengan kepentingan sosial belaka. Sesuatu cara pandang yang kurang sesuai dengan tuntutan demokrasi, dan penghormatan hak-hak individu.

2. Putusan Hakim Dalam Perspektif Kepastian Hukum

Bagi penganut teori atau konsep yang dipengaruhi oleh kepastian mengenai hukum akan berkata: “Putusan Hakim yang baik adalah putusan yang menjamin kepastian hukum.”. Menurut pandangan ini, hukum harus diterapkan sebagaimana adanya. Tidak boleh ada pandangan pribadi dalam memutus perkara. Hukum adalah hukum. Apakah hukum yang diterapkan itu baik atau buruk, bukanlah tugas Hakim untuk menilai. Menilai adalah urusan etik dan urusan politik (pembentukan hukum). Pandangan ini ditunjang pula oleh asas universal bahwa Hakim wajib memutus perkara menurut hukum.

Dalam pandangan ini penggarapan hukum dilakukan dengan telaah undang-undang, yurisprudensi maupun literatur hukum ansich. Menurut pandangan kaum legalitas ini, penjabaran hukum dan keadilan adalah identik dengan undang-undang. Dengan demikian Hakim hanyalah corong undang-undang. Baginya, yang menjadi Hakim hanyalah apa yang menjadi bunyi undang-undang tersebut. Bagi masyarakat yang sudah maju dan berkembang, pandangan ini akan mempunyai banyak tantangan. Dalam prakteknya akan mudah terjadi diskrepansi (ketidakcocokan) antara hukum dengan kenyataan yang berlaku di masyarakat karena hanya menitikberatkan pada tercapainya kepastian hukum. [15]

Sehubungan dengan hal diatas, Bagir Manan berpendapat, bahwa pandangan ini (yang menekankan kepastian hukum) dapat dipandang sebagai terlalu normatif. Hukum, apalagi dipersempit menjadi hukum tertulis belaka, adalah hukum yang mencerminkan keadaan (sosial, ekonomi, politik), interest, dan berbagai latar belakang pada saat aturan itu lahir atau ditetapkan. Hukum semacam ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan baru yang mungkin berbeda dengan suasana hukum yang akan diterapkan. Menerapkan secara serampangan hukum tersebut demi kepastian hukum dapat berhadapan dengan rasa keadilan baik bagi pencari keadilan maupun masyarakat.

3. Putusan Hakim Dalam Perspektif Perpaduan Antara Tuntutan Sosial Dan Kepastian Hukum

“Ius est ars aequi et boni,” begitu jawab CELSUS ketika ditanyakan padanya arti hukum. Hukum adalah seni (dalam menerapkan) nilai kebaikan dan kepatutan.

Pendapat CELCUS diatas dapat dipakai sebagai dasar untuk memahami apabila terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan masyarakat, dengan cara dikembalikan pada keadaan yang senyatanya terjadi dan apa yang dikehendaki oleh masyarakat.

Pendekatan hukum yang fungsional senantiasa mengukur norma hukum dengan mendasarkan pada efektivitasnya dan bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat. Cara berpikir fungsional adalah berpikir dalam kasus dan tidak semata-mata hanya mendasarkan pada suatu tatanan yang menghendaki status quo. Oleh karena itu, keadilan dan kemanfaatan sosial masyarakat akan selalu dikedepankan. Dengan demikian, dalam penegakan hukumnya rumusan undang-undang tidak hanya dipahami sebatas bunyi undang-undang.

