Jumat, 02 Januari 2009

KRITERIA PUTUSAN HAKIM YANG IDEAL

KRITERIA PUTUSAN HAKIM YANG IDEAL
(Menyelami Pandangan PROF.DR.BAGIR MANAN,SH.,MCL
(Ketua Mahkamah Agug RI) Mengenai Mutu Putusan Hakim)
Oleh :
TEGUH SATYA BHAKTI, SH.,MH
[1].




"BERHATI-HATILAH TERHADAP 3 (TIGA) HAL YANG MERUSAK KEADILAN:
1. SIMPATI DAN KEBENCIAN, 2. KEKAYAAN DAN KEMISKINAN,
3. KEMULIAAN DAN KEHINAAN RAKYAT JELATA"
(NABI BESAR MUHAMMAD S.A.W)




A. PENDAHULUHAN



Sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum, tugas Hakim sungguh sangat berat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable).[2] Dalam posisi seperti ini, Hakim dituntut harus mempunyai kemampuan profesional, serta moral dan integritas yang tinggi yang mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum.


Beratnya tanggung jawab Hakim disebabkan oleh karena Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu pengetahuan hukum. Mengingat beratnya tanggung jawab itu maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, melainkan Hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik, mampu berkomunikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dihadapan masyarakat. [3]

Tugas Hakim selain bersifat praktis rutin, juga bersifat ilmiah. Sifat tugas Hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa Hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan putusannya. Dengan cara ini pula Hakim dapat berperan aktif dalam reformasi hukum yang sedang dituntut oleh masyarakat saat ini.

Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat.[4]

Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.[5] Dengan kata lain, kebebasan Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, undang -undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.



B. PUTUSAN SEBAGAI INSTRUMENT PERADILAN


Putusan adalah hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermula telah membebani pihak-pihak. Dari rangkaian proses peradilan tidak satupun di luar putusan peradilan yang dapat menentukan hak suatu pihak dan beban kewajiban pada pihak lain, sah tidaknya suatu tindakan menurut hukum dan meletakkan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak dalam perkara. Di antara proses peradilan hanya putusan yang menimbulkan konsekuensi krusial kepada para pihak.

Putusan Hakim menurut Sudikno Mertodikusumo adalah “…suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.[6]



C. KEDUDUKAN PUTUSAN


Teori "Reine Rechtslehre" atau "The pure theory of law" diterjemahkan dengan "teori hukum murni" yang terkenal dari Hans Kelsen dapat dipakai menentukan kedudukan putusan badan peradilan dalam sistem tata hukum sebagai sistem norma yang bertingkat. Ajaran tersebut hanya mau melihat hukum sebagai kaidah yang dijadikan objek ilmu hukum. Diakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, filosofis dan sebagainya, akan tetapi yang dikehendakinya adalah “teori yang murni” mengenai hukum. Setiap suatu kaidah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah (stufenbau). Dipuncak “stufenbau” terdapat “grundnorm” atau kaidah fundamental yang merupakan hasil pemikiran yuridis. Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum secara hierarkis, yaitu: (1) Kaidah hukum dari konstitusi; (2) Kaidah hukum umum atau abstrak dalam undang-undang atau hukum kebiasaan; (3) Kaidah hukum individual atau kaidah hukum konkrit pengadilan.[7]

Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan: “Dalam menyelesaikan suatu sengketa antara dua pihak atau ketika menghukum seorang terdakwa dengan suatu hukuman, pengadilan menerapkan suatu norma umum dari hukum undang-undang atau kebiasaan. Tetapi secara bersamaan pengadilan melahirkan suatu norma khusus yang menerapkan bahwa sanksi tertentu harus dilaksanakan terhadap seorang individu tertentu. Norma khusus ini berhubungan dengan norma-norma umum, seperti undang-undang berhubungan dengan konstitusi. Jadi, fungsi pengadilan, seperti halnya pembuat undang-undang, adalah pembuat dan penerap hukum. Fungsi pengadilan biasanya ditentukan oleh norma-norma umum baik menyangkut prosedur maupun isi norma yang harus ia buat, sedangkan pembuat undang-undang biasanya ditentukan oleh konstitusi hanya menyangkut prosedur saja. Tetapi hanyalah suatu perbedaan derajat saja.[8]

