Jumat, 02 Januari 2009

KRITERIA PUTUSAN HAKIM YANG IDEAL

KRITERIA PUTUSAN HAKIM YANG IDEAL
(Menyelami Pandangan PROF.DR.BAGIR MANAN,SH.,MCL
(Ketua Mahkamah Agug RI) Mengenai Mutu Putusan Hakim)
Oleh :
TEGUH SATYA BHAKTI, SH.,MH
[1].




"BERHATI-HATILAH TERHADAP 3 (TIGA) HAL YANG MERUSAK KEADILAN:
1. SIMPATI DAN KEBENCIAN, 2. KEKAYAAN DAN KEMISKINAN,
3. KEMULIAAN DAN KEHINAAN RAKYAT JELATA"
(NABI BESAR MUHAMMAD S.A.W)




A. PENDAHULUHAN



Sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum, tugas Hakim sungguh sangat berat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable).[2] Dalam posisi seperti ini, Hakim dituntut harus mempunyai kemampuan profesional, serta moral dan integritas yang tinggi yang mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum.


Beratnya tanggung jawab Hakim disebabkan oleh karena Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu pengetahuan hukum. Mengingat beratnya tanggung jawab itu maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, melainkan Hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik, mampu berkomunikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dihadapan masyarakat. [3]

Tugas Hakim selain bersifat praktis rutin, juga bersifat ilmiah. Sifat tugas Hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa Hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan putusannya. Dengan cara ini pula Hakim dapat berperan aktif dalam reformasi hukum yang sedang dituntut oleh masyarakat saat ini.

Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat.[4]

Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.[5] Dengan kata lain, kebebasan Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, undang -undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.



B. PUTUSAN SEBAGAI INSTRUMENT PERADILAN


Putusan adalah hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-pihak. Dari rangkaian proses peradilan tidak satupun di luar putusan peradilan yang dapat menentukan hak suatu pihak dan beban kewajiban pada pihak lain, sah tidaknya suatu tindakan menurut hukum dan meletakkan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak dalam perkara. Di antara proses peradilan hanya putusan yang menimbulkan konsekuensi krusial kepada para pihak.

Putusan Hakim menurut Sudikno Mertodikusumo adalah “…suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.[6]



C. KEDUDUKAN PUTUSAN


Teori "Reine Rechtslehre" atau "The pure theory of law" diterjemahkan dengan "teori hukum murni" yang terkenal dari Hans Kelsen dapat dipakai menentukan kedudukan putusan badan peradilan dalam sistem tata hukum sebagai sistem norma yang bertingkat. Ajaran tersebut hanya mau melihat hukum sebagai kaidah yang dijadikan objek ilmu hukum. Diakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, filosofis dan sebagainya, akan tetapi yang dikehendakinya adalah “teori yang murni” mengenai hukum. Setiap suatu kaidah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah (stufenbau). Dipuncak “stufenbau” terdapat “grundnorm” atau kaidah fundamental yang merupakan hasil pemikiran yuridis. Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum secara hierarkis, yaitu: (1) Kaidah hukum dari konstitusi; (2) Kaidah hukum umum atau abstrak dalam undang-undang atau hukum kebiasaan; (3) Kaidah hukum individual atau kaidah hukum konkrit pengadilan.[7]

Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan: “Dalam menyelesaikan suatu sengketa antara dua pihak atau ketika menghukum seorang terdakwa dengan suatu hukuman, pengadilan menerapkan suatu norma umum dari hukum undang-undang atau kebiasaan. Tetapi secara bersamaan pengadilan melahirkan suatu norma khusus yang menerapkan bahwa sanksi tertentu harus dilaksanakan terhadap seorang individu tertentu. Norma khusus ini berhubungan dengan norma-norma umum, seperti undang-undang berhubungan dengan konstitusi. Jadi, fungsi pengadilan, seperti halnya pembuat undang-undang, adalah pembuat dan penerap hukum. Fungsi pengadilan biasanya ditentukan oleh norma-norma umum baik menyangkut prosedur maupun isi norma yang harus ia buat, sedangkan pembuat undang-undang biasanya ditentukan oleh konstitusi hanya menyangkut prosedur saja. Tetapi hanyalah suatu perbedaan derajat saja.[8]

Sehubungan dengan hal diatas, Otje Salman berpendapat bahwa “... hukum itu bersifat hierarkis artinya hukum itu tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya adalah sebagai berikut : yang paling bawah itu putusan badan pengadilan, atasnya undang-undang dan kebiasaan, atasnya lagi kontitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm. Kelsen tidak menyebutkan apa itu grundnorm, dan hanya merupakan penafsiran yuridis saja dan menyangkut hal-hal yang bersifat metayuridis.” [9]

Dengan demikian putusan badan peradilan adalah norma yang ditujukan kepada peristiwa konkrit yang disebut norma khusus. Norma khusus adalah penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma umum berupa undang-undang dan kebiasaan. Norma umum juga merupakan penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma dasar berupa konstitusi. Begitupun norma dasar bersandar kepada grundnorm (Hans Kelsen) yang bersifat metayuridis atau natural law (K.C. Wheare). Struktur norma dapat digambarkan sebagai berikut:[10]




Bagan Struktur Norma Hukum







Pendapat Otje Salman yang menggambarkan norma yang bersifat hierarkhis dalam arti hukum tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Putusan pengadilan berada pada urutan paling bawah, dan di atasnya undang-undang dan kebiasaan, diatasnya lagi konstitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm.

Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat bahwa Putusan pengadilan adalah suatu tindakan penerapan norma umum, dan dalam waktu yang bersamaan adalah pembentukan norma khusus, dan norma khusus tidak hanya mengikat bagi kasus tertentu yang ditanganinya, akan tetapi dapat melahirkan suatu norma yang umum pada kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan pada masa mendatang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hans Kelsen: Putusan pengadilan dapat juga melahirkan suatu norma umum. Putusan pengadilan bisa memiliki kekuatan mengikat bukan hanya bagi kasus tertentu yang ditanganinya saja melainkan juga bagi kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan. Suatu putusan pengadilan bisa memiliki karakter sebagai yurisprudensi, yaitu putusan yang mengikat bagi putusan mendatang dari semua kasus yang sama. Namun demikian, suatu putusan dapat memiliki karakter sebagai yurisprudensi hanya jika putusan itu bukan merupakan penerapan suatu norma umum dari hukum substantif yang telah ada sebelumnya, hanya jika pengadilan bertindak sebagai pembuat peraturan.[11]


D. BEBERAPA PANDANGAN MENGENAI PUTUSAN HAKIM YANG IDEAL [12]


1. Putusan Hakim Dalam Perspektif Tuntutan Sosial

Secara sosiologis, struktur pengadilan beserta Hakim-Hakimnya tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial masyarakatnya. Dengan adanya penilaian dari masyarakat mengenai output pengadilan berarti telah terjadi persinggungan antara lembaga peradilan dengan masyarakat di mana lingkungan peradilan itu berada. Implikasi dari penilaian masyarakat terhadap putusan pengadilan ter- sebut mengandung makna, bahwa pengadilan bukanlah lembaga yang terisolir dari masyarakatnya. Pengadilan tidak boleh memalingkan muka dari rasa keadilan dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang. Para Hakim senantiasa dituntut untuk menggali dan memahami hukum yang hidup dalam masyarakatnya.[13]

PAUL SCHOLTEN dalam karya terkenalnya Algemeen Deel menyebut aktivitas Hakim sebagai rechtsverfijning atau proses penghalusan hukum yang pada akhirnya juga terkenal sebagai rechtsvinding alias penemuan hukum. Pada hakekatnya keberadaan hukum yang terwadahkan sekalipun, juga harus selalu mengalami proses penghalusan dan penyempurnaan. Artinya, hukum tidak hanya bisa bersandar pada kekuasaan manusia yang statis saja. Hukum juga harus mampu mengikuti dinamika yang timbul akibat dari adanya hukum kodrati. Mengalir dari satu ruang ke ruang yang lain, dari satu waktu ke waktu yang lain.

Bagi penganut teori atau konsep yang dipengaruhi oleh pandangan sosial mengenai hukum akan berkata: “Hakim yang baik adalah Hakim yang memutus sesuai dengan kenyataan atau tuntutan sosial yang ada dalam masyarakat”.

Menurut pandangan ini, ketentuan hukum harus dinomorduakan, apabila perlu dikesampingkan. Gambaran pembuatan putusan Hakim sebagai kerja yuridis yakni menerapkan undang-undang saja bukanlah gambaran utuh tugas dan pekerjaan Hakim. Dengan demikian bekerjanya hukum di pengadilan bukanlah proses yuridis semata, melainkan suatu proses sosial yang lebih besar.