Melalui pendekatan yang fungsional ini, hukum menjadi satu sistem yang terkait dengan sistem lain di luar hukum. Dengan demikian, pasal-pasal yang ada dalam undang-undang tidak hanya dianggap sebagai pasal yang mati (dan memang demikian seharusnya), akan tetapi hendaknya dilihat dan dipahami sebagai satu rumusan yang senantiasa dapat dijabarkan untuk mewujudkan kehendak dari undang-undang itu sendiri. Bahkan apabila hukum dilihat sebagai suatu sistem yang mempunyai tujuan tertentu, maka rumusan pasal-pasal yang ada haruslah dilihat sebagai wahana untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Proses mengadili -- dalam kenyataannya -- bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam suatu struktur sosial tertentu.
Sehubungan dengan diatas, menurut Cardozo, bahwa dalam hal ada aturan hukum namun terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan masyarakat, tugas Hakim adalah menafsirkan aturan tersebut agar hukum tersebut dapat sesuai dengan keadaan-keadaan baru. Dengan menafsirkan maka dapat dipertemukan antara kepentingan kepastian (putusan berdasar hukum), dan kepentingan sosial dengan memberi makna baru terhadap hukum yang ada.[16] Dalam kerangka yang lebih luas, aktualisasi aturan hukum dilakukan dengan menemukan hukum (rechtsvinding, legalfinding) yang meliputi menemukan aturan hukum yang tepat, menafsirkan, melakukan konstruksi, dan lain sebagainya.

4. Putusan Hakim Dalam Perspektif Intelektual

Selain berbagai pilihan konseptual diatas, dari perspektif intelektual, didapati kesulitan lain menjadi Hakim yang baik. Dalam konteks ini dapat dipertanyakan, yang manakah yang lebih utama: ”apakah yang dikedepankan aspek pertanggungjawaban atau aspek kepuasan pencari keadilan dan atau masyarakat”?

Jawaban yang ideal bagi pertanyaan diatas menurut Bagir Manan adalah bahwa: “Hakim yang baik adalah yang mampu memadukan antara pertanggungjawaban dengan kepuasan”. Pendekatan sinkritik seperti ini hanya memberi penyelesaian rukhaniah atau konseptual belaka bukan kenyataan. Dalam kenyataan, suatu putusan yang bertanggungjawab mungkin sekali tidak memuaskan pencari keadilan atau masyarakat. Suatu putusan bertanggungjawab bukan menyangkut memuaskan atau tidak memuaskan, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Suatu putusan bertanggungjawab adalah putusan yang mempunyai tumpuan-tumpuan konsep yang kuat, dasar hukum yang kuat. Alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan (hukum dan atau non hukum) yang kuat. Orang boleh berbeda terhadap putusan semacam ini, tetapi tidak ada yang dapat menyalahkan karena diputus atas dasar konsep yang kuat. Jadi, harus dibedakan antara pertanggungjawaban dengan rasa puas atau tidak puas terhadap suatu putusan. Pertanggungjawaban adalah untuk Hakim. Puas atau tidak puas untuk pencari keadilan.[17]

Dalam perspektif intelektual ini, Hukum dipandang bukan sebagai bunyi tetapi pengertian. Pengertian hukum dapat diketemukan dalam konteks masa lalu (historical), atau dalam konteks kekinian (contemporary) atau dalam konteks masa depan (futurity),[18] sedangkan Hakim dipandang sebagai aparat penegak hukum, sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, yang telah dilengkapi dengan modalitas berupa rasio, suara hati, dan intuisi.[19]

Sekalipun kesadaran hukum diabstraksi melalui proses rasional, namun kinerja rasio ini harus mendapat masukan terus-menerus dari suara hati dan intuisinya. Penalaran ilmu hukum (sebagai ilmu praktis) tidak boleh terjebak pada pemanfaatan salah satu modalitas belaka, yakni rasio. Ketiga modalitas itu (rasio, suara hati, dan intuisi) harus dikerahkan bersama-sama. Rasio memang diperlukan untuk menjustifikasi suatu putusan melalui parameter-parameter keilmiahan ilmu hukum. Namun rasio juga harus bekerja sama dengan suara hati dan intuisinya dalam rangka menangkap kesadaran hukum masyarakatnya. Di tangan Hakim, ilmu hukum menjadi suatu kiat (ars), bukan sekadar ilmu dogmatis. [20]

Dalam teori membuat putusan, van Apel Doorn mengatakan, bahwa hukum itu a logis, tetapi penggarapannya logis. Mengapa a logis karena hukum itu normatif dan mengandung nilai, karena mengandung nilai maka sarat dengan emosi. Emosi bukan berarti marah, melainkan ketajaman emosional atau kecerdasan emosional. Lebih lanjut, argumentasi hukum dalam suatu putusan pengadilan selain memuat mengenai pertimbangan hukum juga memuat diktum putusan. Pertimbangan putusan Hakim berkaitan dengan hukum materiil dan hukum formil, sedangkan putusannya sendiri dalam kaitannya dengan manajemen berkaitan dengan IQ (Intelectual Quotient), tidak semata-mata rasional saja, tetapi rasa itu harus ada hati nurani dan intuisi.