Sehubungan dengan hal diatas, Otje Salman berpendapat bahwa “... hukum itu bersifat hierarkis artinya hukum itu tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya adalah sebagai berikut : yang paling bawah itu putusan badan pengadilan, atasnya undang-undang dan kebiasaan, atasnya lagi kontitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm. Kelsen tidak menyebutkan apa itu grundnorm, dan hanya merupakan penafsiran yuridis saja dan menyangkut hal-hal yang bersifat metayuridis.” [9]

Dengan demikian putusan badan peradilan adalah norma yang ditujukan kepada peristiwa konkrit yang disebut norma khusus. Norma khusus adalah penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma umum berupa undang-undang dan kebiasaan. Norma umum juga merupakan penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma dasar berupa konstitusi. Begitupun norma dasar bersandar kepada grundnorm (Hans Kelsen) yang bersifat metayuridis atau natural law (K.C. Wheare). Struktur norma dapat digambarkan sebagai berikut:[10]




Bagan Struktur Norma Hukum







Pendapat Otje Salman yang menggambarkan norma yang bersifat hierarkhis dalam arti hukum tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Putusan pengadilan berada pada urutan paling bawah, dan di atasnya undang-undang dan kebiasaan, diatasnya lagi konstitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm.

Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat bahwa Putusan pengadilan adalah suatu tindakan penerapan norma umum, dan dalam waktu yang bersamaan adalah pembentukan norma khusus, dan norma khusus tidak hanya mengikat bagi kasus tertentu yang ditanganinya, akan tetapi dapat melahirkan suatu norma yang umum pada kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan pada masa mendatang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hans Kelsen: Putusan pengadilan dapat juga melahirkan suatu norma umum. Putusan pengadilan bisa memiliki kekuatan mengikat bukan hanya bagi kasus tertentu yang ditanganinya saja melainkan juga bagi kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan. Suatu putusan pengadilan bisa memiliki karakter sebagai yurisprudensi, yaitu putusan yang mengikat bagi putusan mendatang dari semua kasus yang sama. Namun demikian, suatu putusan dapat memiliki karakter sebagai yurisprudensi hanya jika putusan itu bukan merupakan penerapan suatu norma umum dari hukum substantif yang telah ada sebelumnya, hanya jika pengadilan bertindak sebagai pembuat peraturan.[11]


D. BEBERAPA PANDANGAN MENGENAI PUTUSAN HAKIM YANG IDEAL [12]


1. Putusan Hakim Dalam Perspektif Tuntutan Sosial

Secara sosiologis, struktur pengadilan beserta Hakim-Hakimnya tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial masyarakatnya. Dengan adanya penilaian dari masyarakat mengenai output pengadilan berarti telah terjadi persinggungan antara lembaga peradilan dengan masyarakat di mana lingkungan peradilan itu berada. Implikasi dari penilaian masyarakat terhadap putusan pengadilan ter- sebut mengandung makna, bahwa pengadilan bukanlah lembaga yang terisolir dari masyarakatnya. Pengadilan tidak boleh memalingkan muka dari rasa keadilan dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang. Para Hakim senantiasa dituntut untuk menggali dan memahami hukum yang hidup dalam masyarakatnya.[13]

PAUL SCHOLTEN dalam karya terkenalnya Algemeen Deel menyebut aktivitas Hakim sebagai rechtsverfijning atau proses penghalusan hukum yang pada akhirnya juga terkenal sebagai rechtsvinding alias penemuan hukum. Pada hakekatnya keberadaan hukum yang terwadahkan sekalipun, juga harus selalu mengalami proses penghalusan dan penyempurnaan. Artinya, hukum tidak hanya bisa bersandar pada kekuasaan manusia yang statis saja. Hukum juga harus mampu mengikuti dinamika yang timbul akibat dari adanya hukum kodrati. Mengalir dari satu ruang ke ruang yang lain, dari satu waktu ke waktu yang lain.

Bagi penganut teori atau konsep yang dipengaruhi oleh pandangan sosial mengenai hukum akan berkata: “Hakim yang baik adalah Hakim yang memutus sesuai dengan kenyataan atau tuntutan sosial yang ada dalam masyarakat”.

Menurut pandangan ini, ketentuan hukum harus dinomorduakan, apabila perlu dikesampingkan. Gambaran pembuatan putusan Hakim sebagai kerja yuridis yakni menerapkan undang-undang saja bukanlah gambaran utuh tugas dan pekerjaan Hakim. Dengan demikian bekerjanya hukum di pengadilan bukanlah proses yuridis semata, melainkan suatu proses sosial yang lebih besar.