Pandangan ini menurut Bagir Manan terlalu sosial oriented, selain dapat menimbulkan ketidakpastian, putusan Hakim dapat menjadi sangat subjektif, sepenuhnya tergantung pada kemauan Hakim yang bersangkutan. Kepentingan masyarakat berubah, kepentingan yang satu berbeda dengan kepentingan yang lain, sehingga tidak ada konsistensi putusan. Orientasi sosial ini dapat pula merugikan kepentingan pencari keadilan. Harus diingat, kepentingan utama dalam suatu perkara (putusan) adalah kepentingan pencari keadilan (pihak-pihak yang berpekara), baru kemudian kepentingan masyarakat. Sangatlah baik kalau kepentingan pencari keadilan dan kepentingan masyarakat berjalan seiring, atau dapat saling memberi, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan satu sama lain. Apabila bertentangan, Hakim (putusan Hakim) wajib mengutamakan kepentingan pihak yang berpekara, karena merekalah yang mencari keadilan, merekalah yang secara langsung akan menerima konsekuensi putusan.[14]

Ada hal lain yang harus disadari oleh mereka yang sangat menekankan fungsi sosial hukum. Pandangan sosiologis seperti ini dapat bersifat totaliter yang hendak menundukkan kepentingan individual (pencari keadilan) dengan kepentingan sosial belaka. Sesuatu cara pandang yang kurang sesuai dengan tuntutan demokrasi, dan penghormatan hak-hak individu.

2. Putusan Hakim Dalam Perspektif Kepastian Hukum

Bagi penganut teori atau konsep yang dipengaruhi oleh kepastian mengenai hukum akan berkata: “Putusan Hakim yang baik adalah putusan yang menjamin kepastian hukum.”. Menurut pandangan ini, hukum harus diterapkan sebagaimana adanya. Tidak boleh ada pandangan pribadi dalam memutus perkara. Hukum adalah hukum. Apakah hukum yang diterapkan itu baik atau buruk, bukanlah tugas Hakim untuk menilai. Menilai adalah urusan etik dan urusan politik (pembentukan hukum). Pandangan ini ditunjang pula oleh asas universal bahwa Hakim wajib memutus perkara menurut hukum.

Dalam pandangan ini penggarapan hukum dilakukan dengan telaah undang-undang, yurisprudensi maupun literatur hukum ansich. Menurut pandangan kaum legalitas ini, penjabaran hukum dan keadilan adalah identik dengan undang-undang. Dengan demikian Hakim hanyalah corong undang-undang. Baginya, yang menjadi Hakim hanyalah apa yang menjadi bunyi undang-undang tersebut. Bagi masyarakat yang sudah maju dan berkembang, pandangan ini akan mempunyai banyak tantangan. Dalam prakteknya akan mudah terjadi diskrepansi (ketidakcocokan) antara hukum dengan kenyataan yang berlaku di masyarakat karena hanya menitikberatkan pada tercapainya kepastian hukum. [15]

Sehubungan dengan hal diatas, Bagir Manan berpendapat, bahwa pandangan ini (yang menekankan kepastian hukum) dapat dipandang sebagai terlalu normatif. Hukum, apalagi dipersempit menjadi hukum tertulis belaka, adalah hukum yang mencerminkan keadaan (sosial, ekonomi, politik), interest, dan berbagai latar belakang pada saat aturan itu lahir atau ditetapkan. Hukum semacam ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan baru yang mungkin berbeda dengan suasana hukum yang akan diterapkan. Menerapkan secara serampangan hukum tersebut demi kepastian hukum dapat berhadapan dengan rasa keadilan baik bagi pencari keadilan maupun masyarakat.

3. Putusan Hakim Dalam Perspektif Perpaduan Antara Tuntutan Sosial Dan Kepastian Hukum

“Ius est ars aequi et boni,” begitu jawab CELSUS ketika ditanyakan padanya arti hukum. Hukum adalah seni (dalam menerapkan) nilai kebaikan dan kepatutan.

Pendapat CELCUS diatas dapat dipakai sebagai dasar untuk memahami apabila terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan masyarakat, dengan cara dikembalikan pada keadaan yang senyatanya terjadi dan apa yang dikehendaki oleh masyarakat.

Pendekatan hukum yang fungsional senantiasa mengukur norma hukum dengan mendasarkan pada efektivitasnya dan bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat. Cara berpikir fungsional adalah berpikir dalam kasus dan tidak semata-mata hanya mendasarkan pada suatu tatanan yang menghendaki status quo. Oleh karena itu, keadilan dan kemanfaatan sosial masyarakat akan selalu dikedepankan. Dengan demikian, dalam penegakan hukumnya rumusan undang-undang tidak hanya dipahami sebatas bunyi undang-undang.

Melalui pendekatan yang fungsional ini, hukum menjadi satu sistem yang terkait dengan sistem lain di luar hukum. Dengan demikian, pasal-pasal yang ada dalam undang-undang tidak hanya dianggap sebagai pasal yang mati (dan memang demikian seharusnya), akan tetapi hendaknya dilihat dan dipahami sebagai satu rumusan yang senantiasa dapat dijabarkan untuk mewujudkan kehendak dari undang-undang itu sendiri. Bahkan apabila hukum dilihat sebagai suatu sistem yang mempunyai tujuan tertentu, maka rumusan pasal-pasal yang ada haruslah dilihat sebagai wahana untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Proses mengadili -- dalam kenyataannya -- bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam suatu struktur sosial tertentu.
Sehubungan dengan diatas, menurut Cardozo, bahwa dalam hal ada aturan hukum namun terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan masyarakat, tugas Hakim adalah menafsirkan aturan tersebut agar hukum tersebut dapat sesuai dengan keadaan-keadaan baru. Dengan menafsirkan maka dapat dipertemukan antara kepentingan kepastian (putusan berdasar hukum), dan kepentingan sosial dengan memberi makna baru terhadap hukum yang ada.[16] Dalam kerangka yang lebih luas, aktualisasi aturan hukum dilakukan dengan menemukan hukum (rechtsvinding, legalfinding) yang meliputi menemukan aturan hukum yang tepat, menafsirkan, melakukan konstruksi, dan lain sebagainya.

4. Putusan Hakim Dalam Perspektif Intelektual

Selain berbagai pilihan konseptual diatas, dari perspektif intelektual, didapati kesulitan lain menjadi Hakim yang baik. Dalam konteks ini dapat dipertanyakan, yang manakah yang lebih utama: ”apakah yang dikedepankan aspek pertanggungjawaban atau aspek kepuasan pencari keadilan dan atau masyarakat”?

Jawaban yang ideal bagi pertanyaan diatas menurut Bagir Manan adalah bahwa: “Hakim yang baik adalah yang mampu memadukan antara pertanggungjawaban dengan kepuasan”. Pendekatan sinkritik seperti ini hanya memberi penyelesaian rukhaniah atau konseptual belaka bukan kenyataan. Dalam kenyataan, suatu putusan yang bertanggungjawab mungkin sekali tidak memuaskan pencari keadilan atau masyarakat. Suatu putusan bertanggungjawab bukan menyangkut memuaskan atau tidak memuaskan, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Suatu putusan bertanggungjawab adalah putusan yang mempunyai tumpuan-tumpuan konsep yang kuat, dasar hukum yang kuat. Alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan (hukum dan atau non hukum) yang kuat. Orang boleh berbeda terhadap putusan semacam ini, tetapi tidak ada yang dapat menyalahkan karena diputus atas dasar konsep yang kuat. Jadi, harus dibedakan antara pertanggungjawaban dengan rasa puas atau tidak puas terhadap suatu putusan. Pertanggungjawaban adalah untuk Hakim. Puas atau tidak puas untuk pencari keadilan.[17]

Dalam perspektif intelektual ini, Hukum dipandang bukan sebagai bunyi tetapi pengertian. Pengertian hukum dapat diketemukan dalam konteks masa lalu (historical), atau dalam konteks kekinian (contemporary) atau dalam konteks masa depan (futurity),[18] sedangkan Hakim dipandang sebagai aparat penegak hukum, sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, yang telah dilengkapi dengan modalitas berupa rasio, suara hati, dan intuisi.[19]

Sekalipun kesadaran hukum diabstraksi melalui proses rasional, namun kinerja rasio ini harus mendapat masukan terus-menerus dari suara hati dan intuisinya. Penalaran ilmu hukum (sebagai ilmu praktis) tidak boleh terjebak pada pemanfaatan salah satu modalitas belaka, yakni rasio. Ketiga modalitas itu (rasio, suara hati, dan intuisi) harus dikerahkan bersama-sama. Rasio memang diperlukan untuk menjustifikasi suatu putusan melalui parameter-parameter keilmiahan ilmu hukum. Namun rasio juga harus bekerja sama dengan suara hati dan intuisinya dalam rangka menangkap kesadaran hukum masyarakatnya. Di tangan Hakim, ilmu hukum menjadi suatu kiat (ars), bukan sekadar ilmu dogmatis. [20]

Dalam teori membuat putusan, van Apel Doorn mengatakan, bahwa hukum itu a logis, tetapi penggarapannya logis. Mengapa a logis karena hukum itu normatif dan mengandung nilai, karena mengandung nilai maka sarat dengan emosi. Emosi bukan berarti marah, melainkan ketajaman emosional atau kecerdasan emosional. Lebih lanjut, argumentasi hukum dalam suatu putusan pengadilan selain memuat mengenai pertimbangan hukum juga memuat diktum putusan. Pertimbangan putusan Hakim berkaitan dengan hukum materiil dan hukum formil, sedangkan putusannya sendiri dalam kaitannya dengan manajemen berkaitan dengan IQ (Intelectual Quotient), tidak semata-mata rasional saja, tetapi rasa itu harus ada hati nurani dan intuisi.