5. Putusan Hakim Dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam hukum Islam, masalah putusan tidaklah berbeda dengan arti atau makna yang terdapat dalam hukum nasional, yang masih berbau hukum Eropa Continental. Putusan Hakim adalah merupakan suatu hukum atau undang-undang yang mengikat antara para pihak yang bersangkutan, sedangkan menurut hukum Islam adalah suatu hak bagi mahkum-lah (pihak yang dimenangkan) dari mahkum-alaih (pihak yang dikalahkan), jadi tidaklah ada perbedaan.[21]
Mengambil suatu putusan oleh para hakim, dalam hukum Islam adalah merupakan suatu perintah dan begitu juga isi dari pada putusan itu haruslah ditaati oleh para muslim, hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat An-Nisaa' ayat 58-59, yang mengatur sebagai berikut :

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menunaikan amanat kepada ahlinya (rakyat umum) dan apabila kamu (para hakim) hendak memutuskan sesuatu hukum diantara manusia hendaklah memutuskan itu adil. Sesungguhnya amat baik pelajaran yang diajarkan oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat”.

"Hai orang- orang yang beriman taatilah (hukum) Allah dan taatilah (hukum) pesuruh-Nya dan taatilah (hukum yang dibuat oleh) ulul amri kamu (sesuai dengan hukum Allah dan hukum pesuruh-Nya itu) dan jika timbul kembali pertentangan di antara kamu (dan ulul amri kamu) kembalikan hal itu semua (hukum) Allah dan (hukum) pesuruh-Nya itu, jika kamu masih percaya pada Allah dan hari kemudian. Demikian itulah jalan yang terbaik dan terindah".[22]

Dari ayat tersebut diatas dapat dilihat bahwa hakim dalam mengambil suatu putusan itu, disamping berdasarkan kepada ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadist juga melihat ketentuan yang dibuat oleh para pemuka agama atau pimpinan, dan apabila terjadi pertentangan kembalilah kepada hukum Allah (Al-Qur'an).

Disamping dasar untuk mengambil suatu putusan pada ayat tersebut diuraikan tentang kewajiban untuk mentaati hukum atau putusan yang ditetapkan oleh hakim. Dengan demikian jelas bahwa putusan hakim itu mempunyai daya ikat atas orang yang bersengketa.

Dalam suatu hadist ada suatu larangan bagi seorang hakim untuk tidak memutus dalam sesuatu perkara kalau sedang marah atau emosi, dan dalam keadaan tidak sempurna jalan pikirannya. Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Jama'ah sebagai berikut yang artinya :"Janganlah hakim menghukum antara dua orang sewaktu dia sedang marah".[23]

Dari hadis tersebut bisa diambil suatu kesimpulan bahwa larangan untuk mengambil suatu keputusan tersebut adalah agar jangan sampai terjadi keputusan yang kurang adil.

Seorang hakim dalam memutuskan suatu pertikaian diantara manusia, landasan hukum yang dipergunakan adalah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab Fiqih Islam, yaitu nash-nash yang pasti ketetapan adanya dan pasti petunjuk hukumnya dari Al-Qur'an dan sunnah serta hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama. Dengan demikian putusan itu baru sempurna dalam hukum Islam.



E. PENUTUP


Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial bagi masyarakat. Tidak dipungkiri memang, apabila keadilan yang lebih ditonjolkan maka akan terjadi dilema dengan sisi kepastian hukum. Apabila terjadi benturan antara keadilan dan kepastian hukum, maka dapatlah dilihat bagaimana kemanfaatan putusan pengadilan bagi masyarakat.

Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedepankan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial bagi masyarakat dalam setiap putusan yang dibuatnya.

Dalam mewujudkan cita-cita di atas, Hakim memegang peran sentral. Baik atau buruknya citra pengadilan banyak tergantung pada putusan yang dibuat oleh para Hakim. Dalam membuat putusan tersebut, Hakim tidak hanya terlingkupi oleh faktor yuridis saja, melainkan terlingkupi pula oleh variabel sosiologis yang amat komplek.

Mutu putusan para Hakim berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka. Dari sudut kompetensi-keras (hard competence), profesionalisme Hakim diukur antara lain dari mutu putusannya. Putusan atas suatu perkara ditentukan oleh penguasaan si Hakim atas bidang-bidang keilmuwan yang relevan.

Dengan penekanan pada Hakim akan penguasaan bidang spesialisasi tertentu yang lebih optimal dan spesifik akan materi persidangan, dapat diharapkan putusan Hakim menjadi lebih tinggi kualitasnya.



DAFTAR PUSTAKA



BUKU

Bakry, Hasbullah Pedoman Islam di Indonesia, Universitas Indonesia Pers: Jakarta: 1988

Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State) diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, (Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa: bandung, 2006)

Manan, Bagir, Menjadi Hakim Yang Baik Pusdiklat Teknis Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Jakarta, 2008

Mertodikusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata , (Liberty: Yogjakarta, 1988) hal 167

Salam Madku, Muhammad, Peradilan Dalam Islam, Binas Ilmu, Surabaya, 1990

Salman, Otje, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1987

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986



DISERTASI
Fachruddin, Irfan, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003


DATA PENELITIAN
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di Bidang Peradilan, Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 10 Januari 2003


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan KeHakiman.


INTERNET
Shidarta, Putusan Hakim dengan Rasa Hayat Historis, http://www.Dr.Shidarta,SH,M.,Hum.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008

Zudan Arif Fakrulloh, Hakim SosiologI, Hakim Masa Depan, http://www.indomedia.com/bernas/9708/26/UTAMA/26opi.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008

[1] Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin
[2] Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di Bidang Peradilan, Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 10 Januari 2003, page.iii
[3] Ibid
[4] Zudan Arif Fakrulloh, Hakim Sosiologi, Hakim Masa Depan, http://www.indomedia.com/bernas/9708/26/UTAMA/26opi.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008
[5] Penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[6] Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata , (Liberty: Yogjakarta, 1988) hal 167
[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986, hal. 127-128.
[8] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State) diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, (Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa: bandung, 2006), hal. 193
[9] Otje Salman, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1987, hal.. 11.
[10] Irfan Fachruddin, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003, Hal. 252
[11] Hans Kelsen, Op., Cit, hal. 194
[12] Disarikan dari Makalah Bagir Manan, Menjadi Hakim Yang Baik, Makalah pertama kali disampaikan sebagai ceramah untuk calon-calon Hakim, di Malang, 7 Desember 2006, dan telah dipublikasikan oleh Pusdiklat Teknis Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Jakarta, 2008, hal. 3-8
[13] Zudan Arif Fakrulloh, Op., Cit
[14] Bagir Manan, Ibid
[15] Zudan Arif Fakrulloh, Op., Cit
[16] Cardozo adalah seorang Hakim Agung (Judicial Process) yang juga adalah guru besar, dikutip dari Bagir Manan, Op., Cit, hal. 5
[17] Ibid., hal. 7
[18] Ibid
[19] Shidarta, Putusan Hakim dengan Rasa Hayat Historis, http://www.Dr.Shidarta,SH,M.,Hum.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008
[20] Ibid
[21] Muhammad Salam Madku, Peradilan Dalam Islam, Binas Ilmu, Surabaya, 1990, hal. 127
[22] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Universitas Indonesia Pers: Jakarta: 1988, hal. 337
[23] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Cetakan XVII, Attahiryah: Jakarta: 1976, hal. 447