Pandangan ini menurut Bagir Manan terlalu sosial oriented, selain dapat menimbulkan ketidakpastian, putusan Hakim dapat menjadi sangat subjektif, sepenuhnya tergantung pada kemauan Hakim yang bersangkutan. Kepentingan masyarakat berubah, kepentingan yang satu berbeda dengan kepentingan yang lain, sehingga tidak ada konsistensi putusan. Orientasi sosial ini dapat pula merugikan kepentingan pencari keadilan. Harus diingat, kepentingan utama dalam suatu perkara (putusan) adalah kepentingan pencari keadilan (pihak-pihak yang berpekara), baru kemudian kepentingan masyarakat. Sangatlah baik kalau kepentingan pencari keadilan dan kepentingan masyarakat berjalan seiring, atau dapat saling memberi, atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan satu sama lain. Apabila bertentangan, Hakim (putusan Hakim) wajib mengutamakan kepentingan pihak yang berpekara, karena merekalah yang mencari keadilan, merekalah yang secara langsung akan menerima konsekuensi putusan.[14]

Ada hal lain yang harus disadari oleh mereka yang sangat menekankan fungsi sosial hukum. Pandangan sosiologis seperti ini dapat bersifat totaliter yang hendak menundukkan kepentingan individual (pencari keadilan) dengan kepentingan sosial belaka. Sesuatu cara pandang yang kurang sesuai dengan tuntutan demokrasi, dan penghormatan hak-hak individu.

2. Putusan Hakim Dalam Perspektif Kepastian Hukum

Bagi penganut teori atau konsep yang dipengaruhi oleh kepastian mengenai hukum akan berkata: “Putusan Hakim yang baik adalah putusan yang menjamin kepastian hukum.”. Menurut pandangan ini, hukum harus diterapkan sebagaimana adanya. Tidak boleh ada pandangan pribadi dalam memutus perkara. Hukum adalah hukum. Apakah hukum yang diterapkan itu baik atau buruk, bukanlah tugas Hakim untuk menilai. Menilai adalah urusan etik dan urusan politik (pembentukan hukum). Pandangan ini ditunjang pula oleh asas universal bahwa Hakim wajib memutus perkara menurut hukum.

Dalam pandangan ini penggarapan hukum dilakukan dengan telaah undang-undang, yurisprudensi maupun literatur hukum ansich. Menurut pandangan kaum legalitas ini, penjabaran hukum dan keadilan adalah identik dengan undang-undang. Dengan demikian Hakim hanyalah corong undang-undang. Baginya, yang menjadi Hakim hanyalah apa yang menjadi bunyi undang-undang tersebut. Bagi masyarakat yang sudah maju dan berkembang, pandangan ini akan mempunyai banyak tantangan. Dalam prakteknya akan mudah terjadi diskrepansi (ketidakcocokan) antara hukum dengan kenyataan yang berlaku di masyarakat karena hanya menitikberatkan pada tercapainya kepastian hukum. [15]

Sehubungan dengan hal diatas, Bagir Manan berpendapat, bahwa pandangan ini (yang menekankan kepastian hukum) dapat dipandang sebagai terlalu normatif. Hukum, apalagi dipersempit menjadi hukum tertulis belaka, adalah hukum yang mencerminkan keadaan (sosial, ekonomi, politik), interest, dan berbagai latar belakang pada saat aturan itu lahir atau ditetapkan. Hukum semacam ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan baru yang mungkin berbeda dengan suasana hukum yang akan diterapkan. Menerapkan secara serampangan hukum tersebut demi kepastian hukum dapat berhadapan dengan rasa keadilan baik bagi pencari keadilan maupun masyarakat.

3. Putusan Hakim Dalam Perspektif Perpaduan Antara Tuntutan Sosial Dan Kepastian Hukum

“Ius est ars aequi et boni,” begitu jawab CELSUS ketika ditanyakan padanya arti hukum. Hukum adalah seni (dalam menerapkan) nilai kebaikan dan kepatutan.

Pendapat CELCUS diatas dapat dipakai sebagai dasar untuk memahami apabila terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan masyarakat, dengan cara dikembalikan pada keadaan yang senyatanya terjadi dan apa yang dikehendaki oleh masyarakat.