5. Putusan Hakim Dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam hukum Islam, masalah putusan tidaklah berbeda dengan arti atau makna yang terdapat dalam hukum nasional, yang masih berbau hukum Eropa Continental. Putusan Hakim adalah merupakan suatu hukum atau undang-undang yang mengikat antara para pihak yang bersangkutan, sedangkan menurut hukum Islam adalah suatu hak bagi mahkum-lah (pihak yang dimenangkan) dari mahkum-alaih (pihak yang dikalahkan), jadi tidaklah ada perbedaan.[21]
Mengambil suatu putusan oleh para hakim, dalam hukum Islam adalah merupakan suatu perintah dan begitu juga isi dari pada putusan itu haruslah ditaati oleh para muslim, hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat An-Nisaa' ayat 58-59, yang mengatur sebagai berikut :

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menunaikan amanat kepada ahlinya (rakyat umum) dan apabila kamu (para hakim) hendak memutuskan sesuatu hukum diantara manusia hendaklah memutuskan itu adil. Sesungguhnya amat baik pelajaran yang diajarkan oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat”.

"Hai orang- orang yang beriman taatilah (hukum) Allah dan taatilah (hukum) pesuruh-Nya dan taatilah (hukum yang dibuat oleh) ulul amri kamu (sesuai dengan hukum Allah dan hukum pesuruh-Nya itu) dan jika timbul kembali pertentangan di antara kamu (dan ulul amri kamu) kembalikan hal itu semua (hukum) Allah dan (hukum) pesuruh-Nya itu, jika kamu masih percaya pada Allah dan hari kemudian. Demikian itulah jalan yang terbaik dan terindah".[22]

Dari ayat tersebut diatas dapat dilihat bahwa hakim dalam mengambil suatu putusan itu, disamping berdasarkan kepada ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadist juga melihat ketentuan yang dibuat oleh para pemuka agama atau pimpinan, dan apabila terjadi pertentangan kembalilah kepada hukum Allah (Al-Qur'an).

Disamping dasar untuk mengambil suatu putusan pada ayat tersebut diuraikan tentang kewajiban untuk mentaati hukum atau putusan yang ditetapkan oleh hakim. Dengan demikian jelas bahwa putusan hakim itu mempunyai daya ikat atas orang yang bersengketa.

Dalam suatu hadist ada suatu larangan bagi seorang hakim untuk tidak memutus dalam sesuatu perkara kalau sedang marah atau emosi, dan dalam keadaan tidak sempurna jalan pikirannya. Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Jama'ah sebagai berikut yang artinya :"Janganlah hakim menghukum antara dua orang sewaktu dia sedang marah".[23]

Dari hadis tersebut bisa diambil suatu kesimpulan bahwa larangan untuk mengambil suatu keputusan tersebut adalah agar jangan sampai terjadi keputusan yang kurang adil.

Seorang hakim dalam memutuskan suatu pertikaian diantara manusia, landasan hukum yang dipergunakan adalah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab Fiqih Islam, yaitu nash-nash yang pasti ketetapan adanya dan pasti petunjuk hukumnya dari Al-Qur'an dan sunnah serta hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama. Dengan demikian putusan itu baru sempurna dalam hukum Islam.



E. PENUTUP


Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial bagi masyarakat. Tidak dipungkiri memang, apabila keadilan yang lebih ditonjolkan maka akan terjadi dilema dengan sisi kepastian hukum. Apabila terjadi benturan antara keadilan dan kepastian hukum, maka dapatlah dilihat bagaimana kemanfaatan putusan pengadilan bagi masyarakat.

Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedepankan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial bagi masyarakat dalam setiap putusan yang dibuatnya.

Dalam mewujudkan cita-cita di atas, Hakim memegang peran sentral. Baik atau buruknya citra pengadilan banyak tergantung pada putusan yang dibuat oleh para Hakim. Dalam membuat putusan tersebut, Hakim tidak hanya terlingkupi oleh faktor yuridis saja, melainkan terlingkupi pula oleh variabel sosiologis yang amat komplek.

Mutu putusan para Hakim berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka. Dari sudut kompetensi-keras (hard competence), profesionalisme Hakim diukur antara lain dari mutu putusannya. Putusan atas suatu perkara ditentukan oleh penguasaan si Hakim atas bidang-bidang keilmuwan yang relevan.

Dengan penekanan pada Hakim akan penguasaan bidang spesialisasi tertentu yang lebih optimal dan spesifik akan materi persidangan, dapat diharapkan putusan Hakim menjadi lebih tinggi kualitasnya.



DAFTAR PUSTAKA



BUKU

Bakry, Hasbullah Pedoman Islam di Indonesia, Universitas Indonesia Pers: Jakarta: 1988

Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State) diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, (Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa: bandung, 2006)

Manan, Bagir, Menjadi Hakim Yang Baik Pusdiklat Teknis Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Jakarta, 2008

Mertodikusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata , (Liberty: Yogjakarta, 1988) hal 167

Salam Madku, Muhammad, Peradilan Dalam Islam, Binas Ilmu, Surabaya, 1990

Salman, Otje, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1987

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986



DISERTASI
Fachruddin, Irfan, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003


DATA PENELITIAN
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di Bidang Peradilan, Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 10 Januari 2003


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan KeHakiman.


INTERNET
Shidarta, Putusan Hakim dengan Rasa Hayat Historis, http://www.Dr.Shidarta,SH,M.,Hum.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008

Zudan Arif Fakrulloh, Hakim SosiologI, Hakim Masa Depan, http://www.indomedia.com/bernas/9708/26/UTAMA/26opi.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008

[1] Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin
[2] Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di Bidang Peradilan, Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 10 Januari 2003, page.iii
[3] Ibid
[4] Zudan Arif Fakrulloh, Hakim Sosiologi, Hakim Masa Depan, http://www.indomedia.com/bernas/9708/26/UTAMA/26opi.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008
[5] Penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[6] Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata , (Liberty: Yogjakarta, 1988) hal 167
[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986, hal. 127-128.
[8] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State) diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, (Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa: bandung, 2006), hal. 193
[9] Otje Salman, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1987, hal.. 11.
[10] Irfan Fachruddin, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003, Hal. 252
[11] Hans Kelsen, Op., Cit, hal. 194
[12] Disarikan dari Makalah Bagir Manan, Menjadi Hakim Yang Baik, Makalah pertama kali disampaikan sebagai ceramah untuk calon-calon Hakim, di Malang, 7 Desember 2006, dan telah dipublikasikan oleh Pusdiklat Teknis Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Jakarta, 2008, hal. 3-8
[13] Zudan Arif Fakrulloh, Op., Cit
[14] Bagir Manan, Ibid
[15] Zudan Arif Fakrulloh, Op., Cit
[16] Cardozo adalah seorang Hakim Agung (Judicial Process) yang juga adalah guru besar, dikutip dari Bagir Manan, Op., Cit, hal. 5
[17] Ibid., hal. 7
[18] Ibid
[19] Shidarta, Putusan Hakim dengan Rasa Hayat Historis, http://www.Dr.Shidarta,SH,M.,Hum.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008
[20] Ibid
[21] Muhammad Salam Madku, Peradilan Dalam Islam, Binas Ilmu, Surabaya, 1990, hal. 127
[22] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Universitas Indonesia Pers: Jakarta: 1988, hal. 337
[23] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Cetakan XVII, Attahiryah: Jakarta: 1976, hal. 447

POLA HUBUNGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL MENURUT AMANDEMEN UUD 1945

POLA HUBUNGAN MAHKAMAH AGUNG
DAN KOMISI YUDISIAL
MENURUT AMANDEMEN UUD 1945
(Studi Tentang Peranan Komisi Yudisial
Dalam Menjaga Kekuasaan Kehakiman Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006)

OLEH:

TEGUH SATYA BHAKTI,SH.,MH
[1]
[1] Hakim Pratama Madya di Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin



"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan".

(Surat 4. An Nisaa' Ayat 135)




A. PENDAHULUAN

Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Artinya negara diselenggarakan atas dasar hukum, atau sering juga disebut negara hukum (rechtstaat), tidak atas dasar kekuasaan belaka (machstaat).[2] Mengenai negara hukum dalam Konstitusi RIS 1949 tercantum pada Bab I Bagian 1 Pasal 1 Ayat (1), lengkapnya berbunyi, “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah satu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”. Pada UUD Sementara 1950 disebutkan pada Bab I Bagian 1 Pasal 1 Ayat (1), lengkapnya berbunyi, “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.

Arti negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya yaitu kedaulatan hukum. Konsep kedaulatan hukum (rechtssouvereiniteit) disetiap negara-negara termasuk Indonesia yang menganut konsep negara hukum, mempunyai arti bahwa hukum yang berdaulat, yang berarti bahwa segala tidakan dari pemerintahan harus berdasar atas hukum (the rule of law).[3]

Sejalan dengan ketentuan tersebut diatas maka salah satu prinsip Negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[4]

Walaupun dari sejak berdirinya, Indonesia tidak menganut teori pemisahan kekuasaan, akan tetapi dalam konstitusi-konstitusi yang berlaku dan pernah berlaku telah dianut adanya kekuasaan kehakiman yang terpisah dari kekuasaan-kekuasaan lain. Seperti diketahui, sejak berdirinya Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berlaku:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949;
3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950;
4. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen.

Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku sekarang ini, Kekuasaan Kehakiman (The judicial Power) diatur dalam BAB IX Tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[5]

Mahkamah Konstitusi terbentuk untuk menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan. Mahkamah Konstitusi sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang dirinci dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mempunyai wewenang menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sedangkan keberadaan Mahkamah Agung bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan sehingga dapat tercipta penegakkan hukum dan peradilan. Oleh karena hal tersebut dapat dikatakan bahwa MA-lah yang berperan sangat banyak dalam proses penegakkan hukum dan keadilan di negara ini.

Selain perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, UUD 1945 telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan erat dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicative power) yaitu Komisi Yudisial.
Lahirnya Komisi Yudisial dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pengawasan terhadap Mahkamah Agung, hakim-hakim agung, dan semua hakim secara internal lemah, serta tidak ada lagi lembaga pengawasan internal yang bisa dipercaya.

Menurut A. Ahsin Thohari, argumen utama bagi terwujudnya (raison d'atre) Komisi Yudisial di dalam suatu Negara hukum, adalah: [6]

komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal;
  1. komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah;
  2. dengan adanya Komisi Yuidisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman;
  3. terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial); dan
  4. dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (Judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.

Kebutuhan akan pengawasan eksternal yang terkandung dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), menurut sejarah perumusannya (Rapat PAH III dan PAH I Badan Pekerja MPR RI sejak Sidang Umum I tahun 1999 hingga Sidang Tahunan 2002), dipicu oleh kondisi Hakim Agung dan Hakim pada umumnya yang pada masa itu dipandang tidak tersentuh oleh pengawasan. Hal tersebut telah mengemuka selama proses amandemen UUD 1945 berlangsung, yang disertai tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat dikarenakan tidak efektifnya pengawasan internal oleh MA.

Ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Susunan, kedudukan dan keangotaan Komisi Yudisial diatur lebih lanjut dalam Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UUKY).

Lahirnya UUKY tersebut didalam prakteknya telah menimbulkan ketegangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Awal dan pokok persoalan yang memicu ketegangan tersebut adalah perbedaan penafsiran terhadap yurisdiksi tugas pengawasan perilaku hakim.

Pasal 13 UUKY menegaskan, bahwa KY mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Pasal 20 UUKY menegaskan bahwa, Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b KY mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Terhadap ketentuan Pasal 13 huruf b dan Pasal 20 diatas, KY menganggap bahwa dalam melakukan pengawasan terhadap hakim sudah barang tentu haruslah berlandaskan kekuasaan yang diberikan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yang dijabarkan dalam Pasal 22 Ayat (1) UUKY. "Bahwa semua pemeriksaan yang dilakukan KY didasarkan pada UU KY dan Peraturan yang dibuat dan dibentuk KY berdasarkan delegasi atau atribusi kekuasaan, termasuk memasuki wilayah teknis-yudisial peradilan dengan membaca dan mengkaji putusan hakim yang bersangkutan, hal tersebut sebagai pintu masuk (entry point)".

Sebab secara universal telah diterima oleh masyarakat beradab bahwa kehormatan dan keluhuran martabat seorang hakim dapat dilihat dari putusan yang dibuatnya. KY bukan saja mengawasi perilaku hakim di luar pengadilan tapi juga mengawasi perilaku hakim dalam melaksanakan tugas peradilan agar tidak terjadi korupsi (judicial corruption) yang saat ini menjadi masalah nasional yang perlu diberantas. KY berpendapat bahwa objek pengawasan meliputi seluruh hakim.Tidak terkecuali Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 1 angka 5 UUKY.

Selanjutnya terhadap ketentuan tersebut, MA menganggap bahwa secara universal kewenangan pengawasan oleh KY tidak menjangkau hakim agung, karena KY adalah mitra MA dalam pengawasan terhadap para hakim pada lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA. Dan pengawasan perilaku oleh KY tidak termasuk pengawasan atas putusan hakim (dan eksekusi putusan). Pengawasan terhadap putusan (teknis yudisial) adalah wewenang MA. Sebab, jika hal tersebut dilakukan oleh KY dapat mengancam independensi hakim. Menurut MA "pengawasan terhadap perilaku Hakim" hanyalah merupakan media dengan tujuan pokoknya adalah "dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim". semestinya "media pengawasan" haruslah dilakukan dan didasarkan atas semangat itikad baik (good faith), bukannya justru dijadikan media untuk memasuki substansi/wilayah tehnis penyelesaian perkara, yang bukan menjadi tugasnya KY, dan kemudian merekomendasikan pemberhentian Hakim, hal tersebut adalah merupakan bentuk perbuatan yang bukan saja mengintervensi dan mengintimidasi bahkan cenderung telah merusak sistem (lembaga peradilan yang memiliki kemerdekaan yang dijamin oleh konstitusi dan bersifat universal).

Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, dengan mempergunakan pendekataan "kekuasaan" dengan semata-mata mempergunakan kekuasaannya yang diatur di dalam UUKY, tanpa mau melihat Peraturan Perundang-undangan yang lain, yang seharusnya juga menjadi acuan dan pedoman kerja bagi jajaran Komisi Yudisial, telah mengakibatkan sepak terjang KY telah melampaui batas wewenangnya, sehingga sangat meresahkan serta mengganggu, kinerja para Hakim.

Terhadap hal ini, perlu kiranya ada suatu kejelasan mengenai segi sifat hubungan MA dan KY menurut Perubahan UUD 1945 yang menurut Penulis sangat penting untuk dikaji secara teoritis menurut Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Penulis berharap sumbangan pemikiran ini dapat bermanfaat dan berguna bagi MA dan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana yang diamanatkan oleh Perubahan UUD 1945.





B. PERUMUSAN MASALAH

Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah:
Bagaimanakah sistem pemerintahan Negara Indonesia?
Bagaimanakah kedudukan dan wewenang Mahkamah Agung dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
Bagaimanakah Kedudukan Dan Fungsi Komisi Yudisial Menurut Undang-Undang Dasar 1945?
Bagaimanakah Pola Hubungan Antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945?


C. PEMBAHASAN

a. Sistem Pemerintahan Negara

Rozikin Daman menyebutkan bahwa hubungan tata kerja antar lembaga negara sebagai satu kesatuan dalam penyelenggaraan kehidupan negara menimbulkan Sistem ketatanegaraan.[6] Sistem ketatanegaraan suatu negara dapat diketahui dari Undang-Undang Dasarnya sepanjang negara itu mempunyai Undang-Undang Dasar.[7] Berdasarkan hal tersebut cakupan Sistem ketatanegaraan sangat luas, karena dapat meliputi organisasi negara dan hubungan tata kerja antar lembaga negara sebagai satu kesatuan. Konsepsi Sistem ketatanegaraan yang dimaksud dalam makalah ini akan dibatasi pada kelembagaan negara tingkat pusat, terutama hubungan eksekutif dan legislatif yang selanjutnya dapat disebut sebagai Sistem pemerintahan.

Istilah sistem pemerintahan merupakan gabungan dari 2 (dua) kata, yaitu “sistem” dan “pemerintahan”. Menurut Musanef, sistem merupakan suatu sarana untuk menguasai keadaan dan pekerjaan agar dalam melaksanakan tugas dapat teratur, jadi sistem adalah suatu tatanan dari hal-hal yang saling berkaitan dan berhubungan, sehingga membentuk suatu kesatuan dan satu keseluruhan.[8] Menurut Prajudi, sistem adalah jaringan prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan.[9] Sedangkan Sri Soemantri berpendapat sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud, apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud yang hendak dicapai tidak akan terpenuhi atau setidak-tidaknya sistem yang telah terwujud akan mendapat gangguan.[10]

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S Poerwardarminta, yang dimaksud dengan sistem adalah:[11]
"Sekelompok bagian-bagian (alat, dsb) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud, misalnya; (1) Sistem urat syaraf dalam tubuh; sistem pemerintahan; (2) Sekelompok dari pendapat, peristiwa, kepercayaan dan sebagainya yang disusun dan diatur baik-baik, misalnya filsafat; (3) Cara (metode) yang teratur untuk melakukan sesuatu, misalnya pengajaran bahasa."

Sedangkan pemerintahan berasal dari kata “pemerintah” yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan government, yang mempunyai 2 (dua ) arti, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Pemerintahan merupakan fungsi pemerintah. Pemerintah dalam arti sempit ialah badan yang khusus berfungsi sebagai pelaksana kekuasaan pemerintahan negara (fungsi eksekutif). Pemerintah dalam hal ini ditentukan dalam hukum positif, khususnya dalam Undang-undang Dasar atau Konstitusi negara yang bersangkutan. Sedangkan pengertian Pemerintah dalam arti luas meliputi semua badan yang berfungsi melaksanakan kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif dan sebagainya). Banyaknya badan serta kekuasaan apa yang dilaksanakan oleh masing-masing badan dalam hal ini juga ditentukan dalam hukum positif negara yang bersangkutan, khususnya dalam Undang-undang Dasar atau Konstitusinya.[12]

Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian “sistem pemerintahan” dapat dirumuskan sebagai berikut:[13]
"Segala sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau lembaga-lembaga negara, seperti; legislatif, eksekutif, yudikatif dan sebagainya, dimana lembaga-lembaga negara tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional dalam menyelenggarakan kepentingan rakyat".

Sistem pemerintahan yang dianut suatu negara, sangat berpengaruh terhadap pembagian kekuasaan. Dalam hal pembagian kekuasaan negara, menurut Ismail Sunny, UUD 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan (division of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power). [14]

Dengan demikian dapat diartikan bahwa skema kelembagaan berdasarkan pembagian kekuasaan dalam UUD 1945 lama, sebagai berikut:[15]
1. Adanya lembaga tertinggi negara adalah MPR;
2. Adanya lembaga tinggi negara adalah DPR, Presiden, DPA, BPK, dan MA.

Dengan demikian, dalam struktur UUD 1945 bahwa lembaga-lembaga negara yang ada, mempunyai hubungan yang vertikal dan ada yang mempunyai hubungan horizontal. Untuk mengkaji organisasi dan lembaga negara harus dimulai dari hakikat kekuasaan yang dilembagakan ke dalam bangunan negara. Kuncinya terletak kepada apa dan siapa yang memegang kedaulatan tertinggi (sovereignity).

Perubahan terhadap UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap sistem ketatanegaraan yang berlaku. Perubahan tersebut meliputi jenis dan jumlah lembaga negaranya, serta sistem pemerintahan yang dianut, sistem peradilan dan sistem Perwakilannya.
Istilah lembaga negara untuk pertama kali ditemukan dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 Tentang Hubungan dan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Perkataan atau istilah lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara berasal dari kata lembaga negara.[16]


Adapun yang dimaksud dengan Lembaga Tertinggi Negara ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 lama), sedangkan lembaga-lembaga Tinggi Negara meliputi Presiden, DPA, DPR, BPK dan MA (Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 lama).

Melalui Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945 ditetapkan tiga lembaga-negara baru, yaitu DPD, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial, sedangkan DPA dihapus. Dengan demikian, dalam UUD 1945 dikenal lembaga-negara: BPK, MPR, DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, MA, MK dan Komisi Yudisial.

Dengan adanya Perubahan terhadap UUD 1945, MPR tidak lagi merupakan Lembaga Tertinggi Negara (melainkan Lembaga-Negara Tertinggi).[17]



b. Kekuasaan Kehakiman Oleh Mahkamah Agung Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Keberadaan kekuasaan kehakiman tidak dapat dilepaskan dari teori klasik tentang pemisahan kekuasaan, dalam mana legislatif, eksekutif dan yudisial berada di tangan tiga organ yang berbeda. Tujuan diadakannya pemisahan kekuasaan ini adalah untuk mencegah jangan sampai kekuasaan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif dilakukan secara sewenang-wenang, yang tidak menghormati hak-hak yang diperintah. Teori tersebut bermula dari tulisan Jhone Locke yang berjudul Second Treatise of Civil Government yang antara lain mengatakan:[18]
“… the best way to avoid a perveted government wa to provide constitutionally for separation of legislatif and executive powers. Montesquieu in his Spirit of the laws (1748), added the third power of the judiciary to this concept, and the modern expression of the separation of powers came into being”.

Pada taraf itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power).[19] Ajaran pemisahan kekuasaan oleh oleh Emmanuel Kant disebut sebagai doktrin Trias Politica (Tri = tiga, As = poros (pusat), Politica = kekuasaan) atau tiga pusat/poros kekuasaan negara sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Lois.[20]
Menurut E. Utrecht, teori trias politika dari Montesquieu tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh negara-negara modern dewasa ini, karena paling tidak ada 2 (dua) keberatan terhadap teori ini:[21]

  1. Ajaran pemisahan kekuasaan dari trias politika membawa akibat tidak adanya pengawasan yang dapat dilakukan terhadap Ketiga lembaga negara yang dikenal di dalamnya, hal mana menyebabkan Ketiga lembaga negara tersebut dapat bertindak sewenang-wenang, dan ini jelas bertentangan dengan tujuan dari teori trias politika itu sendiri;
  2. Hampir semua negara modern saat ini mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (welfare staat), untuk ini tidak memungkinkan lagi diadakan pemisahan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negaranya. Karena tujuannya itu, maka Pemerintah suatu “welfare staat”, disamping memiliki kekuasaan eksekutif juga harus mempunyai kekuasaan-kekuasaan lainnya.

Menurut Muhammad Yamin Ketiga konstitusi Indonesia yang pernah berlaku, yaitu UUD 1945, KRIS 1949, dan UUDS 1950, selalu disusun atas ajaran trias politika, sehingga pembagian atas tiga cabang kekuasaan berlaku.[22]

Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Kewenangan tersebut tercantum di dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yakni Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.

Selanjutnya kewajiban Mahkamah Agung diatur didalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Pertama) yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang Ketua Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.[23]

Keanggotaan Mahkamah Agung terdiri dari hakim agung (paling banyak 60 orang). Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim) dan non karier. Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.[24]

Tap MPR X Tahun 1998 menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan dijabarkan dalam UU Nomor 35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah dicabut serta dinyatakan tidak berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun tentang MA diatur dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14/1985. Selanjutnya, Keppres Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Depkeh ke MA.

Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman itu seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ‘pengaruh’ kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah itu tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut dapat diduga akan mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh Hakim. Karena itu penjelasan kedua pasal itu mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung, langsung dikaitkan dengan jaminan mengenai kedudukan para Hakim. Maksudnya ialah agar para Hakim dapat bekerja profesional dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah, kedudukannya haruslah dijamin dalam undang-undang.

Karena itu, kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu haruslah dipahami dalam konteks kemerdekaan para Hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, menurut pandangan ini, kedudukan para Hakim yang merdeka itu tidak mutlak harus diwujudkan dalam bentuk pelembagaan yang tersendiri. Jalan pikiran demikian inilah yang berlaku selama ini, sehingga tidak pernah terbayangkan bahwa kekuasaan Mahkamah Agung dapat dikembangkan dalam satu atap kekuasaan kehakiman yang mandiri secara institusional. Celakanya, praktek yang terjadi sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya era Orde Baru cenderung menunjukkan bahwa proses peradilan di lingkungan lembaga-lembaga pengadilan di seluruh tanah air juga seringkali justru dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kekuasaan kehakiman kita bukan saja tidak merdeka secara institusional administratif, tetapi juga secara fungsional-prosesual dalam proses penyelesaian perkara keadilan.[25]

Sebagai badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung (MA) merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain serta melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain.

c. Kedudukan Dan Fungsi Komisi Yudisial Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Kedudukan dari Komisi Yudisial diatur dalam ketentuan Pasal 1 Butir ke-1 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
"Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional.

Selanjutnya, menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 menegaskan bahwa "Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain".

Kemandirian Komisi Yudisial itu dijamin oleh ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim".

Selanjutnya mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yang dijabarkan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah:

  1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
  2. Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Kedudukan Komisi Yudisial dalam UUD 1945 (hasil perubahan ketiga), disamakan dengan lembaga-lembaga negara lain yang juga diatur dalam UUD 1945. Komisi ini ditentukan dan diatur tersendiri oleh UUD 1945, karena dianggap mempunyai kedudukan dan posisi yang sangat penting dan strategis dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim di Indonesia. Kedudukan Komisi Yudisial sesuai dengan Bunyi pasal 24B Ayat (1), seharusnya menjadi lembaga yang benar-benar mandiri, dalam arti tidak berada di bawah kekuasaan manapun termasuk kekuasaan kehakiman. Sehingga Komisi Yudisial akan benar-benar independen.

Bahwa sesuai dengan UUD 1945 (hasil perubahan ketiga), fungsi utama Komisi Yudisial adalah:

  1. mengusulkan pengangkatan hakim agung;
  2. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Jadi fungsi tersebut sekaligus merupakan kewenangan langsung (direct authority) yang diberikan oleh konstitusi kita. Dan pemberian fungsi langsung tersebut tidak lepas dari koridor reformasi di segala bidang, khususnya reformasi peradilan.


d. Menentukan Pola Hubungan MA Dan KY yang dianut UUD 1945 Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006.