Pendekatan hukum yang fungsional senantiasa mengukur norma hukum dengan mendasarkan pada efektivitasnya dan bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat. Cara berpikir fungsional adalah berpikir dalam kasus dan tidak semata-mata hanya mendasarkan pada suatu tatanan yang menghendaki status quo. Oleh karena itu, keadilan dan kemanfaatan sosial masyarakat akan selalu dikedepankan. Dengan demikian, dalam penegakan hukumnya rumusan undang-undang tidak hanya dipahami sebatas bunyi undang-undang.

Melalui pendekatan yang fungsional ini, hukum menjadi satu sistem yang terkait dengan sistem lain di luar hukum. Dengan demikian, pasal-pasal yang ada dalam undang-undang tidak hanya dianggap sebagai pasal yang mati (dan memang demikian seharusnya), akan tetapi hendaknya dilihat dan dipahami sebagai satu rumusan yang senantiasa dapat dijabarkan untuk mewujudkan kehendak dari undang-undang itu sendiri. Bahkan apabila hukum dilihat sebagai suatu sistem yang mempunyai tujuan tertentu, maka rumusan pasal-pasal yang ada haruslah dilihat sebagai wahana untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Proses mengadili -- dalam kenyataannya -- bukanlah proses yuridis semata. Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam suatu struktur sosial tertentu.
Sehubungan dengan diatas, menurut Cardozo, bahwa dalam hal ada aturan hukum namun terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan masyarakat, tugas Hakim adalah menafsirkan aturan tersebut agar hukum tersebut dapat sesuai dengan keadaan-keadaan baru. Dengan menafsirkan maka dapat dipertemukan antara kepentingan kepastian (putusan berdasar hukum), dan kepentingan sosial dengan memberi makna baru terhadap hukum yang ada.[16] Dalam kerangka yang lebih luas, aktualisasi aturan hukum dilakukan dengan menemukan hukum (rechtsvinding, legalfinding) yang meliputi menemukan aturan hukum yang tepat, menafsirkan, melakukan konstruksi, dan lain sebagainya.

4. Putusan Hakim Dalam Perspektif Intelektual

Selain berbagai pilihan konseptual diatas, dari perspektif intelektual, didapati kesulitan lain menjadi Hakim yang baik. Dalam konteks ini dapat dipertanyakan, yang manakah yang lebih utama: ”apakah yang dikedepankan aspek pertanggungjawaban atau aspek kepuasan pencari keadilan dan atau masyarakat”?

Jawaban yang ideal bagi pertanyaan diatas menurut Bagir Manan adalah bahwa: “Hakim yang baik adalah yang mampu memadukan antara pertanggungjawaban dengan kepuasan”. Pendekatan sinkritik seperti ini hanya memberi penyelesaian rukhaniah atau konseptual belaka bukan kenyataan. Dalam kenyataan, suatu putusan yang bertanggungjawab mungkin sekali tidak memuaskan pencari keadilan atau masyarakat. Suatu putusan bertanggungjawab bukan menyangkut memuaskan atau tidak memuaskan, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Suatu putusan bertanggungjawab adalah putusan yang mempunyai tumpuan-tumpuan konsep yang kuat, dasar hukum yang kuat. Alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan (hukum dan atau non hukum) yang kuat. Orang boleh berbeda terhadap putusan semacam ini, tetapi tidak ada yang dapat menyalahkan karena diputus atas dasar konsep yang kuat. Jadi, harus dibedakan antara pertanggungjawaban dengan rasa puas atau tidak puas terhadap suatu putusan. Pertanggungjawaban adalah untuk Hakim. Puas atau tidak puas untuk pencari keadilan.[17]

Dalam perspektif intelektual ini, Hukum dipandang bukan sebagai bunyi tetapi pengertian. Pengertian hukum dapat diketemukan dalam konteks masa lalu (historical), atau dalam konteks kekinian (contemporary) atau dalam konteks masa depan (futurity),[18] sedangkan Hakim dipandang sebagai aparat penegak hukum, sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, yang telah dilengkapi dengan modalitas berupa rasio, suara hati, dan intuisi.[19]

Sekalipun kesadaran hukum diabstraksi melalui proses rasional, namun kinerja rasio ini harus mendapat masukan terus-menerus dari suara hati dan intuisinya. Penalaran ilmu hukum (sebagai ilmu praktis) tidak boleh terjebak pada pemanfaatan salah satu modalitas belaka, yakni rasio. Ketiga modalitas itu (rasio, suara hati, dan intuisi) harus dikerahkan bersama-sama. Rasio memang diperlukan untuk menjustifikasi suatu putusan melalui parameter-parameter keilmiahan ilmu hukum. Namun rasio juga harus bekerja sama dengan suara hati dan intuisinya dalam rangka menangkap kesadaran hukum masyarakatnya. Di tangan Hakim, ilmu hukum menjadi suatu kiat (ars), bukan sekadar ilmu dogmatis. [20]