Istilah “Pola” dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang berarti:

  1. gambar yang dipakai untuk contoh batik,
  2. corak batik atau tenun, ragi atau suri,
  3. potongan kertas dipakai sebagai contoh dalam membuat baju, dsb, model,
  4. Sistem, cara kerja, pola permainan, pola pemerintahan,
  5. bentuk struktur yang tetap.[26]

Sedangkan “hubungan” berarti:

  1. Keadaan berhubungan,
  2. kontak,
  3. sangkut paut,
  4. ikatan,
  5. pertalian.[27]

Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian “pola hubungan” MA dengan KY dapat dirumuskan sebagai berikut:

Model/bentuk hubungan tata kerja antara MA dengan KY, pada saat kedua lembaga negara tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional dalam rangka menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa”.

Dalam konteks Hukum Tata Negara pola hubungan antara lembaga-lembaga negara dipahami sebagai suatu sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga Negara satu dengan lembaga negara lainnya. UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs).

Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”. Dengan demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif “checks and balances” di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim.

Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti tidak diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam konteks ini, hubungan antara KY dan MA dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but interrelated).

KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 berbunyi, "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar jika diterapkan dalam pola hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagai auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut, KY sendiri pun bersifat mandiri.

Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara KY sebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, Kemudian dalam Pasal 20 dalam undang-undang yang sama, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan wewenang tersebut Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Soal hubungan kekuasaan antara lembaga MA dan KY menurut penulis terjadi dalam 2 pola/model yaitu hubungan kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding) [28] dan hubungan kemitraan (partnership).

hubungan kewibawaan yang formal (de formele gezagsverhouding)


hubungan kemitraan (partnership)

Landasan Konstitusional
Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
Landasan Konstitusional
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.

  1. Hubungan Kewibawaan Yang Formal (De Formele Gezagsverhouding)
    Hubungan kewibawaan formal adalah hubungan kelembagaan antara MA dan KY dalam menjalankan amanat Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yaitu Pengusulan pengangkatan hakim agung di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial.
    Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) berbunyi:
    "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden".
    Mekanisme pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR merupakan salah satu wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial (pasal 13 huruf a UUKY). Untuk itu Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pendaftaran calon, seleksi, menetapkan dan mengajukan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Timbul beberapa pertanyaan antara lain: Siapa yang mengajukan calon Hakim Agung? Apa yang menjadi persyaratan untuk menjadi calon Hakim Agung? Kapan Komisi Yudisal melakukan pendaftaran, seleksi dan penetapan calon Hakim Agung?
    Di dalam pasal 15 Ayat (2) UUKY jelas diatur bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial antara lain : Mahkamah Agung, pemerintah, dan masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan bahwa calon Hakim Agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: karir dan non karir. Ini membuka kesempatan bahwa bilamana dibutuhkan maka seseorang dapat dicalonkan menjadi Hakim Agung tidak berdasarkan sistem karir kepada Komisi Yudisial (pasal 7 Ayat (2) UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung).
    Komisi Yudisial dalam melaksanakan peranannya sebagaimana tersebut di atas, memiliki waktu kerja paling lama 6 bulan sejak menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung (pasal 14 Ayat (3) UUKY). Komisi Yudisial hanya mempunyai waktu 15 hari semenjak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung untuk mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung (pasal 15 Ayat (1) UUKY). Pengumuman pendaftaran tersebut dilakukan 15 hari berturut-turut. Selanjutnya Mahkamah Agung, pemerintah dan masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung selama waktu tersebut.
    Setelah 15 hari berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Paling lama dalam jangka waktu 15 hari, Komisi Yudisial sudah harus mengumumkan daftar calon yang memenuhi persyaratan administrasi. Kemudian masyarakat diberikan hak seluas-luasnya untuk memberikan informasi atau pendapatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak diumumkanya daftar nama calon Hakim Agung yang memenuhi persyaratan administrasi. Dalam jangka waktu paling lama 30 hari semenjak informasi atau pendapat diterima dari masyarakat luas berakhir, Komisi Yudisial melakukan penelitian tentang kesahihan informasi tersebut.
    Proses penyeleksian terhadap calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi difokuskan kepada kualitas, dan kepribadian calon berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Disamping itu calon hakim Agung wajib membuat/ menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Karya ilmiah tersebut sudah diterima Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat sepuluh hari sebelum seleksi dilaksanakan. Seleksi dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 hari. Kemudian dalam jangka waktu paling lama 15 hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan tiga orang nama calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk setiap satu lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada presiden.[29]
  2. Hubungan Kemitraan (partnership).
    Hubungan kemitraan (partnership).adalah hubungan kerjasama antara MA dan KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945.
    Sifat kewenangan yang dimiliki oleh KY adalah komplementer. Artinya, tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY saja. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan di bawahnya juga mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi pengawasan terhadap teknis justisial, pengawasan administratif, maupun pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 11 Ayat (4) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan Pasal 32 UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung (UUMA), yang masing-masing berbunyi:

    • Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945:
    “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

    • Pasal 11 Ayat (4) UUKK:
    ”Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang”;

    • Pasal 32 UUMA:
    (1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
    (2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
    (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan Peradilan.
    (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.
    (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1) sampai dengan Ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara”;

Berdasarkan Ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa secara melekat (inherent), MA mempunyai fungsi sebagai pengawas tertinggi dari seluruh badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Ruang lingkup fungsi pengawasan dimaksud mencakup ruang lingkup bidang teknis justisial, administrasi, maupun perilaku hakim yang berkaitan dengan kode etik dan perilaku;

a. Sistem Pengawasan Internal oleh Mahkamah Agung
Pasal 11 Ayat (4) UUKK menyebutkan bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Selanjutnya didalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UUMA menguraikan bentuk-bentuk pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung berikut ini.

  1. Mengawasi penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
  2. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
  3. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.
  4. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.

Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud di atas tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dari ketentuan di atas terlihat bahwa yang harus diawasi oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan (rechtsgang) dengan tujuan agar pengadilan-pengadilan menyelenggarakan proses peradilan dengan seksama dan sewajarnya.[30]
Obyek pengawasan Mahkamah Agung meliputi tiga hal, yaitu bidang teknis peradilan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas putusan hakim, bidang administrasi yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan hukum kepada para pencari keadilan, dan bidang perilaku pejabat peradilan (hakim dan pejabat kepaniteraan) yang bertujuan untuk meningkatkan pelaksanaan fungsi peradilan sesuai dengan kode etik profesi hakim.

i. Pengawasan Internal Bidang Teknis Peradilan
Yang dimaksud dengan teknis peradilan atau teknis yudtisial adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok hakim, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan ini termasuk pula bagaimana pelaksanaan putusan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan dalam konteks ini adalah peningkatan putusan hakim. Pelaksanaan pengawasan di bidang teknis peradilan terhadap hakim dilakukan melalui pemeriksaan perkara, antara lain melalui eksaminasi perkara untuk mengetahui seberapa jauh hakim telah menerapkan hukum acara dengan seksama dan sewajarnya dalam melakukan pemeriksaan perkara.[31]

ii. Pengawasan Internal Bidang Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok kepaniteraan pada lembaga pengadilan (pengadilan tingkat pertama dan banding dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara). Administrasi peradilan perlu mendapat pengawasan dari Mahkamah Agung karena keterkaitannya yang amat erat terhadap teknis peradilan. Masalah administrasi peradilan tidak boleh diabaikan untuk menghindari ketidaksempurnaan suatu putusan pengadilan. Dengan berlakunya UUMA, maka administrasi umum (meliputi administrasi kepegawaian dan keuangan) yang selama ini menjadi kewenangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia berubah menjadi kewenangan Mahkamah Agung.[32]

iii. Pengawasan Internal Bidang Perilaku Pejabat Peradilan
Bidang pengawasan ini menjadikan tingkah laku dan perbuatan hakim atau pejabat peradilan sebagai obyek pengawasannya. Pelaksanaan pengawasan terhadap perilaku pejabat peradilan (hakim dan pejabat kepaniteraan) dilakukan berdasarkan temuan-temuan atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh hakim dan pejabat kepaniteraan, baik yang berdasarkan laporan hasil pengawasan internal maupun yang berasal dari laporan masyarakat, media massa, dan pengawasan eksternal lainnya.[33]

iv. Komisi Kehormatan Profesi Hakim
IKAHI sebagai satu-satunya wadah profesi hakim di Indonesia mengeluarkan salah satu keputusan dalam Musyawarah Nasional (Munas) XIII di Bandung untuk membentuk Komisi Kehormatan Hakim. Komisi yang di masa lalu bernama Majelis Kehormatan ini bertujuan untuk menegakkan kode etik hakim agar ketentuan di dalamnya dapat terlaksana sekaligus mengawasi pelaksanaannya tersebut. Selain itu, Komisi Kehormatan Hakim juga berwenang memberikan pertimbangan dan sanksi bagi hakim yang melakukan pelanggaran kode etik sebagai tindak lanjut fungsi pengawasan. Secara umum, tugas dari Komisi Kehormatan Hakim adalah sebagai berikut:[34]

  1. Memberikan pembinaan pada anggota untuk selalu menjunjung tinggi kode etik. Bentuk-bentuk pembinaan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, seminar, atau pendekatan-pendekatan lain yang meliputi aspek materiil dan spiritual.
  2. Meneliti dan memeriksa laporan atau pengaduan dari masyarakat atas tingkah laku dari para anggota IKAHI.
  3. Memberikan nasihat dan peringata kepada anggota dalam hal anggota yang bersangkutan menunjukkan indikasi melakukan pelanggaran kode etik.