Dalam teori membuat putusan, van Apel Doorn mengatakan, bahwa hukum itu a logis, tetapi penggarapannya logis. Mengapa a logis karena hukum itu normatif dan mengandung nilai, karena mengandung nilai maka sarat dengan emosi. Emosi bukan berarti marah, melainkan ketajaman emosional atau kecerdasan emosional. Lebih lanjut, argumentasi hukum dalam suatu putusan pengadilan selain memuat mengenai pertimbangan hukum juga memuat diktum putusan. Pertimbangan putusan Hakim berkaitan dengan hukum materiil dan hukum formil, sedangkan putusannya sendiri dalam kaitannya dengan manajemen berkaitan dengan IQ (Intelectual Quotient), tidak semata-mata rasional saja, tetapi rasa itu harus ada hati nurani dan intuisi.

5. Putusan Hakim Dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam hukum Islam, masalah putusan tidaklah berbeda dengan arti atau makna yang terdapat dalam hukum nasional, yang masih berbau hukum Eropa Continental. Putusan Hakim adalah merupakan suatu hukum atau undang-undang yang mengikat antara para pihak yang bersangkutan, sedangkan menurut hukum Islam adalah suatu hak bagi mahkum-lah (pihak yang dimenangkan) dari mahkum-alaih (pihak yang dikalahkan), jadi tidaklah ada perbedaan.[21]
Mengambil suatu putusan oleh para hakim, dalam hukum Islam adalah merupakan suatu perintah dan begitu juga isi dari pada putusan itu haruslah ditaati oleh para muslim, hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat An-Nisaa' ayat 58-59, yang mengatur sebagai berikut :

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menunaikan amanat kepada ahlinya (rakyat umum) dan apabila kamu (para hakim) hendak memutuskan sesuatu hukum diantara manusia hendaklah memutuskan itu adil. Sesungguhnya amat baik pelajaran yang diajarkan oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat”.

"Hai orang- orang yang beriman taatilah (hukum) Allah dan taatilah (hukum) pesuruh-Nya dan taatilah (hukum yang dibuat oleh) ulul amri kamu (sesuai dengan hukum Allah dan hukum pesuruh-Nya itu) dan jika timbul kembali pertentangan di antara kamu (dan ulul amri kamu) kembalikan hal itu semua (hukum) Allah dan (hukum) pesuruh-Nya itu, jika kamu masih percaya pada Allah dan hari kemudian. Demikian itulah jalan yang terbaik dan terindah".[22]

Dari ayat tersebut diatas dapat dilihat bahwa hakim dalam mengambil suatu putusan itu, disamping berdasarkan kepada ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadist juga melihat ketentuan yang dibuat oleh para pemuka agama atau pimpinan, dan apabila terjadi pertentangan kembalilah kepada hukum Allah (Al-Qur'an).

Disamping dasar untuk mengambil suatu putusan pada ayat tersebut diuraikan tentang kewajiban untuk mentaati hukum atau putusan yang ditetapkan oleh hakim. Dengan demikian jelas bahwa putusan hakim itu mempunyai daya ikat atas orang yang bersengketa.

Dalam suatu hadist ada suatu larangan bagi seorang hakim untuk tidak memutus dalam sesuatu perkara kalau sedang marah atau emosi, dan dalam keadaan tidak sempurna jalan pikirannya. Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Jama'ah sebagai berikut yang artinya :"Janganlah hakim menghukum antara dua orang sewaktu dia sedang marah".[23]

Dari hadis tersebut bisa diambil suatu kesimpulan bahwa larangan untuk mengambil suatu keputusan tersebut adalah agar jangan sampai terjadi keputusan yang kurang adil.

Seorang hakim dalam memutuskan suatu pertikaian diantara manusia, landasan hukum yang dipergunakan adalah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab Fiqih Islam, yaitu nash-nash yang pasti ketetapan adanya dan pasti petunjuk hukumnya dari Al-Qur'an dan sunnah serta hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama. Dengan demikian putusan itu baru sempurna dalam hukum Islam.