Sementara itu, yang menjadi wewenang Komisi Kehormatan Hakim adalah sebagai berikut:[35]

  1. Memanggil anggota untuk didengar keterangannya sehubungan dengan adanya pengaduan atau laporan.
  2. Memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dan merekomendasikan anggota yang tidak terbukti bersalah untuk direhabilitasi.

b. Sistem Pengawasan Eksternal Oleh Komisi Yudisial [36]

Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Rumusan yang terkandung di dalam ketentuan diatas, seharusnya tidak semata-mata diartikan sebagai pengawasan, melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk memenuhi amanat Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945. Pengertian kata “dalam rangka” sebagai bagian wewenang pengawasan oleh KY menunjukkan adanya kewajiban lain yang sama pentingnya yaitu tugas melakukan pembinaan yang meliputi usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang menyangkut pelaksanaan kode etik.

Dari ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) ini dapat dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim; (v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim. Dalam kata ”menjaga” terkandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, sedangkan dalam kata ”menegakkan” terdapat pengertian tindakan yang bersifat korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif.

Sehubungan dengan hal diatas, apabila dihubungkan dengan rumusan pasal 13 huruf b UUKY, rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah oleh pembentuk undang-undang menjadi “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”, yang jika dielaborasi kembali maka cakupannya menjadi jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asas ”kejelasan rumusan” yang mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Melihat kembali apa yang tercantum di dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat didalam Pertimbangan Hukumnya menyatakan bahwa ruang lingkup pengawasan KY hanyalah sebagian saja, yakni yang menyangkut perilaku hakim. Pengertian Hakim disini adalah dalam pengertian sebagai individu di luar maupun di dalam kedinasan, dengan tujuan agar hakim memiliki kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku yang baik. Pelaksanaan pengawasan yang demikian itu selain tidak dalam pengertian mengawasi badan peradilan, juga tidak meniadakan fungsi pengawasan yang sama yang dimiliki oleh MA. Fungsi demikian adalah berkait dengan wewenang utama KY, yaitu untuk merekrut dan mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang menurut Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Mengenai pengawasan perilaku hakim, Pasal 22 Ayat (1) UUKY menguraikan tugas Komisi Yudisial dalam melaksanakan tanggung jawab pengawasan ini yaitu:
a. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
e. .................... (Pasal 21 Ayat (1) huruf e ini oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya No. 005/PUU-IV/2006 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat)
Sedangkan Pedoman Pengawasan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, merujuk kepada code of ethics (kode etik) dan/atau code of conduct (kode Perilaku) yang disahkan oleh Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 hal. 195-198 [37] menjelaskan bahwa, Perbedaan antara code of ethics (kode etik) dan code of conduct (kode Perilaku) adalah; code of conduct menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat diterima dan mana yang dapat diterima. Code of conduct akan mengingatkan Hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct mungkin akan menimbulkan sanksi. Code of conduct merupakan satu standar. Setiap hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah standar yang ditetapkan. Etik berbeda dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan dengan harapan atau cita-cita. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai yaitu untuk sedapat mungkin menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-pertimbangan etik yang mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut. Dengan suatu code of conduct, akan dimungkinkan bagi hakim maupun masyarakat untuk dapat mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan hakim. Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu kode etik yang akan memberi motivasi bagi hakim meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, lebih baik, lebih efektif dalam melayani masyarakat, maupun menegakkan rule of law. Jadi setelah dibentuk suatu code of conduct, maka untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, mungkin diinginkan untuk membentuk satu kode etik. Meskipun benar bahwa code of conduct berbeda dari code of ethics, akan tetapi code of ethics merupakan sumber nilai dan moralitas yang akan membimbing hakim menjadi hakim yang baik, sebagaimana kemudian dijabarkan ke dalam code of conduct. Dari kode etik kemudian dirumuskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh hakim di dalam maupun di luar dinas;

Hakim Indonesia telah mempunyai pengalaman memiliki kode etik, yang pertama dengan nama Panca Dharma Hakim Indonesia Tahun 1966, yang kedua Kode Etik Hakim Indonesia (IKAHI) tahun 2002, dan yang terakhir Pedoman Perilaku Hakim yang disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Mei 2006.

Pedoman perilaku hakim tersebut dimaksudkan untuk mengatur perilaku hakim yang diperkenankan, yang dilarang, yang diharuskan, maupun yang dianjurkan atau yang tidak dianjurkan, baik di dalam maupun di luar kedinasan, untuk membentuk hakim sebagai pejabat kekuasaan kehakiman (ambtsdrager van rechtelijkemacht) yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela dan adil untuk dapat menjadi benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. Pedoman perilaku tersebut merupakan penjabaran aturan-aturan kode etik yang secara universal berlaku umum dan diterima sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang dianut orang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya, dengan tujuan untuk mengenali apa yang baik dan yang buruk dalam tingkah laku di antara sesama dalam kelompoknya. Kode etik profesi, sebagaimana dilihat dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi maupun Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang berlaku di lingkungan Mahkamah Agung, memuat serangkaian prinsip-prinsip dasar sebagai nilai-nilai moralitas yang wajib dijunjung tinggi oleh hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasannya. Prinsip dan nilai tersebut kemudian dirinci dalam bentuk bagaimana perilaku hakim yang dipandang sesuai dengan prinsip atau nilai tersebut. Misalnya, nilai berperilaku adil yang diterjemahkan sebagai prinsip berupa uraian apa yang dimaksud adil tersebut, dan kemudian dirinci bagaimana hal itu digambarkan dalam perilaku Hakim ketika melakukan tugas yustisial. Demikian juga ketika nilai atau prinsip integritas diadopsi sebagai bagian dari kode etik profesi, maka prinsip integritas tersebut telah diberi batasan, yang “merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan rohaniyah dan jasmaniyah, atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya”. Prinsip tersebut dalam penerapannya dapat diketahui misalnya bahwa hakim menjamin agar perilakunya tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak, atau tindak tanduk dan perilaku hakim harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa peradilan. Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga harus tampak dilaksanakan.

Kode Etik Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam pasal 2 memuat maksud dan tujuan Kode etik tersebut yaitu:
(i) sebagai alat:

  1. pembinaan dan pembentukan karakter hakim,
  2. pengawasan tingkah laku hakim, dan juga

(ii) sebagai sarana:

  1. kontrol sosial,
  2. pencegah campur tangan ekstra judicial dan
  3. pencegahan timbulnya kesalahpahaman antar sesama anggota dengan masyarakat,


(iii) memberikan jaminan peningkatan moralitas hakim dan kemandirian fungsional hakim, dan

(iv) menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan;

Pengawasan dan penegakan perilaku hakim tersebut sudah tentu dilihat dari ukuran Code of Conduct dan Code of Ethics yang sudah ada yang dijadikan sebagai ukuran, dengan contoh prinsip dan penerapan yang telah diuraikan di atas, sehingga akan terhindar dari tumpang tindih dengan pengawasan lain yang berada di luar wilayah etik atau perilaku.

Penindakan atau pemberian sanksi atas pelanggaran Kode Etik dan Perilaku juga dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara itu, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik dan Perilaku selain dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, juga dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosial (social responsibility), yang merupakan salah satu unsur dari profesionalisme, melalui transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan oleh Komisi Yudisial dapat dirinci dalam beberapa kegiatan, misalnya pemanggilan, pemeriksaan, penilaian, yang berakhir dengan saran (rekomendasi) kepada Mahkamah Agung.

Selanjutnya oleh karena Mahkamah Agung, berperan sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan disemua Iingkungan peradilan menurut ketentuan Pasal 32 Ayat (1 s/d 4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UUMA, yang menegaskan bahwa "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan Peradilan disemua Iingkungan peradilan dalam menjalankan Kekuasaan Kehakiman“, dan menurut Pasal 11 Ayat (4) UUKK, yang menegaskan bahwa ”Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan Undang-undang”, maka tidaklah mungkin Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Agung, dan Hakim Agung tidak mungkin berada di bawah pengawasan Komisi Yudisial fungsi pengawasan yang tertinggi yang dimiliki oleh Mahkamah Agung, semakin menjadi strategi dan sangat relevan setelah Mahkamah Agung melaksanakan sistim satu atap (one roof sistem).


C. PENUTUP


Berdasarkan analisis historis konstitusi di Indonesia, adanya jaminan dan kepastian akan hakekat kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman sangat tergantung dengan penerapan dan pelaksanaan sistem politik. Kendati konstitusi kini secara eksplisit menyatakan kebebasan kekuasaan kehakiman, tapi penyimpangan masih begitu banyak terjadi, baik dalam konteks dimensi substansi maupun prosedural yang tidak memungkinkan terjadinya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.

Kebebasan kekuasaan Kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan mandiri, tidak hanya menyatu atapkan pembinaan dan pengawasan, tapi juga dimaksudkan untuk memandirikan Hakim dan lembaga Mahkamah Agung. Secara organisatoris MA dan lingkungan peradilan lainnya harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik pemerintah.

Dikaitkan dengan fungsi pengawasan perilaku hakim, kehadiran Komisi Yudisial yang merupakan lembaga independen dan terpisah dari Mahkamah Agung dapat memperjelas adanya institusi yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal. Pelaksanaan pengawasan secara eksternal dan internal harus dalam kerjasama yang erat, sehingga konsepsi checks and balances tidak dapat diterapkan dalam lingkup internal kekuasaan kehakiman. Selain itu, yang menjadi objek pengawasan eksternal adalah perilaku hakim dan bukan pengawasan terhadap MA dan badan-badan peradilan di bawahnya sebagai institusi. Justru antara MA dan KY harus bekerja secara erat dalam konsep kemitraan atau partnership.

Hubungan kemitraan atau partnership antara MA dan KY adalah berkait erat dengan wewenang utama KY, yaitu untuk merekrut dan mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang menurut Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Budiarjo, Mirriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. 20, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001)
Daman, Rozikin, Hukum Tata Negara; Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001)
Hadjon, Philipus M. Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945; Suatu Analisa Hukum Dan Kenegaraan (Surabaya: Bina Ilmu, 1987)
Kencana Syafii, Inu, Ilmu Pemerintahan (Bandung: Mandar Maju, 1994)
Kusnardi dan R. Bintan Saragih, Moh. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT. Gramedia, 1978)
Mahfud MD, Moh, Dasar & Stuktur Ketatanegaraan Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001)

Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkmah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MK, 2003)
Musanef, Sistem Pemerintahan Di Indonesia (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1993)
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976)
Soehino, Hukum Tatanegara; Tehnik Perundang-undangan (Yogyakarta: Liberty, 1990)
_______, Hukum Tata Negara; Sistem Pemerintahan Negara (Yogyakarta: Liberty, 1993)
Soemantri, Sri, Ketetapan MPR (S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara (Bandung; Remaja Karya, 1985)
Suny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Cet. 5, (Jakarta: Aksara Baru, 1983)
Wildan Suyuthi, “Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama,” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Jakarta: (Mahkamah Agung RI, 2006)
Utrecht, E. Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia (Jakarta: Penerbit Ichtiar, 1958)
Yamin, Muhammad, Konstituante Indonesia Dalam Gelanggang Demokrasi (Jakarta: Jambatan, 1956)
Yara, Muchyar, Pengisian Jabatan Presiden & Wakil Presiden Di Indonesia, (Jakarta: PT. Nadhilah Ceria Indonesia, 1995)





TESIS
Satya Bhakti, Teguh “Pola Hubungan Presiden dan DPR Pasca Amandemen UUD 1945,” Tesis Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.

MAKALAH
Alrasid, Harun, “Refleksi 50 Tahun Indonesia Merdeka”, (Makalah di Sampaikan pada Simposium Nasional Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Jakarta, 8-9 Desember 1995)
____________,“Format Lembaga Kepresidenan, Hubungan Kekuasaan Lembaga Legislatif Dan Yudikatif Menuju Demokratisasi Kehidupan Politik Di Masa Depan,” (Makalah Disampaikan dalam rangka memperingati HUT 50 Emas Jakarta di Universitas Nasional Jakarta, 2000)
Asshidiqie, Jimly, “ Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan” (Disampaikan dalam Seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Kamis, 13 Juli, 2000).
A. Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan
Soemantri, Sri, “Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan,” (Makalah Disampaikan di Hotel Indonesia, Jakarta, 2003)
_____________, “Pandangan Nasional Menegenai Kekuasaan Kehakiman” (Makalah disampaikan dalam Lokakarya HAM II, diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, bekerjasama dengan The Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law Swedia di Jakarta, 4-7 Desember 1996).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Dasar1945
Indonesia, Undang-Undang Dasar1945 Pasca Perubahan
Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
Indonesia, Undang-undang Sementara 1950
Indonesia, UU No. 9 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Indonesia, UU No. 8 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
Indonesia, UU No. 4 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Indonesia, UU No. 5 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Indonesia, Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Indonesia, UU No. 7 tahun 1989 Tentang Tentang Peradilan Agama
Indonesia, UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 Tentang Hubungan dan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006

INTERNET
, diakses 10 April 2008.
[1] Lihat: Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkmah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MK, 2003) hal. 21.
[2] Harun Alrasid, mengutip pendapat Wiryono Prodjodikoro, lihat Harun Alrasid, “Refleksi 50 Tahun Indonesia Merdeka”, (Makalah di Sampaikan pada Simposium Nasional Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Jakarta, 8-9 Desember 1995), hal 2.
[3] Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Penjelasan Umum.
[4] Indonesia, UUD 1945 Perubahan Ketiga , Pasal 24 Ayat (2).
[5] A. Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, him. XIII – XIV. Hal.15

[6] Rozikin Daman, Hukum Tata Negara; Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), hal. 187.
[7] Soehino, Hukum Tatanegara; Tehnik Perundang-undangan (Yogyakarta: Liberty, 1990), hal.1
[8] Musanef, Sistem Pemerintahan Di Indonesia (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1993), hal. 7
[9] Inu Kencana Syafii, Ilmu Pemerintahan (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 17.
[10] Ibid
[11] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976), hal. 955.
[12] Soehino, Hukum Tata Negara; Sistem Pemerintahan Negara (Yogyakarta: Liberty, 1993), hal. 77.
[13] Muchyar Yara, Pengisian Jabatan Presiden & Wakil Presiden Di Indonesia, (Jakarta: PT. Nadhilah Ceria Indonesia, 1995), hal. 28, dan bandingkan dengan pendapat Moh. Kusnardi dan R. Bintan Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT. Gramedia, 1978), hal. 171.
[14] Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Cet. 5, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 16.
[15] Sri Soemantri, Ketetapan MPR (S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara (Bandung; Remaja Karya, 1985), hal. 41-42.; sebagai bahan diskusi, lihat pula Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945; Suatu Analisa Hukum Dan Kenegaraan (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hal. x.
[16] Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 Tentang Hubungan Dan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
[17] Sri Soemantri, “Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan,” (Makalah Disampaikan di Hotel Indonesia, Jakarta, 2003), hal. 2.
[18] Sri Soemantri, “Pandangan Nasional Menegenai Kekuasaan Kehakiman” (Makalah disampaikan dalam Lokakarya HAM II, diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, bekerjasama dengan The Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law Swedia di Jakarta, 4-7 Desember 1996).
[19] Mirriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. 20, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hal. 151
[20] Moh Mahfud MD, Dasar & Stuktur Ketatanegaraan Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001). hal. 74
[21] E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia (Jakarta: Penerbit Ichtiar, 1958), hal. 7-32.
[22] Muhammad Yamin, Konstituante Indonesia Dalam Gelanggang Demokrasi (Jakarta: Jambatan, 1956), hal. 181.
[23] Pasal 24A Ayat (4) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga)
[24] Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga)
[25] Jimly Asshidiqie, “ Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan” (Disampaikan dalam Seminar di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Kamis, 13 Juli, 2000).
[26] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 884-885
[27] Ibid., hal. 409.
[28] Teguh Satya Bhakti, “Pola Hubungan Presiden dan DPR Pasaca Amandemen UUD 1945,” Tesis Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. hal 249, baca juga Harun Al Rasid, “Format Lembaga Kepresidenan, Hubungan Kekuasaan Lembaga Legislatif Dan Yudikatif Menuju Demokratisasi Kehidupan Politik Di Masa Depan,” (Makalah Disampaikan dalam rangka memperingati HUT 50 Emas Jakarta di Universitas Nasional Jakarta, 2000), hal. 28.
[29] Pada penyeleksian Hakim Agung yang dilakukan oleh Komisi Yudisial untuk pertama kali, Komisi Yudisial hanya mengajukan enam calon Hakim Agung ke DPR untuk mengisi kekosongan enam orang Hakim Agung. Sehingga menuai banyak kritik dari berbagai kalangan termasuk dari DPR sendiri. Sehingga Komisi Yudisial harus membuka seleksi sekali lagi karena DPR meminta 18 calon Hakim Agung dari Komisi Yudisial dan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Diharapkan untuk masa yang akan datang Komisi Yudisial tidak melakukan kesalahan dalam penafsiran pasal 18 Ayat (5). Dengan demikian Komisi Yudisial dapat bertindak secara professional, tidak asal-asalan dan tidak melakukan pemborosan.
[30] Wildan Suyuthi, “Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama,” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Jakarta: (Mahkamah Agung RI, 2006), hal. 79
[31] Ibid, hal. 80
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] Ibid, hal. 34-35
[35] Frans Hendra Winarta, “Sistem Pengawas Pengadilan yang Efektif Sejak Rekrutmen Sampai Penugasan,” , diakses 10 April 2008.
[36] Baca Pertimbangan Hukum Majelis Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006
[37] disarikan dari Pertimbangan Hukum Majelis Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 hal. 195-198