E. PENUTUP


Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial bagi masyarakat. Tidak dipungkiri memang, apabila keadilan yang lebih ditonjolkan maka akan terjadi dilema dengan sisi kepastian hukum. Apabila terjadi benturan antara keadilan dan kepastian hukum, maka dapatlah dilihat bagaimana kemanfaatan putusan pengadilan bagi masyarakat.

Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedepankan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial bagi masyarakat dalam setiap putusan yang dibuatnya.

Dalam mewujudkan cita-cita di atas, Hakim memegang peran sentral. Baik atau buruknya citra pengadilan banyak tergantung pada putusan yang dibuat oleh para Hakim. Dalam membuat putusan tersebut, Hakim tidak hanya terlingkupi oleh faktor yuridis saja, melainkan terlingkupi pula oleh variabel sosiologis yang amat komplek.

Mutu putusan para Hakim berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme mereka. Dari sudut kompetensi-keras (hard competence), profesionalisme Hakim diukur antara lain dari mutu putusannya. Putusan atas suatu perkara ditentukan oleh penguasaan si Hakim atas bidang-bidang keilmuwan yang relevan.

Dengan penekanan pada Hakim akan penguasaan bidang spesialisasi tertentu yang lebih optimal dan spesifik akan materi persidangan, dapat diharapkan putusan Hakim menjadi lebih tinggi kualitasnya.



DAFTAR PUSTAKA



BUKU

Bakry, Hasbullah Pedoman Islam di Indonesia, Universitas Indonesia Pers: Jakarta: 1988

Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State) diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, (Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa: bandung, 2006)

Manan, Bagir, Menjadi Hakim Yang Baik Pusdiklat Teknis Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Jakarta, 2008

Mertodikusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata , (Liberty: Yogjakarta, 1988) hal 167

Salam Madku, Muhammad, Peradilan Dalam Islam, Binas Ilmu, Surabaya, 1990

Salman, Otje, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1987

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986



DISERTASI
Fachruddin, Irfan, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003


DATA PENELITIAN
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di Bidang Peradilan, Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 10 Januari 2003


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan KeHakiman.


INTERNET
Shidarta, Putusan Hakim dengan Rasa Hayat Historis, http://www.Dr.Shidarta,SH,M.,Hum.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008

Zudan Arif Fakrulloh, Hakim SosiologI, Hakim Masa Depan, http://www.indomedia.com/bernas/9708/26/UTAMA/26opi.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008

[1] Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin
[2] Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di Bidang Peradilan, Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 10 Januari 2003, page.iii
[3] Ibid
[4] Zudan Arif Fakrulloh, Hakim Sosiologi, Hakim Masa Depan, http://www.indomedia.com/bernas/9708/26/UTAMA/26opi.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008
[5] Penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[6] Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata , (Liberty: Yogjakarta, 1988) hal 167
[7] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986, hal. 127-128.
[8] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State) diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, (Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa: bandung, 2006), hal. 193
[9] Otje Salman, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1987, hal.. 11.
[10] Irfan Fachruddin, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003, Hal. 252
[11] Hans Kelsen, Op., Cit, hal. 194
[12] Disarikan dari Makalah Bagir Manan, Menjadi Hakim Yang Baik, Makalah pertama kali disampaikan sebagai ceramah untuk calon-calon Hakim, di Malang, 7 Desember 2006, dan telah dipublikasikan oleh Pusdiklat Teknis Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA-RI: Jakarta, 2008, hal. 3-8
[13] Zudan Arif Fakrulloh, Op., Cit
[14] Bagir Manan, Ibid
[15] Zudan Arif Fakrulloh, Op., Cit
[16] Cardozo adalah seorang Hakim Agung (Judicial Process) yang juga adalah guru besar, dikutip dari Bagir Manan, Op., Cit, hal. 5
[17] Ibid., hal. 7
[18] Ibid
[19] Shidarta, Putusan Hakim dengan Rasa Hayat Historis, http://www.Dr.Shidarta,SH,M.,Hum.htm, diakses pada tanggal 11 Juni 2008
[20] Ibid
[21] Muhammad Salam Madku, Peradilan Dalam Islam, Binas Ilmu, Surabaya, 1990, hal. 127
[22] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, Universitas Indonesia Pers: Jakarta: 1988, hal. 337
[23] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Cetakan XVII, Attahiryah: Jakarta: 1976, hal. 447

Tidak ada komentar: